TRIBUNMANADO.CO.ID, SANGIHE - Kabupaten Kepulauan Sangihe kembali kedatangan wisatawan mancanegara pecinta burung.
Setelah sebelumnya tujuh turis dari Inggris, Belanda, Amerika Serikat, dan Prancis berkunjung, akhir pekan ini giliran tiga wisatawan asal Malaysia yang tiba.
Tujuan khusus mereka adalah memotret burung pitta, satwa endemik ikonik Sangihe.
Ketiga wisatawan ini merupakan anggota komunitas Pitta Chase, kelompok pecinta burung pitta yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Ketua rombongan, Apiq Sulaiman, menjelaskan bahwa mereka lebih senang disebut bird photographer ketimbang pengamat burung.
“Kami berkeliling dunia untuk mengoleksi foto burung, khususnya jenis pitta. Dari 52 jenis di dunia, saya sudah berhasil memotret 26 spesies,” ungkapnya, Selasa (9/9/2025).
Dalam pertemuan dengan Asisten I Setda Sangihe, Johanis Pilat, Apiq menyampaikan kekagumannya terhadap keanekaragaman hayati Sangihe.
Menurutnya, pulau kecil ini menyimpan potensi luar biasa dalam bidang wisata minat khusus atau avitourism.
“Bayangkan, pulau sekecil ini memiliki 10 burung endemik. Belum lagi satwa lain seperti tarsius, kuskus, katak, dan kupu-kupu,” kata Apiq.
Ia bahkan menilai potensi Sangihe bisa menyaingi kawasan konservasi ternama seperti Cagar Alam Tangkoko di Bitung.
Keunggulan lain, lanjut Apiq, adalah kemudahan akses menemukan satwa.
“Saat pengamatan burung hantu di Mess Burung Indonesia, kurang dari lima menit burung sudah muncul,” jelasnya.
Selain kekayaan fauna, faktor pendukung pariwisata juga dianggap cukup memadai.
Menurut Apiq, Sangihe memiliki banyak pilihan akomodasi, kafe, pusat belanja, hingga transportasi yang mudah dan terjangkau.
Hal ini membuat wisatawan merasa lebih aman dan nyaman selama berada di daerah perbatasan ini.
Meski begitu, ia menyoroti masih kurangnya pengelolaan wisata burung secara serius.
Apiq menuturkan, saat pengamatan di Malebur, ia mendapati sejumlah warga membawa senapan berburu. Kondisi tersebut dinilai mengancam kelestarian satwa endemik.
“Perlu peran pemerintah dan masyarakat. Sosialisasi harus dimulai dari sekolah agar generasi muda bangga pada kekayaan alam mereka,” tegasnya.
Selama kunjungan singkat dua hari satu malam, rombongan asal Malaysia ini berhasil mendokumentasikan empat jenis burung: Sangihe Pitta (lehangi), Western Hooded Pitta (kupaw), Sangihe Scops Owl (tana lawo), serta Sangihe Hanging Parrot (lungsihe).
Hasil foto itu menjadi tambahan koleksi berharga bagi komunitas Pitta Chase.
Dalam diskusi ringan, Johanis Pilat sempat bertanya apakah mereka berencana kembali ke Sangihe setelah target koleksi foto tercapai.
Menanggapi hal itu, Apiq memberi jawaban optimis.
“Sangat mungkin kami kembali. Berbeda dengan pengamat burung, fotografer selalu ingin meningkatkan kualitas hasil. Kami ingin memotret burung dalam berbagai momen, entah saat terbang, makan, atau memberi makan anak di sarang,” katanya.
Menurutnya, setiap kunjungan membawa tantangan baru, bahkan ketika menggunakan kamera yang berbeda.
Hal ini membuat destinasi seperti Sangihe memiliki peluang besar menjadi lokasi rutin dalam agenda fotografi komunitas internasional.
“Jadi kemungkinan besar kami akan datang lagi,” tutup Apiq dengan senyum.
Kehadiran wisatawan Malaysia ini semakin menegaskan posisi Sangihe sebagai destinasi unggulan wisata minat khusus.
Dengan pengelolaan yang tepat, potensi avitourism di daerah perbatasan ini diyakini mampu memberi dampak positif bagi pariwisata dan perekonomian lokal.