Yogyakarta (ANTARA) - Pakar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Tunjung Sulaksono menilai menteri baru hasil reshuffle kabinet Presiden Prabowo Subianto harus berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan agar tidak memicu kontroversi.

"Kemampuan komunikasi politik dan 'public speaking' harus terus ditingkatkan," ujar Tunjung Sulaksono dalam keterangannya di Yogyakarta, Selasa.

Tunjung menekankan reshuffle yang mengganti lima menteri merupakan langkah strategis pemerintah untuk merespons ketidakpuasan publik, termasuk desakan dari gerakan "17+8" yang menuntut perbaikan kinerja pemerintah dan transparansi.

Menurut dia, menteri baru tidak hanya perlu menampilkan kinerja optimal, tetapi juga segera mengambil langkah-langkah strategis yang dapat langsung dirasakan masyarakat.

"Menteri baru harus segera menyelesaikan berbagai persoalan yang menjadi penyebab kemarahan publik," kata Tunjung.

Ia menekankan pentingnya program-program "quick wins" dalam 100 hari pertama masa jabatan, khususnya di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan.

Dari perspektif ilmu pemerintahan, Tunjung menyebut ada tiga alasan utama reshuffle dilakukan yakni terkait kinerja, politis, dan yuridis.

Pertama, pergantian menteri bisa karena kinerja yang dinilai belum maksimal, terutama di sektor krusial. Kedua, reshuffle merupakan respons politis untuk meredam ketegangan akibat kontroversi atau ketidakpuasan publik terhadap pejabat tertentu.

Ketiga, faktor yuridis, termasuk kasus hukum yang menjerat pejabat sebelumnya, turut mempengaruhi keputusan Presiden.

"Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, sendiri menyatakan salah satu pertimbangan perombakan kabinet adalah gejolak demonstrasi akhir Agustus 2025 lalu," ujar Tunjung.