Lagi, Ben-Gvir Beri Izin Senjata 100 Ribu Warga Israel, Pengusiran Besar-besaran Warga Palestina 
Hasiolan Eko P Gultom September 02, 2025 02:32 AM

Ben-Gvir Beri Izin Senjata Tambahan Buat 100 Ribu Warga Israel, Pengusiran Besar-besaran Warga Palestina 
 
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir Senin (1/9/2025) memutuskan mengizinkan sekitar 100.000 warga Israel tambahan untuk memperoleh lisensi senjata khusus.

Aksi Ben-Gvir ini dinilai sebagai bagian dari kebijakan kontroversial Israel dalam upaya mempersenjatai warga pemukim mereka untuk mengusir penduduk Palestina dari rumah-rumah mereka, khusunya di Tepi Barat.

Kantor Ben-Gvir menyatakan: "Menteri Ben-Gvir hari ini menyetujui penambahan Kiryat Gat dan Kiryat Malachi (dua permukiman di selatan), Gan Yavne (sebuah permukiman di tengah), serta Megiddo dan Tel Mond (dua permukiman di utara) ke dalam daftar kota yang memenuhi syarat untuk mendapatkan izin senjata api khusus."

Ini berarti sekitar 100.000 warga Israel tambahan akan memenuhi syarat untuk memperoleh lisensi senjata api pribadi, menurut pernyataan tersebut.

Pada gilirannya, Ben-Gvir mengatakan dalam pernyataannya: "Hari ini, Kiryat Gat, Kiryat Malakhi, Gan Yavne, Megiddo, dan Tel Mond bergabung dengan kota-kota di mana kami memperkuat keamanan pribadi melalui perizinan senjata api."

Memuji kebijakannya dalam mempersenjatai warga pemukim Israel, Ben-Gvir  mengklaim kalau aksinya ini menyelamatkan banyak warga Israel.

"Reformasi ini, yang kami pimpin, telah menyelamatkan banyak nyawa dan terbukti efektif di lapangan, dan dirancang untuk memungkinkan warga negara melindungi diri mereka sendiri dan komunitas mereka," kata pernyataan itu.

Menurut kantor Ben-Gvir, sejak awal kebijakan senjata, sekitar 230.000 lisensi senjata api baru telah dikeluarkan.

Ben-Gvir meluncurkan kebijakan mempersenjatai warga Israel, termasuk pemukim di Tepi Barat yang diduduki, pada akhir tahun 2023, setelah pecahnya perang Genosida oleh militer Israel di Jalur Gaza.

Percepat Pencaplokan Tepi Barat

Pemerintah Israel mengancam akan mengambil langkah agresif dengan melakukan aneksasi atau pencaplokan sebagian wilayah Tepi Barat, pada Senin (1/9/2025)

Ancaman itu dilontarkan sebagai respons terhadap meningkatnya dukungan internasional untuk pengakuan negara Palestina.

Bahkan untuk mempercepat proses pencaplokan, tiga pejabat Israel mengatakan kepada Reuters bahwa isu ini akan menjadi bagian dari agenda rapat kabinet keamanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang digelar pekan ini.

Meski demikian, hingga kini belum jelas wilayah mana yang berpotensi dianeksasi. 

Beberapa skenario yang muncul adalah kemungkinan mencakup pemukiman Israel, sebagian wilayah strategis seperti Lembah Yordan, atau gabungan keduanya.

Adapun proses aneksasi sendiri tidak bisa dilakukan secara instan. Secara formal, pemerintah Israel perlu menetapkan wilayah mana saja yang akan dicakup.

Setelah itu, keputusan harus melewati pembahasan internal kabinet, kemudian berlanjut ke Knesset (parlemen) Israel untuk mendapatkan legitimasi hukum.

Jika disetujui, langkah berikutnya adalah pemberlakuan hukum Israel secara resmi di wilayah yang dianeksasi.

Hal ini berarti otoritas sipil dan keamanan di kawasan tersebut langsung berada di bawah kendali penuh Israel, bukan lagi sebatas penguasaan militer sementara.

Proses tersebut, menurut para analis, bisa memakan waktu panjang karena memerlukan sinkronisasi antara peraturan domestik, politik koalisi pemerintahan, hingga respon internasional.

Pengakuan Palestina oleh Negara Barat Jadi Pemicu

Pencaplokan wilayah Tepi Barat bukan hal baru. Netanyahu pada tahun 2020 pernah menjanjikan pencaplokan pemukiman Yahudi dan Lembah Yordan.

Namun pimpinan Zionis itu membatalkannya demi normalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain melalui Perjanjian Abraham yang ditengahi Donald Trump.

Kini, gertakan seperti itu kembali mengemuka sebagai respons atas keputusan sejumlah negara Barat yang menyatakan dukungan terhadap berdirinya negara Palestina.

Menurut laporan Reuters, Perancis, Inggris, Australia, dan Kanada termasuk di antara negara  Barat yang menyatakan komitmen untuk secara resmi mengakui Palestina dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) September mendatang.

Langkah ini sontak memicu kemarahan Israel, yang menilai pengakuan tersebut dapat memperkuat posisi diplomatik Palestina sekaligus melemahkan legitimasi klaim Israel atas wilayah sengketa.

Alasan itu yang mendorong Israel melakukan aneksasi atau pencaplokan.

Pejabat senior Israel menyebutkan bahwa aneksasi menjadi opsi politik sekaligus strategi simbolis untuk menunjukkan bahwa Israel tidak akan tunduk pada tekanan internasional.

“Perluasan kedaulatan Israel ke Tepi Barat ada dalam agenda pembahasan kabinet,” ujar salah satu anggota lingkaran kecil menteri, dikutip dari The Times of Israel.

Ketidakpastian Langkah

Kendati gertakan Netanyahu tampak nyata, banyak pihak meragukan aneksasi bisa berjalan mulus.

Palestina jelas menolak keras, karena wilayah tersebut mereka anggap bagian dari negara masa depan.

Sementara negara-negara Arab dan sebagian besar komunitas internasional pun kemungkinan besar akan mengecam, mengingat Pengadilan Internasional PBB telah menegaskan bahwa pendudukan Israel di Tepi Barat ilegal menurut hukum internasional.

Dengan demikian, meski aneksasi bisa dilakukan lewat jalur legislatif domestik Israel, tekanan politik global serta risiko diplomatik membuatnya menjadi langkah yang penuh pertaruhan.

Jika aneksasi benar-benar diwujudkan, Israel berisiko menghadapi isolasi diplomatik yang lebih dalam.

 

(oln/namira/khbrn/*)

 
 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.