TRIBUNNEWS.COM - Stunting, kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis, masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa Indonesia.
World Health Organization (WHO) menyebut stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai.
Stunting memang terus dihindari lantaran dianggap sebagai masalah serius serta ancaman tersembunyi, termasuk bagi masa depan Indonesia.
Berbagai potret perjuangan kecil hingga besar terus dilakukan untuk mengkerdilkan angka stunting ini.
Berdasarkan data dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024, prevalensi stunting Indonesia tahun 2024 adalah 19,8 persen.
Menjadi kabar baik, angka tersebut melampaui proyeksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebesar 20,1 persen.
Tepatnya, berdasarkan data yang dihimpun dari stunting.go.id, angka ini lebih rendah 0,3 persen poin dari target prevalensi stunting yang ditetapkan untuk tahun 2024 tersebut.
Penurunan prevalensi stunting menjadi 19,8 persen ini merupakan sebuah pencapaian positif, namun demikian, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan diingatkan untuk tidak lengah.
Tantangan ke depan adalah bagaimana mempertahankan tren positif ini dan mempercepat penurunan stunting agar target Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2045 dapat tercapai.
“Memang hasil stunting tahun 2024, tahun terakhir dari pemerintahan kita berhasil menembus di bawah 20 persen (19,8 persen) untuk pertama kali," ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Namun, Menkes mengingatkan bahwa tantangan di depan masih besar.
Target penurunan stunting pada 2025 adalah 18,8 persen, yang membutuhkan upaya lebih keras dan kolaborasi lebih erat.
Terutama di enam provinsi dengan jumlah balita stunting terbesar, yaitu:
“Kalau enam provinsi ini bisa kita turunkan 10 persen, maka secara nasional kita bisa turun 4–5 persen. Karena 50 persen anak stunting ada di enam daerah ini,” tegasnya.
Strategi penting lainnya adalah memastikan intervensi sejak masa pra-kelahiran, dengan fokus pada 11 intervensi spesifik di sektor kesehatan, khususnya untuk remaja putri dan ibu hamil.
“Stunting itu terjadi bukan setelah lahir, tapi bahkan sejak dalam kandungan. Maka intervensi kepada ibu hamil sangat penting. Jangan sampai ibu-ibu hamil kekurangan gizi atau anemia,” jelasnya lagi.
Ia juga menekankan pentingnya program pengukuran lingkar lengan dan kadar hemoglobin (Hb) pada ibu hamil, distribusi tablet tambah darah, serta suplementasi mikronutrien.
Selain itu, program peningkatan mutu pengukuran di Posyandu juga terus diperkuat melalui distribusi 300.000 alat antropometri, didukung program ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan (PMT), dan imunisasi.
Budi pun mengajak seluruh pihak menjaga momentum penurunan stunting. “Yuk, jangan lupa, tahun ini target kita 18,8 persen,” pungkasnya.
Pemerintah Indonesia tidak berjalan sendiri dalam rangka berupaya mengkerdilkan angka stunting.
Sektor swasta kini mulai mengambil peran penting dalam mendukung percepatan penurunan stunting. Lewat skema Public-Private Partnership (PPP), perusahaan-perusahaan di berbagai sektor menyumbangkan sumber daya, inovasi, dan pendekatan baru.
Termasuk yang dilakukan PT Tower Bersama Group (TBIG).
Perusahaan infrastruktur telekomunikasi yang berbasis di Jakarta ini memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR), salah satunya di bidang kesehatan.
Di bidang kesehatan, TBIG termasuk berfokus pada penanggulangan stunting.
Lie Si An, Chief Business Support Officer TBIG menjelaskan melalui program Bangun Sehat Bersama, TBIG memberikan akses pelayanan kesehatan gratis dan penanggulangan stunting melalui Mobil Klinik (Monik) TBIG.
Monik TBIG juga mengemban misi bantuan kemanusiaan penanggulangan bencana.
TBIG mengoperasikan enam Monik yang telah memberi manfaat kepada 127.529 warga 139 kabupaten/kota di 24 provinsi.
"Awalnya ide pencegahan stunting ini lahir dari daerah, saat kami melayani masyarakat di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah," ujar Si An kepada Tribunnews, akhir Agustus 2025 lalu.
Monik TBIG, lanjut Si An, banya melakukan pelayanan kepada ibu dan anak.
Aktifitasnya salah satunya memberikan makanan bergizi serta memberikan edukasi ke keluarga di daerah-daerah tentang hidup sehat.
"Kami hingga saat ini terus terlibat aktif menekan stunting, kerjasama dengan beberapa dinas juga," imbuhnya.
Pemerintah menargetkan prevalensi stunting di Indonesia turun menjadi 14 persen pada tahun 2029.
Target ini disebut ambisius oleh pakar kesehatan global Dr Dicky Budiman, namun tetap mungkin dicapai dengan syarat adanya konsistensi kebijakan lintas sektor dan pemerintahan.
“Ini adalah target ambisius, tapi bisa saja dapat dicapai dengan catatan-catatan kritis,” ungkap Dicky saat diwawancarai Tribunnews, Jumat (6/6/2025).
Dicky menekankan pentingnya investasi berkelanjutan pada gizi, akses sanitasi yang layak, serta pendidikan perempuan sebagai fondasi utama dalam upaya penurunan stunting. Ia menyebut, ketiga hal ini harus menjadi prioritas lintas pemerintahan, bukan hanya program jangka pendek.
“Ini bukan kerja satu kementerian saja. Perlu ada kebijakan yang menyatu antara kesehatan, pendidikan, sosial, bahkan infrastruktur,” tegasnya.
Lebih lanjut, Dicky juga menyoroti pentingnya validasi data dan digitalisasi dalam program penanganan stunting.
Tanpa data yang akurat, kata dia, intervensi bisa salah sasaran.
“Penguatan validasi dan digitalisasi ini menjadi sangat amat penting,” katanya. Ia menilai, pelibatan masyarakat, khususnya kader posyandu dan tokoh lokal, harus dioptimalkan agar program gizi dan edukasi bisa menjangkau hingga akar rumput.
Tak hanya dari sisi pemerintah, peran sektor swasta juga sangat penting untuk mencapai target 'ambisius' tersebut.
Menurutnya dunia usaha bisa mengambil peran besar dalam penyediaan pangan bergizi dan kampanye sanitasi melalui program CSR maupun kemitraan publik-swasta (public-private partnership).
(Garudea Prabawati/Reza Deni)