Sweeping Ratusan Remaja secara Serampangan oleh Polisi di Semarang, Tak Ada Pendampingan Hukum
deni setiawan September 02, 2025 03:30 AM

TRIBUNJATENG,COM, SEMARANG - Tim Hukum Solidaritas untuk Demokrasi (Suara Aksi) menilai Polda Jawa Tengah melakukan tindakan salah tangkap terhadap ratusan anak di Kota Semarang.

Tak sekadar salah tangkap, polisi juga menghalangi pendampingan hukum kepada para remaja tersebut.

Anggota Tim Hukum Suara Aksi, Fajar M Andhika menyebut, terdapat 475 orang ditangkap oleh Polda Jawa Tengah kurun waktu 29-30 Agustus 2025.

Dari jumlah itu, sebanyak 320 orang telah dilakukan pemeriksaan lalu dibebaskan. 

Sementara ada sebanyak 155 orang masih belum dilakukan proses pemeriksaan.

"Mayoritas yang ditangkap adalah para remaja," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Senin (01/09/2025).

Menurut Andhika, proses penangkapan ratusan remaja tersebut dilakukan secara serampangan.

Pihaknya mencatat ada sejumlah pelanggaran dalam proses penangkapan hingga pemeriksaan.

Ia merinci, pelanggaran pertama adalah penangkapan dilakukan secara represif oleh polisi berpakaian preman dengan cara sweeping di beberapa titik di Kota Semarang dan di depan Mapolda Jateng.

Menyasar remaja

Sasaran polisi adalah remaja yang nongkrong atau sekedar melintas.

"Para remaja tersehut diberhentikan paksa hingga ada yang jatuh dari motor."

"Selepas itu polisi memukulinya," bebernya.

Selepas ditangkap secara serampangan, ratusan remaja tersebut tidak diberikan akses bantuan hukum.

Tim hukum telah berulang kali mendatangi Polda Jateng untuk memberikan pendampingan, tetapi upaya tersebut buntu karena dihadang petugas kepolisian di depan pintu gerbang Mapolda Jateng.

Andhika menyebut, alasan Polda Jawa Tengah melarang tim hukum untuk memberikan bantuan hukum karena sedang melakukan pendataan.

Para petugas jaga di Mapolda Jateng enggan membukakan pintu dengan dalih atas instruksi dari pimpinan.

Padahal tindakan pemeriksaan dengan dalih pendataan tidak dikenal dalam KUHAP.

Ini juga menujukkan polisi tidak profesional melakukan pemeriksaan hukum terhadap masyarakat.

"Tindakan tersebut merupakan pelanggaran KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan HAM (Hak Asasi Manusia)," paparnya.

Andhika menyebutkan pula soal pelanggaran lainnya, yakni penahanan para remaja yang lebih dari 1x24 jam dan tindakan penelantaran.

Ratusan remaja tersebut ditangkap pada 29 Agustus dan 30 Agustus 2025, Polda Jawa Tengah berjanji akan membebaskan korban salah tangkap ini pada 31 Agustus 2025 pukul 09.00.

Faktanya, Polda Jawa Tengah baru membebaskan korban salah tangkap ini pada 31 Agustus 2025 pukul 17.00.

Bahkan ada yang baru keluar dari Mapolda Jateng pukul 18.00.

Selama proses tersebut, mereka tidak diberi makan secara cukup dan diduga mendapatkan tindakan kekerasan selama proses penangkapan serta pemeriksaan.

Disamping itu, ada beberapa handphone korban salah tangkap yang sampai saat ini belum dikembalikan.

"Kapolda Jawa Tengah harus meminta maaf kepada pelajar dan orangtua korban salah tangkap serta meminta maaf kepada masyarakat atas tindakan anak buah yang melakukan tindakan represif," ungkapnya.

Selain menuntut Kapolda Jateng Irjen Ribut Hari Wibowo meminta maaf, Andhika meminta pula Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kementerian PPA, Komisi Perlindungan Anak dan Ibu, Komisi Nasional Disabilitas, supaya mendorong institusi kepolisian menghentikan tindakan yang sewenang-wenang dan membebaskan massa yang ditangkap.

"Kami meminta institusi kepolisian agar menghentikan tindakan brutal, menghentikan sweeping, dan penangkapan tanpa dasar," ujarnya.

Beli es teh

Terpisah, Direktur Layanan Advokasi untuk Keadilan dan HAM (LRC-KJHAM) Witi Muntari yang melakukan pendampingan terhadap para korban menyebutkan, pihaknya menjumpai tiga perempuan yang ditangkap.

"Padahal mereka tidak jadi peserta aksi, hanya ingin melihat."

"Mereka hanya beli es teh di sekitar lokasi kejadian, lalu ditangkap polisi," terang Witi.

Para korban tersebut juga telah bersikeras memberikan keterangan kepada para polisi yang menangkapnya bahwa mereka tidak ikut aksi demonstrasi.

"Namun, polisi tetap menangkapnya," sambung Witi.

Menurut Witi, jumlah anak-anak yang ditangkap oleh Polda Jateng dalam penangkapan tersebut sebanyak 200 anak, dari total sebanyak 400-an orang yang ditangkap.

"Anak-anak itu dari SD hingga SMA. Ada disabilitas tuli dan disabilitas wicara yang ikut ditangkap," paparnya.

Meskipun telah dibebaskan, LRC-KJHAM menemukan ada anak SD yang ikut ditangkap polisi mengalami trauma berat.

"Ada anak SD menalami trauma, dia ngomong sendiri dan terus menangis pada saat ditangkap."

"Kami menghubungi psikolog untuk menangani anak tersebut," bebernya.

Sementara, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Ahmad Syamsuddin Arief menjelaskan, ada beberapa indikasi polisi melakukan dugaan tindakan salah tangkap yakni penangkapan dilakukan secara acak.

"Kemudian tidak ada surat penangkapan dan penahanan," bebernya.

Selepas ditangkap, para korban yang mayoritas anak juga ditahan lebih dari 1x24 jam.

"Mereka yang masih anak-anak ditangkap dengan tangan terikat di belakang, diduga alami kekerasan tanpa akses kesehatan yang tidak jelas," ungkapnya.

Selain ditangkap, para anak malah dituding sebagai kelompok Anarko.

Stigma polisi terhadap Anarko adalah biang kerusuhan.

Arief menilai, narasi itu hanyalah akal-akalan polisi.

"Anak-anak itu dimunculkan di media sebagai perusuh, padahal mereka ada yang bukan bagian dari massa aksi," tuturnya.

Polda Jateng membantah

Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng Kombes Pol Artanto membantah bahwa penangkapan oleh anggota Polda Jateng tersebut sebagai tindakan salah tangkap.

"Tidak benar."

"Kami menangkap karena mereka melakukan kegiatan rusuh atau melakukan penyerangan," jelas Artanto.

Ia pun membeberkan alasan pihaknya melepaskan ratusan anak tersebut.

"Kami lepaskan sebagai pembinaan mereka kan masih anak-anak."

"Masa depan mereka masih panjang," katanya.

Kendati begitu, pihaknya tetap memproses sebanyak enam anak karena diduga melakukan tindakan anarkis.

"Ada enam anak diproses hukum verbal karena dia melakukan perbuatan pelanggaran hukum yaitu perusakan atau perilaku anarkis dan juga mereka melakukan penyerangan terhadap aparat yang tugas keamanan," tandasnya.

Serangan brutal

Sebelumnya, TribunJateng.com memberitakan, Sabtu (30/08/2025) siang, suasana sekitar Markas Polda Jawa Tengah mendadak ricuh.

Ada rombongan massa dari kalangan remaja yang menyerang Mapolda, tak lama setelah rombongan mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) meninggalkan lokasi usai berorasi di depan gerbang Mapolda.

Sekelompok massa susulan ini menyerang Mapolda Jateng dengan batu, kayu dan sebagainya.

Mereka melakukan pelemparan batu dan merusak fasilitas di sekitar Mapolda Jateng.

Serangan itu memicu reaksi spontan dari anggota Polda Jateng yang tengah beristirahat di dalam markas.

Ratusan personel berseragam bebas langsung keluar dari Mapolda dan melakukan pengejaran terhadap massa.

Sebagian anggota berhasil mengamankan sejumlah pemuda yang diduga terlibat.

Mereka langsung digiring masuk ke dalam Mapolda.

Sementara kelompok lain memilih kocar-kacir menyelamatkan diri.

Situasi jalan raya sempat kacau.

Pengendara yang melintas terlihat panik dan memilih menepi. 

Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, setelah kegiatan mahasiswa selesai, kurang lebih pukul 15.15, muncul kelompok anarko yang melakukan aksi perusakan dengan pelemparan batu maupun benda keras lainnya.

Artanto mengatakan, sekelompok tersebut sebelumnya sempat berada di rombongan mahasiswa yang menyampaikan orasi.

Namun setelah rombongan mahasiswa kembali, gerombolan tersebut menyerang.

"Padahal sebelumnya sudah kami imbau agar tidak melakukan aksi anarkis,” kata Artanto.

Untuk membubarkan massa, polisi menembakkan gas air mata dan melakukan penangkapan.

Ratusan remaja ditangkap, meski belum dipastikan apakah mereka terlibat kerusuhan atau kebetulan sedang melintas di jalan.

“Mereka rata-rata masih pelajar."

"Saat ini, seluruhnya akan didata dan diperiksa oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum,” lanjutnya. (Iwan Arifianto)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.