Pada Juli 2009, Intisari berkesempatan berbincang-bincang dengan Sri Mulyani. Tentang pilihan-pilihannya, tentang keluarganya, dan keinginannya jika bisa reinkarnasi.
Artikel ini tayang di Majalah Intisari edisi September 2009 dengan judul "Sri Mulyani Indrawati: Hidup Saya adalah Pengalaman Rohani". Pewawancara: Lily Wibisono dan Muhammad Sulhi
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Pada 2009, Sri Mulyani Indrawati adalah Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Bidang Ekonomi sekaligus Menteri Keuangan RI. Senin, pertengahan Juli tahun itu, di kantor Menko Perekonomian yang lapang, Sri Mulyani menyediakan waktu untuk ngobrol dengan Intisari.
Tampil segar, tubuh langsingnya terbalut setelan kerja formal berwarna krem. Langsung terasa betapa "Bu Ani" (begitu panggilan akrabnya) tak cuma asyik dipandang, tapi juga memancarkan aura kecerdasan dan energi.
Seperti gelombang air obrolan mengalir lancar. Sri Mulyani, yang ketika itu berusia 47 tahun, tak kehilangan spontanitas yang umumnya hanyut oleh usia, beban hidup, dan lebih-lebih oleh jabatan.
Intisari: Apa bekal yang paling Anda peroleh dari orangtua?
Hidup yang jujur dan apa adanya. Pada dasarnya sebagai orang Jawa, pertama-tama kita mesti tahu kemampuan sehingga tahu apa yang dapat kita harapkan dan kita jangkau. Kedua, bagaimana mengasah kemampuan akademik. Kalau dari sisi aktivitas ekstra, mereka lebih suka kami menjadi anak yang "normal" dalam arti mempunyai keterampilan lengkap. Mereka suka memanggil sesama rekan dosen untuk memberikan kursus, entah melukis, bahasa Inggris, paduan suara, olahraga. (Sri Mulyani adalah anak ke-7 dari sepuluh anak pasangan aim. Prof. drs. Satmoko dan alm. Prof. Dr. Retno Sriningsih, keduanya perintis dan guru besar di Universitas Negeri Semarang.)
I: Apakah kebiasaan melakukan banyak hal dari masih kecil kemudian saat kuliah itu terbawa sampai sekarang mampu bermultitasking ...?
Memang multitasking itu tipikal perempuan. Barangkali juga karena terbiasa melihat Ibu. Dengan sepuluh anak, beliau mengambil S-3-nya di Jakarta saat saya masih SMA, dan lulus sama-sama ketika saya juga lulus sarjana. Di rumah tidak pernah ada hari libur. Hari Sabtu biasanya banyak pekerjaan riset. Kami terbiasa melihat beliau bekerja, berkeluarga, membesarkan anak, berkarier, belajar, semua dalam satu rangkaian pekerjaan.
Kami jadi tidak memandang pekerjaan sebagai suatu beban. Sebaliknya mengurus rumah, mengurus anak buat saya juga bukan beban. Saya menikmatinya sehingga ketika harus meninggalkan rumah, itu berarti meninggalkan suatu kenikmatan.
I: Apakah anak-anak pernah komplain?
Saya jarang mendengar anak-anak komplain. Mungkin karena mereka sudah terbiasa. Anak pertama saya masih di dalam kandungan ketika saya harus menyiapkan ujian pendahuluan untuk program Ph.D. Masa itu saya suka bilang kepadanya, "Ditemani ya ibumu (belajar)." Begitu dia lahir, usianya baru seminggu, dia sudah saya bungkus dan dibawa dalam keranjang karena saya harus mengajar.
Maklumlah waktu itu di Illinois, salju sampai satu meter tingginya. Cuma, anak saya akan komplain kalau ia merasa dinomorduakan. Anak saya tidak pernah merasa dinomorduakan karena kapan saja dia butuh saya, saya pasti ada.
(Sri Mulyani melanjutkan program S2-nya untuk Policy Economics di University of Illinois di Urbana - Champaign, AS, pada tahun 1988 yang diselesaikannya pada 1990. Lulusan Fakultas Ekonomi UI 1986 ini langsung melanjutkan dengan program S3 di universitas yang sama dan lulus tahun 1992. Anak pertamanya Dewinta Illinia kini kuliah di Australia, tingkat 2 di jurusan perdagangan dan hukum)
I: Lewat telepon?
Yaah, 'kan ada teknologi. Sekarang anak saya ada yang di luar negeri; misalnya dia sedang down dia bisa saja tiba-tiba mengirim pesan, "Mama, can I call you?" Lalu saya akan mencari tempat untuk bisa bicara dengan dia.
Bagi saya, setiap ibu dengan anak dan keluarganya didesain dengan konstruksi psikologi sendiri-sendiri. Jadi yang disebut cukup atau tidak cukup, kuantitas atau kualitas, sebetulnya tergantung pada hubungan mereka.
Hubungan kami dengan anak-anak sangat transparan.
I: Anda 'kan tidak selalu mendapatkan pujian...?
O ya ... dan saya mengharuskan mereka membaca koran. Mereka harus tahu headline, sehingga paling tidak memahami sensitivitas suatu isu.
I: Kalau seorang laki-laki hebat, orang mengatakan karena dia didukung oleh istri yang hebat. Bagaimana kalau seorang wanita yang hebat? Apakah dia didukung oleh seorang suami yang hebat?
Saya rasa sama saja ....
I: Karena bukankah Pak Tony tak banyak terdengar kabarnya di luar?
Ha ha ha .... Ini pertanyaan yang sering ditanyakan kepada saya dan saya sulit menjawabnya dalam template manusia normal, karena keluarga di Indonesia umumnya paternalistik.
Suami dan saya sudah membuat kesepakatan dari awal. Waktu itu setelah lulus dari Fakultas Ekonomi UI saya mendapat beasiswa di luar negeri. Suami saya, lulus dari FEUl bekerja di bank. Bapak ibu saya mengatakan kepada Pak Tony, "Kalau mau menikah dengan anak saya, dalam keluarga kami konsep keluarga adalah tidak boleh ada jarak secara fisik."
Jadi kami membuat kalkulasi antara keluar negeri dengan tinggal di Indonesia. Kami suka dengan pilihan ke luar negeri. Apalagi kami sudah sedikit bersepakat, terutama dari pihak saya, bahwa kalau diberi anak oleh Tuhan, makan anak itu akan menjadi anak kami as much as possible, terutama dalam hal penanaman nilai-nilai.
Tetapi setahun terakhir di AS kami terpisah, karena beasiswa saya sudah habis sehingga tak cukup untuk membiayai hidup kami bertiga. Kata orang disertasi saya tercepat. Bukan-karena saya pintar, tapi karena saya terpisah dari anak saya ... ha ha ha. Waktu itu internet belum sehebat sekarang. Komunikasi sangat mahal. Berkat penderitaan itu saya bekerja cepat. Dan pastinya Tuhan banyak membantu.
I: Apa pengaruh berasal dari keluarga besar?
Oh banyak. Yang jelas karena dari keluarga besar kami tidak perlu berteman keluar. Hidup kami tidak berlebih-lebihan. Dapat dilihat: anak no. 1 - 3 adalah “anak masa penderitaan"; anak no. 4 - sampai saya adalah "anak masa keemasan"; anak sesudah itu adalah "anak-anak bonus". Jadi kelihatan ada badge-nya.
I: Apa teguran orangtua yang paling sering?
Kalau baca jangan njenggureng… ha ha ha karena saya suka mengernyitkan alis saat membaca. Teguran lain enggak ada. Tapi pernah ada ketika menjelang lulus SMP. Kami membuat acara perpisahan sebelum pengumuman kelulusan di luar Semarang. Tapi Ibu saya melarang karena secara filsafat Jawa sangatlah tidak elok bersenang-senang sebelum seluruh pekerjaan selesai. Saya bilang, "Tapi saya ketua kelas, saya ketua OSIS." Saya sampai menangis selama satu setengah hari, tapi beliau menjawab, "Ini soal filosofi.”
Memang soal filosofi, pendidikan, pantas tidak pantas, kami agak ketat. Sedangkan Bapak bisa melukis, menyanyi, main piano. Dia sangat musikal dan artistik. Begitulah keluarga kami.
I: Jiwa seseorang biasanya tampak dari kegiatan ekstranya. Kami catat banyak sekali kegiatannya: ada voli, ada menyanyi ... tanaman hias, melukis, membaca, wisata kuliner. Sangat Sri Mulyani ...?
Sejak kecil minat saya memang banyak, bahkan juga menjahit. Walaupun Ibu tidak menganjurkan kami untuk belajar menjahit atau memasak, karena menganggap kami bisa mempelajarinya nanti setelah dewasa. Dari enam perempuan, saya mungkin yang paling "merempuan". Saya pernah membuat semua orang tercengang karena bisa menjahit baju sendiri dengan pola dari majalah remaja putri. Padahal tidak ada yang mengajari saya menjahit. Tetapi saya sering mengamati tukang jahit tua yang datang menjahit untuk Ibu.
Sedangkan memasak saya baru mulai benar-benar belajar di AS dengan buku-buku resep yang saya bawa. Dari nol saya belajar sampai dapat membuat bakmi Gajah Mada, lumpia, dll. Karena suami saya suka sekali makanan berkuah, saya belajar membuat berbagai macam soto.
I: Juga bisa menyanyi...?
O sangat bisa, tapi itu hanya sebagai pelepasan saja, apalagi setelah bekerja…
I: Aktivitas yang ditekuni setelah jadi pejabat?
Sekarang sedang belajar main biola ... ha ha ha … Juga belajar melukis dengan cat minyak.
I: Ingin jadi pelukis juga?
Lo… bukan…, saya bukan pelukis ... nanti pelukis-pelukis bisa marah.
I: Ada penyanyi favorit?
Tidak. Dalam segala hal saya tidak punya fanatisme. Mariah Carey Whitney Houston, Celine Dion, Sarah Brightman itu 'kan memiliki kualitas suara yang luar biasa. Musik jazz juga menyenangkan; sambil bekerja saya suka mendengarkan lagu klasik. Tetapi pada umumnya saya suka musik easy listening, meskipun pada suasana hati tertentu saya suka juga musik yang rumit.
I: Apa yang Anda lakukan untuk mencari keseimbangan?
Kontemplasi. Tidak berarti harus pergi ke gunung, tapi dalam arti kita mengadakan jeda. Berhenti sebentar untuk berpikir dan merenung. Merasakan saja, karena hati juga harus dibiarkan untuk exercise. Merenungkan apakah saya sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan? Melamun dalam perjalanan di mobil juga bisa produktif.
I: Apakah Anda termasuk religius?
Ya, tergantung kita mendefinisikan religius itu apa? Kalau kita mendefinisikannya sebagai setiap detik menyadari ada Tuhan dan Tuhan itu sangat berarti bagi kita … Saat berenang saya kadang bisa sambil berzikir. Jadi entahlah, religius itu harus bagaimana … apakah harus berkerudung...?
I: Spiritual barangkali?
Spiritual pasti ya karena keluarga aya sangat mementingkan segi itu. "Gusti Allah ora sare (Tuhan tidak tidur),” begitu Ibu sering mengatakan. Dulu ketika saya belum menjadi pejabat, bersama ketiga anak kami, pada hari Sabtu ketika keluar makan, kami suka salat di masjid besar hanya untuk merasakan nikmatnya bersembahyang di sana.
I: Banyak orang mengalami perubahan dalam hidupnya karena pengalaman-pengalaman rohani. Pernah mengalami pengalaman rohani seperti itu?
Seluruh episode hidup saya adalah pengalaman rohani, karena saya tak dapat menjelaskannya. Memilih jurusan ekonomi saja sudah merupakan pengalaman rohani bagi saya. Kenapa? Karena Bapak Ibu hanya menganjurkan kami untuk masuk kedokteran atau teknik. Status sosialnya jelas. Tapi saya malah memilih ekonomi tanpa ada yang menasehati.
Kemudian ketika di Fakultas Ekonomi, kenapa saya tidak memilih manajemen saja karena ekonomi manajemen itu sederhana, logis, skill saya lebih cocok dengan aktivitas itu. Mengapa saya memilih Studi Pembangunan yang sangat makro. Saya sreg aja. Lalu ketika lulus saya menjadi Asisten Pengajar, saya pun mendapat beasiswa dari British Council untuk studi ke Inggris. Di saat-saat terakhir, saya berubah pikiran untuk studi ke AS. Tak tahulah. Di sana pun saya dapat menyelesaikan sekolah hanya dalam waktu empat tahun. Jadi saya serasa dituntun saja.
Selesai studi saya balik ke Tanah Air dan dipercaya menjadi salah satu pimpinan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi UI. Kemudian setelah lama saya menjadi pengamat kami berpikir: anak sudah tiga dan mereka belum pernah tinggal di luar negeri untuk melakukan komparasi. Kalau Anda orang Jawa dan Islam, tinggal di Indonesia, Anda akan sulit berempati kepada kaum minoritas. Maka, kami cemplungkan saja mereka di AS. Tiba-tiba mereka menjadi minoritas. Dan memang, hidup di sana selama dua tahun membuat anak-anak kami berbeda.
(Sebagai pengamat, komentar dan analisisnya digemari karena lugas, kritis, dan jernih. Ibarat menyelam minum air, sambil memperkenalkan anak-anak pada kehidupan yang berbeda, Sri Mulyani menjadi konsulat USAid di Atlanta, Georgia. Dia juga mengajar tentang perekonomian Indonesia dan ekonomi makro di Georgia University.)
Kemudian saya mengambil cuti sabatikal selama dua tahun, sebelum diminta oleh Ibu Presiden Megawati untuk menempati pos Executive Director Dana Moneter Internasional (IMF). Itu perjalanan berkah. Selanjutnya saya dipanggil pulang oleh Bapak Presiden SBY untuk menjadi menteri.
(Sri Mulyani adalah perempuan Indonesia pertama dan perempuan kedua yang menjabat Executive Director di IMF pada awal Oktober' 2002. Tiga jabatan menteri yang belum pernah dipegang oleh seorang wanita kemudian disandangnya: Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan Pelaksana Tugas Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu.)
I: Pernah ingin menjadi menteri? Atau bercita-cita mengurus Indonesia?
Boro-boro. Kalau untuk mengurus Indonesia 'kan enggak usah jadi menteri. Saya bilang kepada anak ,saya, "Kalau nanti besar, menjadi apa pun yang penting kamu harus mencintai pekerjaanmu. Kedua, saya mau kamu menjadi warga negara dari sebuah negara yang harus kita jaga bersama. Kalau kamu mempunyai penghasilan tetapi tidak membayar pajak, maka kamu tidak menjadi bagian dari warga negara Indonesia. Jadi saya menanamkan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menurut saya, itu (sudah) mengurus negara."
I: Jadi selama ini hidup penuh dengan pengalaman rohani dan berkah?
Saya rasa ya... Makanya saya paling takut mengeluh. Takut orang akan mengatakan, "Enggak tahu diri banget nih orang." Makanya kalau mau' mengeluh dengan diri sendiri saja, di kamar mandi.
I: Ide bahwa orang ingin membuat Anda jadi wapres sampai juga kepada Anda?
Ya, saya rasa itu harapan orang saja. Saya tidak bisa mencegah orang untuk berpikir ....Yang jelas saya tidak memobilisasi apa-apa.
I: Jadi bukan dari Anda ya?
Kalau itu 1000% pasti. Malah anak saya agak terganggu. Menjaga agar anak-anak tetap menjadi anak-anak normal, dalam situasi di mana masyarakat kadang-kadang menempatkan pejabat publik atau orang-orang seperti kami sebagai "bukan orang normal"; itu sesuatu yang benar-benar harus dikelola.
I: Ada hal-hal larangan tertentu?
Tidak. Yang paling krusial adalah saat mereka kecil karena mereka lebih tergantung pada kita. Saya sengaja memasukkan anak-anak ke sekolah-sekolah biasa. Bukan sekolah-sekolah internasional. Ketika baru pulang dari AS, anak saya yang masuk ke Al Azhar gelagapan karena langsung harus membaca Al Quran dan bahasa Arab.
Tapi saya bilang, "Kamu adalah bagian dari Indonesia. Kamu juga adalah orang Jawa dan Islam. Harus tahu apa yang kamu anut. Dan kalau kamu tidak dapat bergaul dengan orang Indonesia, something's wrong with you," saya bilang.
I: Sekarang ada kecenderungan orang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah internasional.
Asalkan orangtua dan sekolah tahu apa yang akan mereka bentuk, saya kira tidak masalah.
I: Di luar Anda 'kan dikenal sebagai orang yang smart ...
Masa sih ...
I: Dan orang smart itu bikin takut orang.
Masa sih ... dua kali masa berarti ... ha ha ha.
I: Sebagai pemimpin yang smart Anda lebih pilih orang menuruti dengan cara apa? Karena takut atau karena mereka mengerti apa yang harus mereka kerjakan?
Ya jelas kalau ini pertanyaan pilihan ganda, saya pilih yang kedua ... ha ha ha ...Tapi itu pengalaman saya di Depkeu sajalah. Orang tak bisa disuruh karena takut. Pertama karena saya cuma sendirian, dan anak buah ada 64.000 orang. Tidak mungkin kita menakut-nakuti 64.000 orang. Kedua, saya meyakini manusia itu pada dasarnya memiliki keinginan untuk berbuat baik yang besar. Jadi saya lebih memotivasi ketimbang memimpin mereka. Memotivasi untuk melakukan sesuatu yang mereka sendiri merasa nyaman, bangga. Kepada para pejabat yang mendekati usia pensiun saya katakan, "Anda ingin dikenang oleh anak buah, oleh lingkungan Depkeu atau di luarnya, ‘O, si A yang maling?' atau ‘A yang berdedikasi, yang reformis? Mati pun Anda akan jadi buah bibir.' Nah, sekarang apakah kita semua mau bikin nama baik? Silakah bikin nama."
Apakah saya berhasil memotivasi orang? Tak tahulah. Orang lain yang menilai. Saya sendiri menganggap memberikan bukti perubahan itu merupakan sesuatu yang harus terus-menerus kita jaga.
I: Anda 'kan mempunyai pengalaman bekerja dengan pelbagai jenis bangsa. Apakah keunikan orang Indonesia?
Mudah disentuh, mudah dimotivasi, tapi lemah dalam delivery. Jadi niat itu gampang, tapi menghitungnya secara cermat, melaksanakan setiap tahap dengan seluruh upaya, mengambil risikonya, bahkan berkorban untuk itu, Indonesia lemah.
I: Kenapa bisa begitu?
Karena selama ini orang Indonesia dibesarkan oleh pendidikan yang tidak menghargai proses. Negara ini sangat didominasi oleh hasil. Karena itu negara ini belum mampu untuk menjadi negara industri. Satu dua jenius ada, tapi mereka membutuhkan sistem pendukung yang diisi oleh orang-orang yang berdedikasi terhadap proses. Makanya, reformasi saya (di Depkeu - Red.) bukan untuk kelihatan keren di depan. Tapi lebih pada mengubah pola pikir.
(Efisiensi yang digerakkannya di DepKeu berakibat cadangan devisa Indonesia dan investasi asing terus meningkat. Dia memerangi korupsi, menciptakan insentif pajak dan menyederhanakan peraturan perundangan untuk investasi. Oleh koran Emerging Markets dia didapuk sebagai Menteri Keuangan Terbaik Asia tahun 2006. Oleh Globe Asia tahun 2007 dia dinyatakan sebagai wanita berpengaruh ke-2 di Indonesia, dan tahun 2008 giliran Majalah Forbes meletakkannya di no. 23 dalam jajaran 100 wanita paling berpengaruh di dunia).
I: Anda sendiri ingin dikenang sebagai apa?
Sri Mulyani orang Jawa yang sudah melakukan yang terbaik untuk negaranya.
I: Kalau bisa reinkarnasi, Anda ingin dilahirkan kembali sebagai apa?
Nah, pertanyaan bagus. Saya ingin menjadi pemain tenis atau piano. Saya suka Steffi Graf. She is so gracious. Menjadi olahragawan atau pemain piano adalah kepuasan tertinggi saya.