Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Kaduspatin) Badan Penyelenggara Haji Moh. Hasan Afandi sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023–2024.

"Pemeriksaan atas nama MHA, Kaduspatin BP Haji tahun 2024 sampai sekarang," ujar Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Prasetyo saat dikonfirmasi ANTARA dari Jakarta, Kamis.

Budi mengatakan pemeriksaan terhadap mantan Kepala Subdirektorat Data dan Sistem Informasi Haji Terpadu pada Direktorat Pengelolaan Biaya Operasional Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag tersebut bertempat di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta.

Berdasarkan catatan KPK, Moh. Hasan Afandi telah tiba di Gedung Merah Putih KPK pada pukul 09.44 WIB.

Sebelumnya, KPK mengumumkan memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024, yakni pada 9 Agustus 2025.

Pengumuman dilakukan KPK setelah meminta keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam penyelidikan kasus tersebut pada 7 Agustus 2025.

Pada saat itu, KPK juga menyampaikan sedang berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus kuota haji tersebut.

Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp1 triliun lebih dan mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri, salah satunya adalah mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas.

Selain ditangani KPK, Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menyatakan pihaknya telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.

Titik poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.

Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler.