Kenali Tanda-Tanda Buta Warna pada Anak, Dokter Spesialis Mata Tegaskan Buta Warna Bukan Hambatan
irwan sy September 09, 2025 12:32 AM

SURYA.co.id, SURABAYA – Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya, dr Rini Kusumawardhany SpM, menjelaskan tanda awal buta warna pada anak biasanya muncul sejak anak berusia 3 hingga 5 tahun.

Anak masih dapat melihat warna, namun gejalanya terkadang tidak disadari saat mulai sulit membedakan warna merah dan hijau, biru dan kuning, atau merah dan cokelat.

Anak juga kerap menyebut warna dengan salah, bingung saat mengelompokkan warna mirip, hingga memilih warna pakaian atau gambar yang dianggap tidak sesuai oleh orang lain.

“Buta warna memang membawa keterbatasan tertentu, tapi penting dipahami bahwa buta warna bukan penyakit. Kondisi ini hanya perbedaan dalam cara menangkap warna,” ungkap dr Rini Kusumawardhany, SpM kepada Tribun Jatim, Senin (8/9/2025).

Deteksi dini disebut bisa dilakukan dengan sederhana di rumah, seperti mengamati perilaku anak saat bermain dengan menunjukan dua warna yang mirip (crayon, mainan, maupun pakaian).

Selain itu Tes Ishihara, yang disebut paling populer dan Tes HRR (Hardy-Rand-Rittler) untuk mendeteksi berbagai jenis buta warna termasuk kondisi ringkan.

“Hasil yang lebih akurat biasanya didapat setelah anak berusia 6 tahun ke atas, ketika ia sudah cukup kooperatif,” ucap Rini.

Dokter Spesialis Mata RSU dr Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto itu juga menjelaskan bahwa buta warna juga kondisi yang diwariskan turun temurun akibat mutasi gen, yang diturunkan melalui kromosom X.

Anak laki-laki disebut lebih berisiko, sementara perempuan bisa menjadi pembawa tanpa gejala.

“Kondisi buta warna pada anak ini ada yang ringan dan berat. Pada kondisi ringan, anak masih bisa melihat warna tetapi sering keliru membedakannya. Sedangkan pada kondisi berat, anak hampir tidak bisa membedakan warna sama sekali,” ucapnya.

Meski begitu, kondisi buta warna disebut tidak memengaruhi kecerdasan maupun kemampuan berpikir.

Anak tetap bisa berprestasi dan mengejar cita-cita meski dengan jalur yang berbeda.

“Bukan kali pertama saya bertemu orang tua yang menangis belum mampu menerima bahwa putranya gagal seleksi masuk pendidikan tertentu akibat buta warna total. Dan saya terus belajar menyampaikan bahwa bisa melewati masa sulit, menemukan potensi anak di bidang yang tidak bergantung pada persepsi warna,” ucapnya.

Menurut Rini, dukungan orang tua sangat penting agar anak tidak merasa minder.

Orang tua bisa memberi pemahaman bahwa buta warna bukan kekurangan, hanya perbedaan persepsi.

Guru juga berperan besar dalam membantu.

Mereka bisa menyusun materi belajar yang tidak hanya bergantung pada warna serta memberi pemahaman kepada teman sebaya agar anak tidak menjadi bahan ejekan.

Teknologi pun kini hadir sebagai penolong, mulai dari aplikasi pendeteksi warna hingga kacamata khusus seperti EnChroma yang bisa membantu sebagian anak melihat warna lebih jelas.

Orang tua diimbau untuk memberi strategi alternatif, misalnya mengenali warna lewat pola, posisi, atau label.

Dengan pendekatan ini, anak bisa tumbuh percaya diri tanpa merasa dibatasi.

Alih-alih larut dalam kekecewaan, orang tua disarankan mengarahkan anak pada bidang yang sesuai potensinya.

Ada banyak jurusan kuliah dan profesi yang terbuka lebar, seperti hukum, manajemen, Psikologi, bahasa, sastra, coding, ilmu komunikasi, hingga ilmu komputer.

Ia juga mencontohkan sejumlah tokoh dunia sukses meski memiliki kondisi serupa, seperti Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, diketahui buta warna merah-hijau dan memilih warna biru sebagai dominasi platformnya.

Mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton juga mengalami hal yang sama dan tetap bisa berkarier gemilang.

Cerita tersebut membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah akhir.

Justru dari keterbatasan, sering muncul kekuatan baru yang luar biasa.

“Kita bisa bantu anak beradaptasi, bukan membatasi. Setiap anak berhak meraih masa depan cerah, meski mereka melihat dunia dengan cara yang berbeda,” tuturnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.