"Kalau tafsirnya tetap dibiarkan umum, akan ada risiko kriminalisasi. Karena itu hakim harus mempersempit tafsir, bahkan sebaiknya pasalnya juga diubah agar tidak multitafsir,"

Yogyakarta (ANTARA) - Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menilai Mahkamah Konstitusi (MK) perlu memperjelas tafsir Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor untuk mencegah kriminalisasi akibat tafsir yang terlalu umum.

"Kalau tafsirnya tetap dibiarkan umum, akan ada risiko kriminalisasi. Karena itu hakim harus mempersempit tafsir, bahkan sebaiknya pasalnya juga diubah agar tidak multitafsir," ujar Akbar dalam keterangannya di Yogyakarta, Minggu.

Menurut dia, kedua pasal itu tetap penting dipertahankan agar pemberantasan korupsi tidak lumpuh.

Namun, penerapannya harus diberikan batasan yang jelas sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan bagi pihak yang beritikad baik.

"Dalam konteks Pasal 2 dan 3, saya melihat pasalnya perlu dipertahankan, bukan dihapus, agar pemberantasan korupsi tidak lumpuh," jelasnya.

Akbar mencontohkan unsur "melawan hukum" dalam Pasal 2 dan 3 seharusnya dimaknai merujuk pada tindak pidana yang sudah diatur dalam Pasal 5 hingga 13 UU Tipikor, seperti suap atau penggelapan jabatan.

Dengan begitu, Pasal 2 dan 3 dapat difungsikan sebagai pemberatan hukuman.

Ia menegaskan jalan tengahnya adalah mempertahankan pasal, tetapi sekaligus memperjelas substansi serta membatasi penerapannya.

"Pasal ini sangat penting untuk menjangkau bentuk-bentuk korupsi yang serius. Tetapi harus dipastikan penerapannya. Intinya, harus ada kepastian hukum yang melindungi masyarakat sekaligus memperkuat pemberantasan korupsi," tutur Akbar.

Sebelumnya, sebanyak 24 tokoh antikorupsi yang tergabung dalam Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan telah menyampaikan "amicus curiae" ke MK.

Mereka menilai Pasal 2 dan 3 UU Tipikor justru membuat arah pemberantasan korupsi keliru, menimbulkan ketidakpastian hukum, serta membuka ruang kriminalisasi dan politisasi.

Akbar menjelaskan "amicus curiae" merupakan pandangan hukum yang diberikan kepada hakim MK untuk membantu pertimbangan dalam memutus perkara.

"Hakim dapat mempertimbangkan 'amicus curiae' sebagai pencerahan, tetapi keputusan tetap berada di tangan hakim," katanya.