Mohammad Natsir adalah tokoh Masyumi. Dia dikenal sebagai sosok anti-komunis dan keras terhadap PKI. Meski begitu, dia punya hubungan hangat dengan Aidit.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Mohamamd Natsir adalah aktivis dan pahlawan pergerakan nasional yang teguh pendiriannya. Selain berfokus pada bagaimana posisi Islam dalam negara, dia juga termasuk tokoh yang keras terhadap komunisme, dalam hal ini adalah PKI.
Natsir lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908. Dia lahir dari keluarga Minangkabau yang taat beragama. Ayahnya, Mohammad Idirs Sutan Saripado pernah menjadi juru tulis di kantor kontroler di Maninjau sebelum akhirnya pindah ke Ujung Pandang (sekarang Makassar), Sulawesi Selatan, untuk menjadi seorang sipir. Ibunya bernama Khadijah.
Pendidikan Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun. Setelah itu dia pindah ke Hollandsche-Inlandsche School (HIS) atau sekolah Belanda untuk pribumi di Adabiyah, Padang. Tapi di situ juga tak lama karena harus pindah ke Solok dan harus dititipkan kepada seorang saudagar bernama Haji Musa.
Jika di pagi hari Natsir kecil sekolah di HIS Solok, malam harinya mengaji di Madrasah Diniyah. Pada 1923, Natsir melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan mulai aktif berorganisasi, tepatnya di Jong Islamieten Bond.
Setelah lulus dari MULO, Natsir pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS). Dia lulus tahun 1930. Di Kota Kembang ini dia juga aktif di JIB tapi cabang Bandung. Dia bahkan sempat menjadi ketuanya, pada 1928 hingga 1932.
Di Bandung, Natsir kemudian bergabung dalam Partai Islam Indonesia (PII) pada 1938 dan sempat menjadi ketuanya pada 1940-1942.
Ketika Jepang datang, aktivitas Natsir difokuskan di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berdiri pada 5 September 1942. MIAI inilah yang kemudian beralihwujud menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) di mana Natsir menjadi salah satu tokoh sentralnya.
Peran Natsir terus berlanjut setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Awalnya Natsir menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pada 25 November 1945. Lalu pada 3 Januari 1946, Natsir ditunjuk menjadi Menteri Penerangan Indonesia pertama, hingga tahun 1949.
Setahun kemudian, Natsir mengumumkan Mosi Integral Natsir yang berhasil menyatukan kembali Republik Indonesia menjadi negara kesatuan, yang sebelumnya sempat berbentuk federal. Atas jasanya itu, pada tahun 1950-1951, Presiden Soekarno menunjuk Natsir menjadi Perdana Menteri.
Kenapa jabatan Perdana Menteri Natsir pendek, karena dia punya banyak perbedaan pandangan dengan Mister Presiden. Natsir bahkan sempat dijebloskan ke dalam penjara karena dituding terlibat dalam pemberontakan PRRI.
Natsir baru dibebaskan dari penjara pada saat Orde Baru berkuasa, yaitu tahun 1966. Walau begitu, Natsir tetap dipinggirkan oleh pemerintahan Orde Baru, padahal kiprah Mohammad Natsir sangat diakui dunia internasional, terutama di negara-negara Islam.
Mohammad Natsir meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1993 dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 2008.
Perseteruan dengan Bung Karno sebelum Indonesia merdeka
Natsir pernah dipenjara Bung Karno pada 1950-an, itu sudah jadi pengetahuan umum. Tapi Natsir pernah berseteru dengan Bung Karno sebelum Indonesia merdeka, lebih tepatnya saat Belanda masih menjajah, itu banyak yang belum tahu.
Sebagaimana diulas dalam "Mohammad Natsir: Baik di Barat ataupun di Timur, Kita Menuju Keridlaan Ilahi" yang ditulis oleh Arahman Ali dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007) yang diterbitkan I:boekoe, perdebatan keduanya berkisar tentang posisi Islam dalam negara. Dalam tulisan-tulisannya yang terbit di Pandji Islam, seperti "Memudakan Pengertian Islam", "Masjarakat Onta", "Masyarakat Kapal-udara", dan lain sebagainya, Sukarno menyinggung soal kebekuan pemikiran umat Islam di Indonesia.
Ternyata, tulisan-tulisan itu membuat Natsir gusar. "Dia gusar dengan Sukarno yang terlalu mudah mengambil kesimpulan dan menuduh umat Islam di Indonesia terjebak dalam kekolotan. Dia gusar pula dengan penjelasan Sukarno tentang negara Islam yang gagap mengelola negara," tulis Arahman Ali.
Meski begitu, Natsir menyerang Sukarno bukan secara fisik, tapi lewat artikel-artikel. Ibarat kata, tulisan dibalas tulisan. Tulisan-tulisan Natsir untuk membalas tudingan Sukarno, seperti "Tjinta Agama dan Tanah Air", "Ichwanu'shafaa", "Islam dan Akal Merdeka", dan lain sebagainya, muncul di Al-Manaar dan Pandji Islam.
"Polemik inilah yang kemudian mendasari perselisihan antara Natsir dan Sukarno. Sukarno mengusung semboyan 'Kita darang dari Timur, kita berjalan menuju Barat', sedangkan Natsir tetap pada prinsipm "Baik di Barat ataupun di Timur, kita menuju keridlaan Ilahi'," lanjut Ali.
Natsir yang anti-komunis
Mohammad Natsir juga dikenal sebagai tokoh yang anti-komunis yang di Indonesia termanifestasi dalam payung Partai Komunis Indonesia (PKI). Suaran tentang pendiriannya itu banyak terlontarkan lewat Hikmah, majalah yang dia pimpin. Majalah ini juga menjadi represenasi dari Masyumi, lawan politik PKI. Hikmah juga dimaksudkan untuk menandingi media cetak milik partai yang akarnya dari ISDV itu.
Bagi Hikmah, "PKI sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan tata negara. Itu terlihat dari perilaku pemerintah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina yang mudah memberlakukan tindak kekerasan terhadap manusia, dan tindak-tanduk kebijakannya yang berpusat pada komunisme internasional," demikain menurut Ali.
Lebih dari itu, masih dari sumber yang sama, Hikmah menganggap komunisme adalah ancaman serius bagi Indonesia. Karena itu, untuk menghadapinya tak hanya selalu bermodalkan senjata tapi juga, dan ini yang lebih penting, adalah "alat-alat bathin jang timbul dari kejakinan agama dan kepertjajaan." Ali menulis, "Ideologi mesti dihadapi dengan ideologi pula."
Perseteruan itu kemudian berdampak buruk bagi Masyumi dan tentu saja Natsir. Pada 1960, Bung Karno membubarkan Masyumi. Tokoh-tokohnya, seperti Mohammad Natsir, dipenjara dengan tuduhan yang tidak main-main: terlibat PRRI.
Natsir kemudian bebas pada 1966. Sementara Sukarno perlahan tenggelam dan akhirnya jadi tahanan rumah sebelum akhirnya ajal menjemputnya. Yang lebih tragis, PKI disikat habis tak tersisa, sampai ke akar-akarnya.
Hubungan hangat dengan Aidit
Meski sangat anti terhadap PKI dan sering berdebat keras dengan sang ketua, rupanya Natsir menjalin hubungan yang hangat dengan DN Aidit. Hal itu sebagaimana digambarkan dalam laporan Historia.ID berjudul "Aidit dan Natsir Saling Sikat dalam Debat".
Kebetulan, pada era 1950-an, keduanya sama-sama menjadi anggota Konstituante, sebuah lembaga yang diberi tugas oleh Presiden untuk menyusun undang-undang dasar. Natsir adalah perwakilan Masyumi, sementara Aidit dari PKI.
Meski begitu, ternyata keduanya punya hubungan yang begitu hangat di luar forum-forum parlemen. Disebutkan bahwa Aidit biasa memberi segelas kopi hangat kepada Natsir sembari menanyakan kabar keluarga sembari menyantap bertusuk-tusuk sate. Begitulah Natsir, tokoh Islam dan Masyumi yang begitu keras kepada komunis.