Jakarta (ANTARA) - Berwisata ke daerah Bangli bisa menjadi pilihan menarik bagi wisatawan yang ingin merasakan Bali dengan rasa berbeda.
Tak seperti kabupaten lain di Pulau Dewata yang dipenuhi keindahan laut dan pantai, Bangli justru memikat lewat kekayaan wisata budayanya.
Bersama Airbnb x UNESCO, ANTARA pada Kamis (11/9) berkesempatan mengeksplorasi sisi lain Bali dengan mengunjungi wisata kaya budaya di daerah Kabupaten Bangli dalam sehari.
Agenda tersebut juga selaras dengan diluncurkannya “Bali Cultural Guidebook” dari Airbnb x UNESCO yang mendorong perjalanan wisatawan bermakna akan warisan budaya.
Perjalanan dimulai dari penginapan di daerah Ubud ke Pura Ulun Danu Batur yang terletak di Jalan Kintamani, Desa Batur Selatan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, yang ditempuh menggunakan kendaraan roda empat memakan waktu sekitar satu jam.
Pura Ulun Danu Batur
Pura Ulun Danu Batur merupakan salah satu spot paling ikonik di Bangli, Bali, menjadi pilihan tujuan perjalanan wisata budaya.
Pura Ulun Danu Batur yang memiliki peranan penting dalam tatanan spiritual umat Hindu di Bali ini dikelilingi panorama keindahan alam berlatar gunung dan danau.
Sebelum memasuki kawasan Pura Ulun Danu Batur, pengunjung wajib mengenakan bawahan kain atau sarung, yang disewakan atau bisa juga dibeli.

Pura ini menawarkan kombinasi keindahan alam, arsitektur megah, serta suasana yang sakral.
Dalam pura ini terdapat lima mandala atau kawasan, di mana setiap mandala dibatasi oleh candi bentar.
Adapun lima mandala itu adalah utamaning utama mandala yang merupakan areal paling suci, Utama mandala sebagai kawasan penataran tempat umat bersembahyang, Madya mandala berupa tempat berlangsungnya tari-tari wali termasuk aktivitas lain yang menunjang pelaksanaan ritual, Nista mandala sebagai tempat yang lebih profan dan difungsikan sebagai tempat beberapa bangunan penunjang, serta Jaba sisi berupa kawasan profan berhadapan dengan jalan raya.
Pura ini juga memiliki meru atau menara dengan jumlah atap bertingkat ganjil menyerupai gunung. Meru dengan 11 tingkat paling tinggi sebagai palinggih tempat pemuliaan ke hadapan Ida Bhatari Dewi Danuh, entitas dewata yang diyakni memegang kehidupan serta kemakmuran.

Pura Ulun Danu Batur dibangun menghadap ke Gunung Batur. Meski awalnya, Pura Ulun Danu Batur berdiri megah di kaki Gunung Batur. Namun, pada 1926 terjadi letusan besar gunung tersebut yang menenggelamkan pura dan akhirnya dilakukan relokasi ke daerah yang baru.
Pada 1935 keberadaan pura yang direlokasi tersebut diresmikan. Meskipun ada proses pemindahan pura tersebut, segala bentuk kultur maupun ritual tidak pernah berubah.
“Struktur dari pura ini dibangun persis seperti pura pada sebelumnya di kaki Gunung Batur sebelah barat daya, yang berubah hanya ukuran, karena kita tidak mendapatkan kawasan yang cukup luas, jadi hanya memanfaatkan ruangan yang ada,” kata Jero Penyarikan Duuran Batur selaku sekretaris pura tersebut.
Pura Ulun Danu Batur juga termasuk salah satu elemen penting dalam lanskap budaya Bali melalui sistem subak, di mana posisi ini tidak terlepas dari keberadaan Danau Batur yang diyakini umat Hindu, terutama masyarakat agraris, sebagai kawasan resapan air.
Subak merupakan sistem pengairan masyarakat Bali yang berakar pada ritual sakral, ikatan komunal yang kuat, serta pengelolaan tanah dan air yang berkelanjutan.
Subak mencerminkan filosofi Bali Tri Hita Karana, mengedepankan keseimbangan antara alam spiritual (parahyangan), manusia (pawongan), dan lingkungan alam (palemahan).
Pada 2012, Pura Ulun Danu Batur dinobatkan oleh UNESCO sebagai salah satu jejaring Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Subak.
“Jadi Pura Ulun Danu Batur ini terkait dengan landscape subak di Bali, karena kami merupakan puluh atau kepala atau pusat simpul ekologis yang memegang juga peranan spiritual yang dipentingkan oleh masyarakat subak,” kata Jero Penyarikan Duuran Batur.
Di pura ini pengunjung juga bisa menemukan banyak spot foto yang menarik, mulai dari ornamen khusus hingga bangunan arsitektur khas Bali seperti candi, taman, hingga latar belakang pemandangan Gunung Batur, Danau Batur.
Bahkan jika beruntung, pengunjung bisa menyaksikan secara langsung upacara keagamaan Ngusaba di Pura Ulun Danu Batur, di mana umat berkumpul menjalankan tradisi sakral.
Desa Penglipuran
Kabupaten Bangli juga memiliki desa wisata bernama Penglipuran yang melekat akan pelestarian budayanya.
Terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali, atau berjarak sekitar 45 kilometer arah utara dari Kota Denpasar, Desa Penglipuran menawarkan pengalaman wisata kearifan lokal Bali dalam menjaga keseimbangan budaya dan alam.

Kelian (pemimpin) Desa Adat Penglipuran, I Wayan Budiarta menjelaskan bahwa secara tradisional Penglipuran adalah desa adat yang masih mempertahankan tata pemerintahan tradisional kuno yang tetap dijalankan hingga kini.
Desa adat ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-13. Pada tahun 1990 atas kesepakatan bersama masyarakat adat Penglipuran mulai melakukan penataan pelestarian nilai-nilai budaya.
Desa Pengelipuran mulai dibuka menjadi tujuan wisata di tahun 1993, ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Bupati yang menetapkan Penglipuran sebagai objek wisata.
I Wayan Budiarta menekankan bahwa eksistensi Penglipuran sebagai destinasi wisata tidak hanya karena peran pemimpin, melainkan berkat komitmen seluruh masyarakatnya untuk tetap menjaga tradisi adat dan budaya.
Sebagai lokasi wisata, Desa Penglipuran mengedepankan konsep pengelolaan community based tourism atau pariwisata berbasis masyarakat.
“Memang dalam administrasi kami menetapkan pengelola kami sebagai pengurus kelompok sadar wisata, anggotanya adalah seluruh masyarakat Penglipuran sehingga inilah yang memegang kekuatan untuk mengatur masyarakat itu sendiri menjadi poin penting,” jelas dia.
Tata ruang tradisional menjadi hal yang ditonjolkan dalam desa wisata Penglipuran dengan konsep Tri Mandala sebagai implementasi dari filosofi Bali Tri Hita Karana.
Pengunjung disuguhkan deretan bangunan tempat tinggal tradisional disusun rapi dan sama yang dilestarikan.
Konsep tata ruang di Desa Penglipuran yang menjadi daya tarik adalah angkul-angkul merujuk gapura atau pintu gerbang menuju area rumah, bale sakenem yang ditopang 6 tiang dan dibangun dari bambu yang berfungsi sebagai pusat kegiatan adat dan menjadi ruang serbaguna keluarga.
Dapur juga menjadi bangunan penting dalam rumah karena tidak hanya untuk memasak, tapi juga tempat tidur para tetua keluarga. Dapur itu dibangun dengan konsep lebih tinggi dan di sisi utara karena melambangkan gunung sekaligus simbol kehidupan.
Tidak hanya konsep bangunan tata ruang yang menjadi daya tarik, Desa Penglipuran juga memiliki aturan adat yang melarang poligami-poliandri.
Apabila melanggar akan diberikan sanksi sosial dikucilkan hingga diasingkan ke sebuah tempat khusus bernama Karang Memadu.
Desa Penglipuran juga dikenal mengenai lingkungan desa terbersih. Berkat sejumlah daya tariknya tersebut, Desa Penglipuran berhasil meraih penghargaan sebagai salah satu desa wisata terbaik di dunia 2023 oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO).

Memiliki luas 112 hektar, Desa Penglipuran sekitar setengahnya adalah kawasan hutan bambu. I Wayan Budiarta mengatakan 45 hektar desa itu adalah hutan bambu yang tetap lestari sampai saat ini.
Pengunjung bisa juga bisa mencicipi makanan maupun minuman khas Desa Penglipuran di Bamboo Cafe, salah satunya minuman herbal bernama loloh cemcem, terbuat dari daun cemcem dengan campuran bahan cabai, tamarin, gula merah, jeruk nipis, hingga kacang tanah, yang dipercaya bisa mengobati panas dalam.
Pemangku kebijakan desa ini juga menerima permintaan pengunjung untuk mengikuti kegiatan budaya seperti menganyam bambu hingga membuat kelepon. Di Desa Penglipuran bisanya setiap tahun pada bulan Juli diadakan Penglipuran Village Festival yang merayakan kekayaan budaya.