TRIBUNNEWS.COM - Contoh Tugas Refleksi Modul Pedagogik ditujukan kepada guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Kementerian Agama 2025 batch 3.
Sejumlah tugas menanti bapak/ibu guru PAI yang sudah menyelesaikan Tugas Mandiri Modul Pedagogik Topik 1-8 dalam PPG Kemenag 2025 selama Pembelajaran Mandiri.
Bapak/ibu guru PAI diminta mengerjakan Tugas Refleksi dalam bentuk word, kemudian copy paste di Learning Management System (LMS).
Tugas Refleksi dapat bapak/ibu guru PAI kerjakan setelah mengerjakan Tugas Mandiri dan mempelajari topik 1-8 dalam
Adapun tugas yang diminta adalah:
Bapak/ibu guru PAI yang kesulitan mengerjakan Tugas Refleksi Modul Pedagogik dapat menggunakan artikel ini sebagai referensi.
Inilah contoh Tugas Refleksi pada Modul Pedagogik untuk guru PAI yang mengikuti PPG Kemenag 2025 batch 3 yang dikutip dari YouTube Elisa Nurarofah, Berbagi Data, dan sumber lainnya:
Topik 1: Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Projek (Problem Based Leading [PBL] dan Project Based Learning [PJBL])
Materi ini membahas dua pendekatan pembelajaran inovatif yaitu:
- Problem Based Learning (PBL)
PBL adalah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik untuk menyelesaikan suatu permasalahan autentik. Siswa belajar secara aktif dengan mencari, menganalisis, dan memecahkan masalah nyata, bukan hanya menerima informasi dari guru.
- Project Based Learning (PJBL)
PJBL adalah pendekatan yang mendorong peserta didik untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan melalui proses merancang, merencanakan, dan menyelesaikan suatu proyek yang berhubungan dengan kehidupan nyata. Hasil akhirnya bisa berupa produk nyata atau presentasi solusi.
Kedua pendekatan ini bertujuan meningkatkan keterampilan abad 21, yaitu berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan komunikasi.
- Problem Based Learning (PBL)
- Project Based Learning (PJBL)
Keduanya bisa saling melengkapi dan sangat relevan diterapkan dalam Kurikulum Merdeka yang menekankan pada pembelajaran berdiferensiasi dan bermakna.
- Yang mendukung:
- Yang bertentangan:
- Tantangan:
- Hikmah (Lesson Learn):
Langkah: Rencana Aksi
Identifikasi Materi: Pilih materi PAI yang sesuai untuk pendekatan PBL/PJBL, seperti Akhlak Terpuji, Rukun Iman, Ukhuwah Islamiyah.
Rancang Masalah atau Proyek:
- PBL: Studi kasus "Remaja Muslim dan Media Sosial
- PJBL: Proyek membuat poster digital berisi ajakan menjaga lisan sesuai dengan QS. Al-Hujurat.
Fasilitasi Pembelajaran Aktif: Sediakan panduan diskusi, video edukatif, dan ruang refleksi bagi siswa untuk mengembangkan solusi atau karya.
Kolaborasi dan Presentasi: Ajak siswa mempresentasikan hasil diskusi atau proyek di depan kelas atau melalui media sosial sekolah.
Penilaian Autentik: Gunakan rubrik penilaian berbasis proses (partisipasi, pemikiran kritis) dan produk (kreativitas, makna nilai Islam).
Refleksi: Ajak siswa menuliskan refleksi pribadi apa yang mereka pelajari, dan bagaimana akan menerapkannya dalam kehidupan.
Materi yang paling menarik menurut saya adalah Pembelajaran Berbasis Diferensiasi (Differentiation Based Learning/DBL). Pembelajaran ini menekankan bahwa setiap peserta didik memiliki kebutuhan, minat, kemampuan, serta gaya belajar yang berbeda, sehingga guru harus mampu menyesuaikan strategi, metode, dan evaluasi pembelajaran sesuai dengan keragaman tersebut. DBL bukan berarti memberikan perlakuan berbeda antara siswa pintar dan lemah, melainkan menghadirkan keadilan belajar melalui layanan yang tepat, adil, dan sesuai kebutuhan masing-masing siswa.
Implementasi DBL dapat dilakukan dengan memodifikasi tiga aspek utama, yaitu konten, proses, dan produk pembelajaran. Misalnya, guru dapat menyesuaikan tingkat kesulitan materi bagi siswa yang memiliki kesiapan berbeda, menyediakan pilihan aktivitas sesuai minat, dan memberi kesempatan siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk beragam (presentasi, poster, tulisan, atau proyek). Hal ini relevan dengan prinsip pendidikan yang inklusif serta mendukung tercapainya tujuan pembelajaran abad ke-21 yang menekankan personalisasi belajar.
Dalam praktik mengajar, saya pernah menerapkan diferensiasi sederhana ketika menghadapi kelas dengan kemampuan literasi beragam. Siswa yang cepat memahami teks diminta membuat ringkasan, sedangkan siswa yang masih kesulitan saya dampingi dengan membaca bersama secara perlahan. Hasilnya, siswa merasa lebih nyaman dan tidak terbebani. Namun, saya juga pernah menghadapi kendala ketika semua siswa diberi tugas yang sama tanpa diferensiasi, sehingga beberapa siswa merasa bosan sementara yang lain tertinggal. Pengalaman ini membuktikan pentingnya penerapan DBL.
Tantangan utama dalam menerapkan DBL adalah keterbatasan waktu, jumlah siswa yang banyak, serta kemampuan guru dalam memetakan kebutuhan belajar secara cepat. Selain itu, kadang ada resistensi dari siswa atau orang tua yang kurang memahami konsep ini. Namun, hikmah yang saya peroleh adalah bahwa diferensiasi bukan sekadar strategi teknis, tetapi wujud nyata penghargaan terhadap keragaman dan potensi anak. Guru belajar lebih sabar, empatik, dan reflektif terhadap kondisi setiap peserta didik.
Untuk mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi di kelas, saya menyusun rencana aksi sebagai berikut:
Dengan demikian, materi Pembelajaran Berdiferensiasi tidak hanya relevan secara teoritis, tetapi juga sangat kontekstual dengan kondisi kelas di Indonesia yang penuh dengan keragaman.
Dari beberapa materi yang dipelajari yang menarik bagi saya adalah Karakteristik dan Gaya Belajar Peserta Didik Gen Z dan Alpha. Gen Z dan Alpha memiliki karakteristik yang unik terutama dalam aspek teknologi, komunikasi, dan cara berpikir. Dengan gaya belajar mereka yang lebih mengutamakan pengalaman yang interaktif, berbasis teknologi, dan berorientasi pada solusi serta cenderung lebih nyaman dengan pembelajaran berbasis digital, seperti video, game edukatif, dan platform pembelajaran daring, ini menjadi bekal khusus sekaligus tantangan bagi guru untuk menggunakan teknologi dalam pembelajaran agar tetap relevan dan menarik bagi peserta didik dengan pendekatan berbasis teknologi, pengalaman nyata, serta nilai-nilai Islam yang kontekstual.
Generasi Z dan Alpha adalah generasi yang tumbuh dalam era digital dengan akses tak terbatas ke teknologi. Maka dari itu, untuk implementasi/penerapkan gaya belajar peserta didik Gen Z dan Alpha dapat diwujudkan melalui pemanfaatkan teknologi secara optimal pembelajaran seperti pembelajaran melalui video, game edukatif, dan platform pembelajaran daring. Selain itu, guru bisa menggunakan model Blended Learning (kombinasi daring dan luring) atau dengan menerapkan Flipped Classroom, di mana siswa mempelajari materi sebelum kelas dan melakukan diskusi atau praktik saat tatap muka. Guru juga harus memberikan pengalaman belajar yang multi-modal, seperti infografis, video, simulasi, dan praktik langsung.
Dalam menerapkan gaya belajar peserta didik Gen Z dan Alpha tentunya banyak pengalaman yang sangat mendukung pada proses pembelajaran. Misalnya, saat materi pembelajaran disajikan dengan menggunakan teknologi berupa video pembelajaran interaktif, aplikasi kuis interaktif, game edukatif, dan lainnya, peserta didik menjadi sangat antusias pada materi yang disajikan. Siswa sangat tertarik dan membantu mereka menyerap informasi dengan cepat. Adapun bagi guru dalam penyajian materi jadi efesien dan cepat, guru tidak perlu menjelaskan panjang lebar karena semua materi sudah terpapar pada plartform digital yang digunakan.
Namun, terdapat beberapa hal yang bertentangan seperti kurangnya fokus siswa pada tujuan pembelajaran. Banyaknya informasi menarik melalui teknologi digital membuat siswa menjadi kurang fokus pada inti dari tujuan materi yang dipelajari. Pengalaman seperti ini tentunya menjada dampak positif/negatif untuk menerapkan pendekatan pembelajaran dengan sebaik-baiknya.
Salah satu tantangan dalam penerapan gaya belajar peserta didik Gen Z dan Alpha yaitu pengaruh teknologi dan digitalisasi terhadap siswa. Dalam konteks ini bagaimana memanfaatkan teknologi secara bijaksana dalam pembelajaran tanpa mengurangi interaksi langsung dengan sumber ajaran agama dan guru. Pembelajaran juga harus mengatasi distraksi digital, informasi yang tidak terpercaya, penyalahgunaan teknologi dan sebagainya. Hal ini menuntut guru untuk selalu mengajarkan kepada siswa keterampilan kritis dalam menganalisis dan mengevaluasi informasi. Guru dapat memastikan bahwa Generasi Z dan Alpha dapat fokus pada tujuan dari inti pembelajaran.
Hikmah yang didapatkan dari penerapan gaya belajar peserta didik Gen Z dan Alpha adalah teknologi/media digital, seperti video, aplikasi interaktif, gamifikasi,dan lainnya dapat membuat pembelajaran lebih menyenangkan dan menarik. Media ini dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang mungkin sulit dicerna dalam format teks biasa dan merupakan cara yang efektif dan efisien dalam menyampaikan informasi. Sementara bagi pendidik, media digital itu juga dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan digitalisasi di era pembelajaran abad-21sekarang.
Dengan melihat karakteristik dan gaya belajar peserta didik gen Z dan Alpha, berikut beberapa rencana aksi penerapan yang dapat diterapkan dalam pembelajaran yaitu:
- Menggunakan Teknologi yang Sesuai
Dalam mengatasi tantangan pendidikan generasi Z dan Alfa, teknologi menjadi kunci utama, Penggunaan teknologi harus diarahkan pada pengalaman belajar yang bermanfaat dan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran
- Pembelajaran yang Berorientasi pada Keterampilan
Pembelajaran yang Berorientasi pada keterampilan dapat dilakukan melalui pengalaman belajar yang lebih praktis, seperti proyek kelompok, simulasi, dan percakapan kelompok, yang menekankan pada penerapan keterampilan di kehidupan nyata
- Memperhatikan Aspek Sosial dan Emosional
Pendidikan tidak hanya berfokus pada aspek akademis, tetapi juga perlu memperhatikan aspek sosial dan emosional, sekolah dapat menyelenggarakan kegiatan yang mempromosikan kerjasama, pengalaman di luar kelas, dan interaksi antara generasi yang berbeda.
- Meningkatkan Kualitas Pengajaran
Kualitas pengajaran menjadi kunci dalam mengatasi tantangan pendidikan generasi Z dan Alfa di era digital. Sebagai contoh, pembelajaran dapat menggunakan pendekatan yang lebih kreatif dan inovatif, seperti mengintegrasikan teknologi dalam pengajaran, menggunakan permainan dan simulasi, serta memanfaatkan perpustakaan dan sumber daya lain yang tersedia.
Dengan langkah-langkah di atas serta memahami karakteristik dan gaya belajar Generasi Z dan Alpha serta mengatasi tantangan dalam pengajaran, diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang lebih efektif, bermakna, dan relevan dengan kehidupan mereka.
Pembelajaran berdiferensiasi adalah pendekatan yang menyesuaikan proses belajar dengan kebutuhan, minat, dan gaya belajar peserta didik. Dalam konteks PAI, pendekatan ini sangat relevan karena siswa memiliki latar belakang pemahaman agama, pengalaman spiritual, dan motivasi belajar yang beragam. Diferensiasi dapat dilakukan pada konten (materi), proses (cara belajar), dan produk (hasil belajar), dengan tujuan menciptakan keadilan dalam pembelajaran, bukan keseragaman.
Implementasi pembelajaran berdiferensiasi dalam PAI dapat dilakukan melalui:
Mendukung: Dalam pembelajaran tentang zakat, saya pernah membagi siswa ke dalam kelompok berdasarkan minat: satu kelompok membuat simulasi penghitungan zakat, satu kelompok membuat kampanye zakat digital, dan satu kelompok menulis artikel opini. Hasilnya, siswa lebih antusias dan memahami konsep zakat secara lebih mendalam.
Bertentangan: Namun, saat mencoba diferensiasi tugas dalam materi akhlak, beberapa siswa merasa bingung memilih tugas yang sesuai. Ada yang memilih tugas karena mudah, bukan karena sesuai minat atau gaya belajar. Ini menunjukkan perlunya pendampingan dan penjelasan yang lebih matang.
Tantangan:
Hikmah (Lesson Learn):
Perencanaan:
Pelaksanaan:
Evaluasi:
Pengembangan Profesional:
Materi yang sangat menarik dari Topik 6 adalah pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi adalah pendekatan yang menekankan kesetaraan, yaitu setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK).
Menurut Sapon-Shevin (2007), pendidikan inklusi adalah upaya menciptakan lingkungan belajar di mana setiap siswa merasa diterima, dihargai, dan mampu berkontribusi secara penuh dalam komunitas pembelajaran. Demikian pula Stainback & Stainback (1990) menegaskan bahwa inklusi adalah filosofi pendidikan yang berkomitmen memberikan kesempatan belajar bersama bagi semua siswa dengan penyesuaian yang sesuai.
Pendidikan inklusi bukan hanya tentang menempatkan ABK di kelas reguler, tetapi juga mencakup dukungan kurikulum, metode, dan lingkungan belajar yang adaptif. Salamanca Statement (1994) bahkan menegaskan bahwa semua anak, termasuk yang memiliki disabilitas, harus belajar di sekolah reguler bersama teman sebayanya dengan dukungan yang memadai
Penerapan pendidikan inklusi di sekolah memerlukan pendekatan menyeluruh. Pertama, guru perlu melakukan asesmen diagnostik untuk memahami kebutuhan dan hambatan siswa. Kedua, kurikulum harus dimodifikasi agar fleksibel dan sesuai kemampuan anak. Misalnya, ABK diberi materi yang sama tetapi dengan tingkat kesulitan berbeda.
Selain itu, guru perlu mengembangkan metode pembelajaran adaptif, seperti strategi multisensori, pembelajaran berbasis permainan, atau penggunaan media digital. Hal ini sejalan dengan Booth & Ainscow (2002) yang menyatakan bahwa inklusi bertujuan mengidentifikasi dan mengatasi hambatan belajar serta menciptakan kebijakan yang mempromosikan keadilan
Implementasi yang baik juga membutuhkan kolaborasi antara guru, orang tua, dan tenaga profesional (psikolog, terapis). Terakhir, sekolah harus membangun budaya inklusif dengan menanamkan nilai empati, kerjasama, dan penghormatan pada perbedaan.
Dalam pengalaman mengajar, saya pernah menghadapi siswa dengan hambatan membaca. Untuk menyesuaikan, saya menyediakan lembar kerja bergambar dengan kalimat sederhana. Hasilnya, siswa tersebut tetap bisa terlibat dalam aktivitas kelas tanpa merasa tertinggal.
Namun, saya juga pernah melakukan kesalahan dengan memberikan tugas seragam kepada seluruh siswa tanpa diferensiasi. Dampaknya, siswa ABK kesulitan menyelesaikan tugas, merasa rendah diri, dan tidak termotivasi. Dari pengalaman ini, saya memahami bahwa pendidikan inklusi membutuhkan penyesuaian nyata, bahkan dalam hal sederhana, agar semua siswa bisa belajar bersama.
Tantangan penerapan pendidikan inklusi antara lain:
Meski penuh tantangan, hikmah yang saya peroleh adalah:
Dengan demikian, pendidikan inklusi tidak hanya bermanfaat bagi ABK, tetapi juga menciptakan lingkungan sekolah yang humanis.
Untuk mengimplementasikan pendidikan inklusi, saya menyusun rencana aksi sebagai berikut:
*) Disclaimer:
(Sri Juliati)