Cerita Tragis Sengkon dan Karta, 2 Petani Miskin Tak Tahu Apa-apa yang Dituduh Merampok dan Membunuh
Moh. Habib Asyhad September 18, 2025 07:34 PM

Sengkon dan Karta, dua petanis miskin yang divonis 12 dan 7 tahun penjara karena dituduh merampok dan membunuh Sulaeman dan Siti Haya. Tapi kebenaran akhirnya menampakkan wujudnya.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Masih ingatkah Anda dengan cerita tragis Sengkon dan Karta, dua petani yang dituduh merampok dan membunuh oleh polisi? Kejadian yang terjadi di Bojong, Bekasi, Jawa Barat, ini terjadi pada November 1974 lalu.

Dalam vonis pengadilan Sengkon dijatuhi hukuman penjara 12 tahun sedangkan Karta mendapat vonis 7 tahun. Tiba-tiba di tengah-tengah keduanya menjalani hukuman, pelaku aslinya tiba-tiba muncul mengakui perbuatannya.

Begini kisahnya...

Sebagai petani miskin, Sengkon dan Karta harus berjuang mati-matian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Nasib naas keduanya semakin menjadi-jadi ketika pada 1974 lalu mereka dituduh menjadi pelaku perampokan dan pembunuhan sepasang suami-istri, Sulaiman dan Siti Haya.

Polisi menciduk mereka. Menurut kabar yang beredar, Sengkon dan Karta mengalami siksaan fisik agar mau mengakui perbuatan keji mereka tersebut. Namun, Sengkon dan Karta terus mengelak dan mengatakan mereka tidak bersalah.

Meski begitu, kedua tetap divonis bersalah atas perbuatan perampokan dan pembunuhan. Sengkon dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun dan Karta selama tujuh tahun. Mereka menjalani hukuman penjara di LP Cipinang.

Di tengah masa hukumannya, Sengkon dan Karta bertemu dengan tahanan lain bernama Gunel yang masih memiliki hubungan darah dengan Sengkon. Ketika itu Gunel dipenjara atas kesalahannya melakukan pencurian. Gunel juga mengaku kepada Sengkon bahwa dia merupakan pelaku perampokan di Desa Bojongsari dan membunuh Sulaiman-Siti Haya.

Dalam pengakuannya, Gunel menyatakan membunuh Sulaeman pada 20 November 1974 di Kampung Bojongsari, Desa Jatiluhur, Kecamatan Pondok Gede, Bekasi, bersama dengan tiga orang lainnya.

Begini pengakuan Gunel...

Awalnya, di rumah salah satu pelaku, N, gerombolan Gunelberunding. Lalu, pada pukul 12.00, mereka pergi ke rumah E dengan membawa golok dan senter. Di rumah E yang terletak di Kampung Cakung Payangan Pondok Gede ini mereka kembali berunding sampai malam hari.

Setelah diskusi panjang, mereka segera menuju ke rumah Sulaeman. Sesampainya di sana, Gunel segera menyusun siasat, dia bersama S akan masuk ke rumah, sedangkan W dan N berjaga di pintu luar.

Gunel dan S mencongkel pintu belakang rumah Sulaeman-Siti Haya dan segera masuk ke dalam menuju ke kamar Sulaeman. Namun, begitu masuk, Gunel dan S dikagetkan dengan Sulaeman-Siti Haya yang ternyata sudah bangun.

Tanpa berlama-lama, Gunel segera memukul dan membacok tubuh Sulaeman dan istrinya secara bertubi-tubi. Menurut gambaran jaksa saat itu, tubuh Sulaeman dan Siti Haya dipenuhi dengan luka dan memar.

Berdasarkan hasil visum, Sulaeman mengalami luka memar di 15 tempat, sedangkan Siti Haya 12 tempat. Salah satu luka serius yang dialami Sulaeman berupa putusnya pergelangan tangan.

Perbuatan para tertuduh, menurut jaksa, telah melanggar Pasal 55 Jo 340 jo 486 KUHP (Pembunuhan Berencana), Pasal 50 jo 338 jo 386 KUHP (pembunuhan dengan sengaja), Pasal 55 jo 486 KUHP (menganiaya berat hingga korban tewas) dan Pasal 55 jo 365 KUHP (pencurian dengan kekerasan sampai mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain).

Dalam kasus ini, kalung emas dan uang kontan sebesar Rp20.000 diambil oleh para pelaku.

Seorang saksi bernamaUstaz Siradjuddin yakin bahwa yang merampok serta membunuh Sulaeman-Siti Haya adalah Sengkon dan Karta. Pada waktu kejadian, dini hari, seorang tetangga bernama Pii datang kepadanya dan melaporkan ada perampokan di rumah Sulaeman.

Siradjuddin pun segera bergegas menuju ke rumah Sulaeman. Sesampainya di sana, Siradjuddin melihat Sulaeman dan Siti Haya sudah bersimbah darah. Tidak lama kemudian, ambulans datang.

Menurut penuturan Siradjuddin, ambulans yang datang berupa mobil jeep. Masih menurut keterangan Siradjuddin, dia mengatakan bahwa Sulaeman dibawa dengan mobil ambulans Jeep dengan cara didudukkan setengah tiduran.

Tapi penuturan saksi lain, yaitu Jatun, berbeda. Jatun yang masih saudara ipar Sulaeman ikut mengantarkan ke RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Menurut keterangannya, Sulaeman saat itu diangkut dengan mobil yang diberi alas kasur, di mana kasur tersebut adalah milik Sulaeman.

Untuk meyakinkan bahwa korban tidak diangkut sambil duduk, saksi Jatun menyebutkan bahwa Sulaeman minta didudukkan karena pegal ketika mereka masih berada di daerah kampung Rawa Lele. Menurut saksi, kondisi Sulaeman saat itu masih dapat bicara dengan jelas. Bahkan, disebutkan pula bahwa Sulaeman sempat berpesan kepada Jatun: "Kalau saya tak ada umur, abang penasaran, tuntutlah Sengkon dan Karta."

Menurut pemberitaan, Sulaeman mengembuskan napas terakhir pukul 11.00 WIB, sedangkan Siti Haya pukul 14.00 WIB.

Setelah melalui lika-liku panjang, pada akhirnya Gunel Cs dinyatakan sebagai tertuduh utama kasus perampokan dan pembunuhan Sulaeman-Siti Haya. Gunel dituntut hukuman penjara selama 12 tahun.

Setelah putusan atas Gunel dan teman-temannya dikeluarkan, Sengkon dan Karta mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Bekasi. Lebih lanjut, pada 3 November 1980, Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi Artomo Singodiredjo SH mengajukan permohonan schorsing (penundaan) kepada Kepala LP Cipinang agar Sengkon dan Karta dibebaskan terlebih dahulu.

Permohonan tersebut kemudian dikabulkan oleh Jaksa Agung Ali Said SH, yang mengirim surat kepada Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung dengan maksud sama.

Pada akhirnya, tanggal 4 November 1980, Sengkon dan Karta resmi dibebaskan. Sengkon yang pada saat itu sedang dirawat di rumah sakit di LP Cipinang segera dibantu oleh para perawat berganti pakaian. Kemudian, pukul 14.10, mereka diajak keluar.

Karta pulang menggunakan colt, sedangkan Sengkon diangkut dengan mobil ambulans.

Karta diketahui pulang ke rumah orangtua angkatnya di Kampung Pondok Rangon. Sebab, rumah dan tanahnya sudah habis dijual untuk biaya hidup anak dan istrinya selama dia dipenjara. Sementara itu, Sengkon diantar ke RSU Daerah Bekasi untuk melanjutkan perawatannya. Pada saat itu, Sengkon sedang mengidap penyakit TBC.

Tapi nasib tragis keduanya tak berhenti sampai di situ. Sengkon meninggal dunia karena kecelakaan tak lama setelah keluar dari penjara. Sementara Karta meninggal akibat menderita sakit TBC parah. Sengkon ketika diwawancarai wartawan mengatakan bahwa dia hanya berdoa agar cepat mati, karena penyakit terus merongrongnya dan tidak ada biaya untuk meneruskan hidup.

Kenapa Sengkon dan Karta yang dituduh membunuh?

Luka batin Sengkon-Karta tergambar dalam puisi karya Peri Sandi Huizche yang berjudul "Mata Luka Sengkon Karta", yang tergabung dalam buku kumpulan puisi berjudul Mata Luka Sengkon Karta (diterbitkan PT Jurnal Sajak Indonesia, 2013).

Aku seorang petani Bojongsari

Menghidupi mimpi dari padi yang ditanam sendiri

Kesederhaan panutan hidup

dapat untung dilipat dan ditabung

Akulah Sengkon yang sakit

berusaha mengenang setiap luka

di dada

di punggung

di kaki

di batuk...

yang berlapis tuberkulosis

Malam Jumat,

21 November 1974

Setiap malam jum’at

yasin dilantunkan dengan hidmat

bintang-bintang berdzikir di kedipannya

Istriku masih mengenakan mukena

mengambilkan minum dari dapur

Di kejauhan terdengar warga desa gaduh

'adili si keluarga rampok itu'

'ya… usir dari kampung ini'

'bakar saja rumahnya'

'betul',

Istriku kaget

'kok kamu, kang?'

kebingungan

'Demi Allah saya tidak berbuat jahat!'

aku masih diselimuti kebingungan

disambut rajia seluruh badan

Kepalaku ditodong senjata laras panjang

mendekati puluhan ABRI dan Polisi

duk! dak!

aku dikerumuni pukulan warga

ABRI dan Polisi

ikut-ikutan menendang

Bagong siah!

dulur aing paeh

gara-gara sia!

Aku terkapar di tanah

seorang ABRI menggusurku

darah dan becek tanah bercampur di tubuh

Aku dilemparkan ke atas bak mobil

kondisi diantara sadar atau tidak

Selang kejadian

sesosok tubuh dilemparkan ke bak mobil

Ada sebagian tubuh yang menindih

kuperhatikan wajah yang penuh luka itu

Karta?

Sengkon dan Karta disiksa lalu ditangkap dengan tuduhan perampokan juga pembunuhan. Sebagaimana dikutip dari National Geographic Indonesia, menurut kesaksian warga, Sengkon dan Karta meminjam uang kepada Solaeman, yang dikenal sebagai orang kaya di daerah tersebut. Selain karena memang hidup susah, anaknya yang sakit-sakitan juga menjadi alasan mengapa dia harus berutang.

Sebelum dijadikan tersangka, Sengkon dan Karta memang kerap direndahkan di kampungnya. Karta yang hidup miskin yang kemudian berutang kepada Sulaeman, sementara Sengkon sering dicaci karena dianggap sebagai keturunan keluarga rampok. Jadi, mudah saja membuat orang percaya jika keduanya adalah pelaku perampokan dan pembunuhan itu.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.