Hingga Akhir Juli 2025, Transaksi Kripto di Indonesia Rp276,45 Triliun 
Choirul Arifin September 06, 2025 06:33 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Industri aset kripto dan perdagangan saham memasuki bulan September mendapat perhatian khusus karena fenomena 'September Effect' yang biasa muncul di bulan tersebut.

September Effect merupakan anomali musiman yang kerap dikaitkan dengan penurunan kinerja pasar saham maupun kripto.

Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Digital, dan Aset Kripto Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hasan Fawzi, mengingatkan investor agar berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi di tengah tren ini. 

Fenomena tersebut diyakini dipengaruhi oleh penyesuaian portofolio pasca musim liburan, kebutuhan likuiditas, hingga faktor psikologis investor global.

Meski demikian, data OJK terbaru menunjukkan industri kripto Indonesia tetap mencatat kinerja impresif. 

Sepanjang Juli 2025, transaksi kripto mencapai Rp52,46 triliun, melonjak 62,36 persen dibandingkan bulan sebelumnya sebesar Rp32,31 triliun. Secara kumulatif, total nilai transaksi kripto di 2025 telah menembus Rp276,45 triliun.

Jumlah investor juga terus bertambah. Per Juli 2025, OJK mencatat total 16,5 juta konsumen aset kripto, naik 4,11% dibandingkan Juni 2025 sebanyak 15,85 juta.

 

Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, capaian 2025 memang menunjukkan dinamika menarik. Di 2024, OJK mencatat total nilai transaksi kripto mencapai Rp344,09 triliun sepanjang tahun penuh, tumbuh lebih dari 354% dibandingkan 2023. 

Secara bulanan, transaksi Juli 2024 tercatat sebesar Rp42,34 triliun, naik dari Rp40,85 triliun pada Juni 2024. Angka tersebut lebih rendah dibanding capaian Juli 2025 yang mencapai Rp52,46 triliun. 

Hal ini menegaskan bahwa tren pertumbuhan pasar kripto pada 2025 berjalan lebih cepat meskipun jumlah investor sedikit terkoreksi.

Menanggapi fenomena ini, Vice President Indodax, Antony Kusuma, menegaskan bahwa 'September Effect' perlu dipahami secara proporsional. 

Menurutnya, anomali tersebut tidak seharusnya menjadi patokan tunggal dalam menentukan strategi investasi kripto.

“Kami melihat ‘September Effect’ lebih bersifat psikologis ketimbang fundamental. Jika kita bandingkan, di 2024 transaksi penuh setahun Rp344 triliun, sementara 2025 baru berjalan hingga Juli sudah menembus Rp276 triliun. Ini bukti bahwa kripto di Indonesia terus tumbuh kuat, bahkan di tengah faktor musiman,” ujar Antony.

Ia menambahkan, investor perlu mengedepankan strategi diversifikasi portofolio serta manajemen risiko jangka panjang. 

“Indodax selalu mengingatkan bahwa investasi kripto harus dilakukan secara rasional. Prinsipnya bukan market timing, melainkan konsistensi, pemahaman aset, dan disiplin dalam bertransaksi,” jelas Antony.

Meskipun ada unjuk rasa yang sempat mengguncang pasar modal pada akhir pekan lalu, OJK menegaskan bahwa industri kripto tetap stabil. Aktivitas penempatan dan penarikan dana di exchange kripto tercatat normal, memperlihatkan ketahanan ekosistem digital nasional.

Antony menyambut baik konsistensi ini. Ia menilai ketahanan sektor kripto menjadi bukti bahwa ekosistem keuangan digital di Indonesia telah semakin matang. “Kondisi stabil meski terjadi tekanan eksternal adalah tanda kepercayaan publik terhadap kripto makin kokoh,” katanya.

Menurutnya, tren positif transaksi kripto pada 2025 bisa menjadi katalis bagi transformasi ekonomi digital nasional. 

“Jika tren ini berlanjut, kontribusi aset kripto terhadap perekonomian digital Indonesia akan semakin signifikan, terutama dalam memperluas partisipasi masyarakat pada layanan keuangan modern,” tegasnya.

Namun demikian, Antony mengingatkan bahwa investasi kripto tetap memiliki risiko tinggi. Investor disarankan untuk hanya menggunakan dana yang siap dialokasikan (uang dingin), tidak semata mengikuti tren pasar, serta perlu memahami fundamental dari setiap aset yang diperdagangkan.

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.