Pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho menilai reshuffle kabinet Presiden Prabowo Subianto harus menjadi langkah korektif menyeluruh, bukan sekadar pergantian nama. Ia menekankan pentingnya reformasi sistem politik, hukum, dan ekonomi demi kepentingan rakyat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai perombakan atau reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto harus dipandang sebagai evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola politik, hukum, dan ekonomi nasional.
Menurutnya, pergantian menteri bukan sekadar rotasi jabatan, melainkan harus menjadi momentum perbaikan sistem pemerintahan.
“Pergantian Menko Polkam ini bukan sekadar soal siapa yang menduduki jabatan, melainkan bagaimana koordinasi antar lembaga bisa lebih solid, transparan, dan akuntabel,” ujar Hardjuno kepada wartawan di Jakarta, Senin (8/9/2025).
Ia menegaskan bahwa posisi Menko Polkam adalah garda depan dalam menjaga stabilitas nasional, bukan sekadar jabatan politik.
Hardjuno menyebut reshuffle ini sebagai sinyal adanya persoalan serius dalam koordinasi politik dan keamanan. Namun ia mengingatkan, pergantian pejabat tak boleh berhenti pada level kosmetik.
“Yang lebih penting adalah membangun sistem yang transparan, sehingga praktik-praktik yang melemahkan demokrasi dan merugikan rakyat bisa dihentikan,” ujarnya.
Hardjuno Wiwoho dikenal sebagai pengamat hukum dan pembangunan serta pegiat antikorupsi yang aktif menyuarakan reformasi sistem pemerintahan. Ia juga merupakan kandidat doktor bidang hukum dan pembangunan di Universitas Airlangga, dan kerap menjadi narasumber dalam berbagai forum kebijakan publik.
Pandangannya terhadap reshuffle kabinet Presiden Prabowo Subianto mencerminkan pendekatan akademik dan advokasi publik yang menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada rakyat dalam setiap keputusan politik.
Dalam bidang ekonomi, Hardjuno menyoroti pencopotan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia mengkritik strategi anggaran berbasis defisit yang menurutnya telah membuat utang negara terus membengkak.
“Selama ini, dengan model defisit, pemerintah cenderung menutup kebutuhan belanja dengan utang. Akibatnya, bank-bank lebih nyaman menaruh dananya di instrumen seperti SBI atau SUN, ketimbang menyalurkannya langsung ke sektor riil. Rakyat hanya jadi penonton,” paparnya di Jakarta, Senin (8/9/2025).
Ia berharap, dengan tidak adanya Sri Mulyani dalam kabinet, arah kebijakan keuangan negara bisa lebih berani mengurangi penerbitan utang dan mendorong bank menyalurkan kredit kepada rakyat.
“Kalau bank dipaksa mengalirkan uangnya ke sektor riil, UMKM bisa tumbuh, lapangan kerja tercipta, dan ekonomi rakyat bergerak,” tegasnya.
Hardjuno juga menyoroti dimensi politik dalam reshuffle.
Menurutnya, kursi menteri bukan hadiah bagi kelompok tertentu, melainkan amanah untuk mengelola negara. “Publik akan menilai apakah reshuffle ini sungguh-sungguh untuk rakyat atau sekadar bagi-bagi kekuasaan,” katanya.
Ia menutup dengan menekankan bahwa reshuffle harus memberi arah baru bagi pembangunan nasional.
“Indonesia sedang menghadapi tantangan besar, dari geopolitik global hingga ketimpangan domestik. Reshuffle harus memberi sinyal bahwa negara ini siap menjawab tantangan itu dengan kepemimpinan yang tegas, adil, dan berpihak pada rakyat,” ujar Hardjuno.