Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XIII DPR RI Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga menekankan pentingnya revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban diarahkan pada pemulihan hak-hak korban, baik fisik, psikis, maupun sosial.

"Revisi undang-undang ini harus menyasar pemulihan hak-hak korban. Restitusi menjadi hal fundamental yang harus dipertegas dalam sinkronisasi KUHAP, UU Tipikor, UU Terorisme, TPPO hingga tindak pidana lainnya," ujarnya dalam rapat dengar pendapat bersama Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Bareskrim Polri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu dikutip dari keterangan tertulisnya.

Ia menilai ancaman terhadap saksi dan korban tidak hanya datang dari luar, tetapi juga bisa muncul dari dalam institusi penegak hukum, seperti penyidik, jaksa, maupun hakim.

Karena itu, ia mendorong kewajiban pendampingan saksi oleh pengacara di setiap tahap pemeriksaan, serta pemasangan CCTV dalam proses penyidikan untuk mencegah manipulasi keterangan.

Umbu juga menekankan perlunya perluasan mekanisme penyitaan aset pelaku untuk mengganti kerugian korban, tidak hanya terbatas pada hasil kejahatan materiil.

Menurutnya, tindak pidana yang menimbulkan kerugian psikis dan sosial, seperti kekerasan dalam rumah tangga, juga harus diantisipasi dengan langkah hukum sejak awal.

Sebelumnya, Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya juga telah menegaskan komitmen DPR untuk memperkuat perlindungan saksi dan korban melalui perubahan kedua atas UU Nomor 13 Tahun 2006.

Ia menyebut masukan dari berbagai pihak, termasuk LPSK, sangat penting agar substansi perubahan benar-benar menyentuh hal-hal mendesak dan strategis.

Ketua LPSK Achmadi dalam kesempatan yang sama menegaskan perlindungan terhadap saksi dan korban perlu terus diperkuat seiring semakin kompleksnya tantangan penegakan hukum.

Ia menilai revisi undang-undang ini menjadi momentum untuk memperluas mandat LPSK sekaligus memastikan hak korban terpenuhi secara lebih menyeluruh.

Umbu menutup pandangannya dengan menekankan perlindungan terhadap saksi dan korban tidak boleh hanya dipandang sebagai tanggung jawab LPSK, tetapi harus diinternalisasi sejak tahap penyelidikan hingga persidangan agar korban benar-benar mendapatkan keadilan.