Perempuan Pembawa Sial garapan Fajar Nugros memotret kepercayaan kuno masyarakat Jawa tentang perempuan Bahu Laweyan dan ritual Sembogo. Mulai tayang di biskop 18 September 2025. Tersedia juga promo Buy One Get One Free (BOGOF) untuk penayangan hari pertama yang dapat dibeli melalui MTIX, CGV, Cinepolis, dan TIX ID.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Masyarakat Jawa mengenal istilah perempuan bahu laweyan. Ironisnya, mereka dianggap sebagai perempuan sial karena dipercaya siapa pun pria yang menikahinya akan meninggal dunia.
Untuk memotret kepercayaan itu, Fajar Nugros menghadirkan kepada kita sebuah film berjudul Perempuan Pembawa Sial. Film ini memotret sebuah ritual kuno di Jawa yang tidak banyak orang mengenalnya. Sembogo nama ritual itu.
Sembogo adalah ritual sakral di mana dukun manten akan merapalkan mantra sembari meniupkan asap rokok ke wajah sang pengantin. Tentu itu bukan sekadar asap biasa, tapi ia dipercaya sebagai jembatan, sebuah medium suci, yang menghubungkan doa dari dunia manusia ke energi gaib yang tak kasat mata.
Kebetulan Didik Nini Thowok punya pengalaman sebagai seorang dukun manten. Dia akan akan membawa ilmunya langsung ke dunia film, dia bahkan akan menggunakan mantra Asmaradana asli yang diriwisinya dari sang guru.
"Mantra yang saya ucapkan memang asli dari guru saya, tapi beberapa kata sengaja saya modifikasi agar tidak memanggil atau menimbulkan kejadian yang tidak kita inginkan saat syuting," begitu ujar seniman tari itu.
Tujuan utama ritual Sembogo adalah "memecah tejo", atau membuka aura kecantikan pengantin perempuan supaya pesonanya bersinar terang. Tapi di baliknya ada fungsi yang lebih krusial: sebagai pagar gaib yang melindungi dan menjauhkan mempelai dari segala marabahaya dan segala energi negatif.
Film Perempuan Pembawa Sial juga akan mengawinkan mitos kutukan perempuan Bahu Laweyan, sebuah tanda lahir yang membawa kematian bagi setiap pria yang menyentuh perempuan itu, dengan adaptasi kelam dari cerita rakyat populer Bawang Merah & Bawang Putih. Kombinasi ini menciptakan lapisan horor yang kompleks dan berakar kuat pada kepercayaan lokal.
Didik Nini Thowok akan berperan sebagai Mbah Warso, dukun manten yang mempraktikkan ritual tersebut, "Yang akan menjadi jantung mistis yang membuat film ini lebih dari sekadar tontotan horor, tapi juga sebuah pengalaman budaya yang otentik dan mencekam," begitu keterangan dalam rilis filmnya.
Itu juga yang diutarakan oleh sang sutradara, Fajar Nugros. Dia menegaskan dan memasatikan bahwa Perempuan Pembawa Sial memiliki nuansa mistis yang kuat dan terasa nyata, membedakannya dari gelombang film horor lainnya.
Yang juga menarik dari film ini adalah tema perempuan yang diangkat. "Kami membawakan cerita dari sudut pandang perempuan, di mana perempuan seringkali dilabeli sebagai sumber masalah dan pembawa sial, padahal perempuan juga manusia. Kita mau mengeksplor gimana seorang perempuan dapat menjalani hidup walau dilabeli hal-hal seperti itu, makanya ini jadi perjalanan kreatif yang menarik bagi saya," ujar Susanti Dewi selaku produser film Perempuan Pembawa Sial.
Sebagai informasi, Perempuan Pembawa Sial siap menghantui bioskop-bioskop di Indonesia mulai 18 September 2025. Tersedia juga promo Buy One Get One Free (BOGOF) untuk penayangan hari pertama yang dapat dibeli melalui MTIX, CGV, Cinepolis, dan TIX ID.
Betapa pilunya nasib perempuan Bahu Laweyan yang dipercaya "didiami" makhluk halus
Kemalangan yang menyertai manusia bahu laweyan, menurut Dra. Astuti Hendrato, mantan dosen sastra Jawa UI, lebih disebabkan oleh nasib atau bawaan. "Kalau menurut orang Jawa, ndilalah atau kebetulan saja orang tersebut ditimpa nasib buruk. Bukan karena keturunan."
Pendapat tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh budayawan Jawa Karkono Kamajaya PK, bahu laweyan itu merupakan bawaan sejak lahir. Sementara penjelasan yang melandasinya, "Sulit kalau harus dinalarkan, karena ini memang menyangkut kepercayaan orang Jawa," tuturnya.
Meskipun berpandangan sama bahwa bahu laweyan merupakan bawaan bukan keturunan, pemahaman yang diajukan oleh seorang paranormal dari Kota Gede, Supriyadi, lebih mudah dimengerti. Menurutnya, sebagaimana ditulis Majalah Intisari, "Tubuh manusia bahu laweyan dipinjam sebagai wadah oleh makhluk halus jahat yang ingin menguasainya. Karenanya, kalau ada yang mengawininya, makhluk halus ini tak rela dan membunuhnya."
Konon perbuatan keji makhluk itu akan berhenti setelah memangsa tujuh kali nyawa pasangan hidup manusia bahu laweyan.
Meski kurang terlalu yakin, Supri menduga tujuh korban atau nyawa itu berkaitan dengan tali pengikat mayat manusia yang berjumlah tujuh. Jadi pada perkawinan yang kedelapan kalinya, pasangan hidup itu sebenarnya akan selamat.
"Tapi jarang, bahkan bisa dibilang tidak ada orang yang berani mencoba menikahinya. Biasanya kalau ada janda yang sudah tiga kali ditinggal mati pasangan hidupnya, orang lain pun tidak berani mencoba mengawininya lagi," ujarnya tertawa.
Seperti layaknya makhluk halus, penghuni wadah itu pada tengah malam saat pasangan bahu laweyan tertidur lelap akan keluar dari tubuh pemiliknya dalam ujud asap kecil.
"Asap kecil yang tak lain si makhluk halus itu kemudian akan memangsa tubuh korban dengan cara mengisap darahnya," Supri menjelaskan cara kerja makhluk halus jahat. Itu pula sebabnya, kematian mendadak pasangan bahu laweyan itu sering terjadi pada tengah malam.
Meski begitu, orang awam tidak akan melihat tanda-tanda bahwa korban mati karena diisap darahnya.
Mayat korban bahu laweyan serupa dengan mayat biasa lainnya. Untuk membuktikannya, Pak Supri menuturkan, perlu dilakukan cara-cara khusus yang tak bisa dilakukan sembarang orang. Seperti yang dialaminya belasan tahun silam ketika bersama gurunya membuktikan korban kematian yang diduga akibat perkawinan dengan wanita bahu laweyan.
Wanita warga sebuah desa di DIY yang diduga bahu laweyan itu sebetulnya memiliki jalan hidup yang serupa dengan nasib Bu Tinah. Tiga kali perkawinannya yang belum membuahkan anak selalu berakhir dengan kematian suaminya.
Bedanya, bila keluarga almarhum suami Bu Tinah bisa menerima keadaan dan menganggap kematian tersebut melulu karena takdir, keluarga almarhum suami wanita Yogya itu malah menaruh curiga dan melaporkannya pada orang pintar, yang tak lain guru Supri. Guru Supri pun mencoba membuktikannya dengan menggunakan peralatan sederhana berupa sebuah kelapa muda dan pucuk daun janur kuning.
"Pucuk janur kuning dimasukkan ke dalam buah kelapa yang telah dikupas dan dilubangi. Lalu dengan janur kuning tadi air kelapa muda dipercikkan sedikit demi sedikit ke seluruh tubuh si mayat sebelum dimandikan," papar Pak Supri. Tak lama kemudian tubuh mayat yang semula mulus itu nampak dipenuhi dengan luka-luka merah seperti bekas gigitan!
Digantikan dengan apa pun kalau nyawa yang jadi taruhan, tak seorang pun mau mengawini seorang bahu laweyan. Lantas, bagaimana menentukan apakah seorang gadis atau perjaka termasuk kelompok bahu laweyan?
Drs. M.M. Sukarto K. Atmodjo, ahli tulisan kuno, dalam tulisannya "Fisiognomi dalam Masyarakat Jawa" yang pernah diseminarkan tahun 1993 di Yogyakarta, secara ringkas pernah menyinggung bahu laweyan.
Bahu laweyan identik dengan wanita tipe raseksa yang selain selalu mengalahkan suami, juga suaminya lekas meninggal.
Bersumber pada data naskah-naskah kuno Sukarto mengatakan, ciri-ciri tipe wanita raseksa atau bahu laweyan adalah memiliki tanda dua lingkaran di punggung kiri dan kanan yang disebut sujen pala, serta dua lingkaran di pantat kiri dan kanan atau sujen bokong.
Tak jauh berbeda dengan keterangan di atas, Ny. Indah SP seorang wanita paranormal dari Bekasi menuturkan, yang menandai apakah seseorang itu bahu laweyan atau tidak adalah terdapatnya tanda lahir atau toh di punggungnya.
Dalam hal ini, baik Ny. Indah SP maupun Ny. Astuti Hendrato, menuturkan bahwa sebagian besar masyarakat Jawa meyakini dan percaya tanda-tanda di tubuh atau bentuk anggota badan mencerminkan watak dan nasib seseorang.
Misalnya, tahi lalat di bibir berarti orangnya ceriwis. Pemilik tahi lalat di pundak adalah orang yang selama hidupnya berbeban berat. Begitu pula dengan tanda-tanda lain yang ada di bagian-bagian tubuh tertentu.
Mengenai tanda yang menyertai kelompok bahu laweyan, Ny. Astuti menyebutkan adanya benjolan di salah satu bagian bahu. Ciri lain adalah gambar ular berbentuk bayang-bayang di bawah kulit tubuhnya. Namun, menurut Astuti gambar ular itu hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki kemampuan khusus.
Sementara melihat benjolan dan bayang ular di tubuh tidak bisa dilakukan sembarang orang, ada tanda lain yang lebih mudah untuk dilihat yaitu toh coklat di kulit kepala yang menunjukkan gambar tertentu atau toh berwarna biru yang terdapat di alat kelamin. Khusus toh biru ini biasanya tidak hanya terdapat di bagian luar tapi sampai masuk ke dalam organ tersebut.
Menilik letaknya di tempat-tempat yang tersembunyi, tanda ini pun ternyata tak lebih mudah dideteksi dibandingkan dengan benjolan bahu atau bayang ular.
"Memang sulit menentukan apakah seseorang gadis atau perjaka calon pasangan hidup termasuk kelompok bahu laweyan atau bukan. Masa ya belum apa-apa sudah mau melihat tanda di daerah rawan, 'kan saru," ujar para ibu tadi bercanda.
Kesulitan serupa juga dirasakan Pak Supri yang katanya pernah mengenal wanita bahu laweyan, karena memang secara fisik tidak punya perbedaan mencolok dengan orang biasa.
Orang baru bisa menyebutnya bahu laweyan setelah mengetahui rentetan peristiwa buruk yang menimpanya. Tapi menurut Supri, secara umum ciri manusia bahu laweyan adalah tumbuhnya rambut putih pada user-user di kepalanya.
Bagi orang yang berniat mengawini janda/duda yang diduga bahu laweyan, ada tindak pencegahan sebelum menjadi korban. Syaratnya, menurut Pak Supri, harus mampu mengalahkan roh halus yang ada dalam tubuh manusia panas tersebut.
Caranya, justru dengan mengawini terlebih dahulu si manusia bahu laweyan itu, karena hanya pasangan hidupnya-lah yang dapat membebaskan penderitaan manusia bahu laweyan.
"Setelah melangsungkan perkawinan, hendaknya dilaksanakan tepat pada hari kelahiran si manusia "panas" itu, pelaku yang ingin mengalahkan makhluk halus itu segera berpuasa mutih selama 40 hari. Syarat lain, tidur setelah pukul 1 malam," ujar Pak Supri.
Tidurnya pun tidak di atas ranjang, melainkan di lantai beralas tikar.
"Satu syarat penting yang tidak boleh dilupakan, berdoa sepanjang malam, mohon keselamatan kepada Tuhan agar terbebas dari malapetaka. Jika selama 40 hari itu tak terjadi apa-apa, itu berarti Anda akan selamat selamanya," Pak Supri menjabarkan berbagai syarat untuk nglakoni sambil menambahkan satu saran terakhir agar pasangan tersebut tidak melakukan hubungan suami-istri selama masa 40 hari - yang disebutnya masa kritis bagi yang ingin membebaskan penderitaan suami atau istri "panas"-nya.
Selama masa 40 hari itu diakui tak sedikit serangan, ujian, dan godaan, mulai yang sederhana seperti rasa lapar, mengantuk, dan keinginan mencampuri pasangan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan si pelaku akan melihat makhluk halus mengerikan yang muncul dari tubuh pasangannya yang sedang tidur.
"Kalau ini terjadi, jangan takut. Sebab itu pertanda hilangnya penderitaan si bahu laweyan, atau berarti kemenangan di pihak pelaku," Pak Supri menasihati.
Sepakat dengan pendapat Ibu Astuti Hendrato, cara lain untuk meluruhkan nasib buruk bahu laweyan, budayawan Jawa H. Karkono Kamajaya PK menganjurkan, "Melakukan ruwatan, siapa tahu dapat terbebaskan."
Meski ia tidak berani menjamin, setelah diruwat akan hilang sialnya. "Semua itu kembali kepada niat dan keyakinan manusia yang bersangkutan. Meski saya belum pernah melihat ada orang bahu laweyan diruwat," ungkapnya.
Makna ruwatan sendiri, Karkono menjelaskan, berarti pembebasan malapetaka bagi manusia sukerto (manusia yang terancam jiwanya). Dalam prosesi lengkap upacara ruwatan antara lain dipergelarkan wayang kulit khusus berlakon murwakala.
Namun budayawan Jawa ini mengingatkan, manusia bahu laweyan berbeda dengan manusia sukerto yang hanya akan terbebaskan melalui upacara ruwatan. Apabila sukerto dapat diramal ketika masih bayi berdasarkan ketentuan-ketentuan baku seperti anak tunggal atau ontang-anting dll., maka bahu laweyan tidak dapat.
"Jangan heran kalau akhirnya ada orang yang melaksanakan ruwatan tepat sebelum anak-anaknya menikah, sebagai syarat tolak bala atau mencegah kejadian-kejadian buruk menimpanya," ujar Ibu Astuti sambil melantunkan tembang Rajah Jaramaya yang digunakan dalam upacara ruwatan.
Sementara Ny. Indah SP menawarkan cara lain yang lebih mudah dilakukan. "Kalau yang bersangkutan mau, saya bisa memberinya sarana baik untuk wanita bahu laweyan maupun pasangan hidupnya, untuk terhindar dari petaka yang tak diinginkan."
Sarana yang dimaksudkan tersebut bisa dibawa yang bersangkutan ke mana saja pergi atau cukup disimpan di rumah saja. Terlepas dari berbagai ikhtiar, para "pakar" tersebut di atas tetap percaya, bahwa semua itu akan tergantung pada kehendak-Nya. Toh, manusia hanya bisa berupaya Tuhan yang menentukan.