TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Belum banyak disadari masyarakat bahaya menyimpan perangkat elektronik yang sudah rusak dan Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius terkait timbulan sampah elektronik (e-waste).
Berdasarkan Global E-Waste Monitor 2024, produksi e-waste tumbuh lima kali lebih cepat dibandingkan kapasitas daur ulang dunia.
Kini, Bali menjadi salah satu daerah percontohan untuk menekan angka sampah elektronik melalui fasilitas untuk didaur ulang.
Tren serupa juga terjadi di Indonesia, dengan timbunan e-waste diperkirakan naik dari 2,1 juta ton pada 2023 menjadi 4,4 juta ton di 2030.
"Kondisi ini menjadi ancaman nyata bagi lingkungan, kesehatan, dan masyarakat," kata Site Manager ecoBali, Ni Made Dwi Septiantari saat dijumpai di Denpasar, Bali, Kamis 18 September 2025.
Menurutnya, sampah jika tidak dikelola dengan baik, termasuk sampah elektronik dapat berdampak pada segala aspek seperti kesehatan, ekonomi yang kini menjadi pekerjaan rumah dalam citra Bali sebagai pusat pariwisata.
"Waste manajemen perlu ditingkatkan, karena untuk daur ulang masih harus dikirim ke Pulau Jawa. Yang terpenting bagaimana sampah dikelola dengan benar, bukan hanya imbauan tetapi juga difasilitasi dalam menumbuhkan kesadaran" beber dia.
Sampah menyimpan bahaya dari setiap jenisnya, seperti sampah organik jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi gas metan, sampah anorganik bisa mengontaminasi lingkungan.
"Sama halnya dengan sampah elektronik terbuat dari logam ada penyusun plastik kalau dibiarkan dibuang sembarangan langsung ke alam ada partikel plastik kontaminasi dampaknya tentu negatif," tandasnya.
Sementara itu, COO Eco Tourism Bali, Rahmi Fajar Harini, lebih menekankan bahwa untuk perusahaan-perusahaan pun hotel restaurant kafe di Bali agar tidak memandang pengelolaan sampah sebagai tanggung jawab sosial, akan tetapi sebuah kewajiban untuk memilah sampah dari hulu demi keberlanjutan.
"Fokus pada ecologi environment, katalis perubahan, waste manajemen, mulai awareness Pergub sudah ada dari hulu harus dikelola, Horeka punya peran besar di sini," bebernya.
Pada kesempatan yang sama, Group Chief of HC, GA, Litigation & CSR Erajaya Group Jimmy Perangin Angin mengungkapkan, prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) menjadi fondasi operasional perusahaan dan juga bentuk tanggung jawab jangka panjang.
Secara lingkungan, capaian ini setara dengan pengurangan emisi karbon sebesar 161.700 kg karbondioksida, penghematan energi sebesar kurang lebih 301.261 kWh, serta pengurangan kebutuhan lahan TPA/landfill seluas 10 meter persegi.
"Program Jaga Bumi secara nasional telah berhasil mengumpulkan 2.255 unit e-waste, tidak hanya dikumpulkan tetapi juga diolah," jelasnya.
Pihaknya mengimplementasikan Extended Producer Responsibility (EPR) untuk memastikan produk dikelola hingga akhir siklus hidupnya.
“Implementasi EPR yang kami terapkan adalah dengan langkah sederhana yaitu menyiapkan dropbox di toko-toko erafone," jelasnya
Masyarakat kini bisa membawa perangkat elektronik yang sudah tidak terpakai ke dropbox Jaga Bumi.
Dengan cara ini, tidak hanya mengurangi pencemaran, tetapi juga bersama-sama membangun ekosistem pengelolaan e-waste yang inklusif, terstruktur, dan berkelanjutan.
“Angka-angka ini membuktikan bahwa langkah kecil masyarakat jika difasilitasi dengan benar, dapat memberikan dampak lingkungan yang signifikan dan terukur," bebernya
Head of Corporate and Marketing Communication Erajaya Group Stephen Warouw mengungkapkan, program Jaga Bumi terus dilanjutkan pada tahun depan dan diharapkan bisa ditiru oleh pihak lain dalam mengelola sampah elektronik.
“Ini memang baru kami lakukan di tahun ini dan ternyata responnya sangat positif. Terbukti sudah lebih dari 2.000 e-waste yang berhasil kami kumpulkan yang setara dengan penghematan energi sekitar 300 ribu KwH," jelas dia,
"Terus kami lanjutkan, tidak hanya di Jakarta atau Bali tapi juga ke kota-kota lain,” pungkas Stephen. (*)