TRIBUNMANADO.CO.ID - 5 September 1949, Robert Wolter Mongisidi gugur. Ia gugur di depan regu tembak Belanda di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan.
Delapan butir peluru menerjang tubuh pemuda 24 tahun. Darahnya mengalir membasahi Bumi Pertiwi. Demi tegakknya Merah Putih.
Makassar jadi tempat peristirahatan Bote.
Begitu nama panggilan kesayangan putra Bantik asal Manado, Sulawesi Utara ini.
Bote Lahir 14 Februari 1925 dari pasutri Petrus Mongisidi dan Kina Suawa yang berprofesi sebagai petani kelapa
Bote diajarkan akan pentingnya pendidikan.
Ia mengenyam pendidikan dasar di sekolah dasar Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat SD) dan tamat Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setingkat SMP) Frater Don Bosco di Manado.
Setelah lulus MULO, Bote masuk Sekolah Pertanian dan Keguruan Pegawai dan Sipil di Tomohon.
Bote menamatkan pendidikan di sekolah Jepang ini selama enam Bulan.
Robby Mongisidi, adik kandung Bote bilang, sekolah itu kini Persekolahan Katolik Gonzaga Tomohon di Paslaten, Tomohon Tengah
Bote satu di antaranya 200-an pemuda pemudi yang beruntung bisa mengeyam pendidikan lanjut itu. Satu kelas muridnya 50 orang.
Terdapat tiga kelas laki-laki dan satu kelas khusus perempuan.
"Mereka masuk 3 November 1942 dan lulus April 1943," ujar Robby kepada Tribunmanado.co.id, belum lama ini.
Tamat dari Tomohon, Bote kembali ke Malalayang Manado.
Sebulan pulang ke rumah keluarga, Bote mulai mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, Ratahan. (kini Minahasa Tenggara).
Dari situ ia mengabdi di Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah.
Medio akhir 1945, Bote pulang ke Manado. Rupanya ia punya rencana melanjutkan studi.
"Kakak paling tua Jotje menyuratinya. Kalau mau lanjut sekolah, cuma dua. Ke Jakarta atau Makassar," kata Robby, pensiunan tentara berpangkat Letkol.
Bote minta izin ke papanya dan keluarga. Bertekad sekolah teknik.
Kata Robby, Bote bilang di masa perang, pabrik memproduksi senjata.
Sementara aman perang, pabrik tetap berproduksi untuk peralatan lainnya.
"Itu tak lama setelah Proklamasi. Maka berangkatlah ia ke Makassar," kata Robby yang sudah berusia 88 tahun melanjutkan.
Di Makassar, gejolak perang begitu terasa. Belanda dengan wujud NICA (Netherlands Indies Civic Administration) datang kembali.
Darah muda Wolter Monginsisi mendidih.
Ia turut membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946.
Bersama LAPRIS, Bote melancarkan perlawanan terbuka kepada Belanda yang hendak menancapkan kembali kuku kolonialismenya di Bumi Pertiwi.
Kelihaian dan keberaniannya di usia yang masih belia, membuat dirinya dihormati dan dapat menjadi salah satu pimpinan LAPRIS.
Ia kerap melakukan penyerbuan ke markas/tangsi militer Belanda dan pasukannya sering terlibat kontak senjata dengan Belanda.
Belanda mengerahkan kekuatan terbaik untuk menangkap Bote.
Hingga akhirnya ia tertangkap pada 28 Februari 1947 dan dijatuhi hukuman mati.
Pada masa dipenjara, Belanda kerap meminta Mongisidi untuk memohon grasi namun dengan tegas ia menolak.
Tepat pada Kamis 5 September 1949, Mongisidi dieksekusi mati di hadapan regu tembak.
Sebuah semboyan masyhur lahir dari perjuangan Bote: Setia hingga Akhir Dalam Keyakinan.
Itu tertulis pada secarik kertas yang terselip di Alkitab miliknya yang didapati setelah dieksekusi mati.
Jenazah Bote dimakamkan di Pemakaman Kristen Pampang, Makassar, sehari setelah gugur, Jumat 6 September 2025.
Puluhan ribu orang hadir dalam pemakaman memberi penghormatan kepada Sang Pahlawan.
Setahun kemudian, sebagai bentuk penghormatan negara, jasad Bote dipindahkan ke Makam Pahlawan Panaikkang, Makassar. Tepat di Hari Pahlawan, 10 November 1950. (ndo)