Cermin dari Nepal untuk Indonesia
GH News September 11, 2025 07:14 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Awal September 2025, seluruh dunia menyaksikan Kathmandu terbakar. Terbakar oleh amarah yang telah lama mendidih di bawah permukaan masyarakat Nepal. Peristiwa kulminasi dari serangkaian kegagalan yang mengubah keresahan menjadi amuk massa. 

Pemandangan dari ibu kota Nepal itu mengirimkan getaran peringatan ke seluruh dunia, sebuah cermin retak yang merefleksikan kerapuhan tatanan sosial, termasuk bagi Indonesia.

Kisah Nepal adalah sebuah narasi modern yang tragis. Akarnya di krisis ekonomi yang mencekik. Harga beras, makanan pokok, melambung tak terkendali. Bahan bakar menjadi barang langka. 

Di tengah kesulitan itu, jutaan anak muda terperangkap dalam labirin pengangguran. Mereka jadi tanpa harapan dan masa depan buram. Penderitaan jadi pengalaman kolektif, dirasakan di setiap dapur dan di setiap sudut jalan. Bom waktu yang dapat meletup kapan saja. 

Di atas bara ekonomi ini, tersiram bensin kesenjangan sosial yang dipertontonkan tanpa malu. Generasi Z Nepal, yang hidup di dunia digital, setiap hari disuguhi pemandangan "Nepo Kids" (anak anak pejabat dan elite politik) yang memamerkan kemewahan. 

Mobil sport terbaru, jam tangan mahal, dan liburan glamor di Eropa menjadi konten rutin mereka. Di satu layar, rakyat antre minyak. Di sisi lain, elite berpesta pora. Media sosial  justru menjadi panggung provokasi digital yang mempertajam luka ketidakadilan. Rasa frustrasi pun bermefamorfosa jadi kebencian.

Api akhirnya menyambar ketika pemerintah mengambil langkah fatal: memblokir akses ke platform media sosial utama seperti Facebook, X, dan YouTube. Momen inilah pemerintah secara paksa menghancurkan tumpuan gerakan protes digital rakyat. Kelayakan mereka untuk didengar, yang mereka bangun melalui unggahan dan opini, seketika sirna. 

Persatuan yang mereka rajut dalam komunitas online dan tagar solidaritas, tiba tiba tercerai berai. Kekuatan mereka yang berasal dari jumlah, yang terlihat dari tren dan jumlah interaksi, mendadak lenyap dari pandangan publik. Pada akhirnya, komitmen mereka yang tertuang dalam konten protes dihapus secara sistematis.

Pemerintah tidak hanya memutus koneksi internet, mereka memutus arteri sosial sebuah generasi. Ketika ruang digital sebagai katup pengaman ditutup, maka tekanan itu harus mencari jalan keluar lain. Jalanan menjadi satu-satunya panggung yang tersisa. Protes yang awalnya damai dengan cepat berubah menjadi kerusuhan brutal.

Gedung parlemen, simbol kekuasaan yang dianggap korup, dibakar massa. Aparat keamanan pun kewalahan jadi sasaran amarah. Rakyat telah mempermalukan simbol negara. Ini balasan atas rasa malu dan terhina yang mereka rasakan selama bertahun-tahun.

Peristiwa di Kathmandu ialah peringatan keras bagi Indonesia. Tiga bibit utama kerusuhan Nepal yaitu keresahan ekonomi, pamer kemewahan para elite, dan pembungkaman suara kritis. Mengabaikannya sama saja dengan membiarkan api kecil menjadi kebakaran hebat.

Pertama, tekanan ekonomi. Rakyat paling peka terhadap turunnya daya beli dan sulitnya lapangan kerja. Krisis ekonomi dapat  jadi percikan yang menyulut revolusi sosial. Ketika perut lapar dan harapan menipis, publik pun hilang kesabaran.

Kedua, fenomena flexing. Ketika anak pejabat atau aparat sibuk memamerkan gaya hidup mewah di media sosial, maka publik pasti kecewa. Ini bukan iri sosial, ini menandakan tiadanya empati. 

Ketika rakyat sibuk berjuang bayar pajak dan memenuhi kebutuhan hidup, pamer kekayaan oleh keluarga pejabat terkesan ada pengkhianatan terhadap amanah publik.

Ketiga, ruang kebebasan berekspresi. Upaya membungkam kritik, baik melalui legislasi kontroversial maupun intimidasi digital, dapat menjadi langkah berbahaya. Peristiwa di Nepal menunjukkan pemblokiran saluran ekspresi akan mendorong rakyat mencari jalur lain. 

Boleh jadi jalur yang destruktif. Demokrasi yang gaduh masih jauh lebih baik daripada kediktatoran yang sunyi. Pers yang bebas dan media sosial yang terbuka harus dilihat sebagai mitra penguasa.

Kredibilitas pemerintah juga menentukan. Rakyat yang kehilangan kepercayaan pada institusi negara, pasti akan mencari keadilan dengan caranya sendiri. Parlemen jalanan ialah manifestasi dari kegagalan negara. 

Beruntung, Indonesia tak seperti Nepal. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan DPR menunjukkan sikap responif dan keseriusan merawat Indonesia. Keputusan DPR untuk menghentikan tunjangan perumahan, dan moratorium kunjungan kerja luar negeri menunjukkan keseriusan. 

Langkah ini, meski simbolis, sudah menunjukkan kepekaan terhadap penderitaan rakyat. Ada pula tindak keseriusan untuk pemberantasan korupsi. 

Muncul juga komitmen pembahasan RUU Perampasan Aset. Di eksekutif, Presiden Prabowo merombak kabinet. Pemerintah dan dewan rakyat menunjukkan keseriusan merespon gelombang keresahan.

Kepercayaan antara rakyat dan pemerintah merupakan fondasi utama negara-bangsa. Tugas kita bersama kemudian merawat saling percaya itu. 

Tentu saja dengan keadilan yang nyata, kebijakan berpihak pada rakyat, dan empati para pemimpin. Jika jembatan kepercayaan itu runtuh, tragedi nasional dapat saja terjadi. Semoga tidak. Mari bersama merawat Indonesia.

***

*) Oleh : Arief Rahzen, Pekerja Budaya dan Perubahan Masyarakat di Era Digital. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.