TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Sejumlah nama polisi disebut DRP (15) korban penyiksaan dan salah tangkap saat berada di Mapolresta Magelang Kota.
Namun sejumlah nama polisi yang diduga kuat melakukan penyiksaan itu masih dirahasiakan kepada publik.
Hal itu terungkap saat pelajar tersebut menjalani proses pemeriksaan di Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Tengah, Salamanmloyo, Semarang Barat, Kota Semarang, Selasa (23/9/2025).
DRP diperiksa penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah atas laporan dugaan pidana tersebut dengan terlapor Kapolres Magelang Kota Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Anita Indah Setyaningrum dan anak buahnya.
Mereka dilaporkan selepas diduga melakukan tindakan salah tangkap lalu menganiaya korban hingga melakukan doxing dengan tudingan melakukan tindakan perusakan pada aksi demonstrasi pada Jumat, 29 Agustus lalu.
DRP diperiksa dengan pendampingan ibu dan kuasa hukumnya.
Pemeriksaan dilakukan di UPTD atas permintaan korban karena trauma melihat kantor polisi.
"Korban tadi diperiksa selama empat jam," kata Kuasa Hukum DRP dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Royan Juliazka Chandrajaya sesuai pemeriksaan kepada Tribun.
Chandra menyebut, selama pemeriksaan korban merasa kelelahan karena harus mengulangi cerita kekerasan tersebut.
Bahkan, korban sempat meminta berisitirahat di tengah-tengah proses interogasi polisi.
"Tadi korban kelelahan hingga akhirnya kami meminta untuk dipindahkan ke ruang sebelah untuk tidur sejenak karena capek juga ketika harus terus menceritakan ulang peristiwanya itu," katanya.
Dalam pemeriksaan tersebut, Chandra mengungkap, korban menceritakan kronologis kejadian pidana itu.
Kemudian dampak dari kejadian tersebut yang dialaminya.
Korban dan ibunya juga sempat menyebut beberapa nama polisi.
Namun, ia belum bisa membeberkan siapa sosok polisi itu yang diduga kuat melakukan tindakan pidana terhadap korban.
"Nama-nama itu belum kita bisa sebutkan ke media, tapi prinsipnya ada beberapa pihak yang itu merupakan dugaan kami adalah anggota Polres Magelang kota," ungkapnya.
Selepas pelaporan, korban melanjutkan pemeriksaan visum ke Rumah Sakit Bhayangkara Semarang.
Visum tersebut untuk melengkapi bukti dugaan tindakan penganiayaan.
Chandra berharap, kasus ini lekas naik menjadi Laporan Polisi (LP).
Sebab, laporan DRP ke Polda Jateng sejauh ini masih bersifat Laporan Aduan.
"Kami juga masih kebingungan kenapa masih bersifat laporan aduan. Tidak langsung ke LP. Padahal kami sudah menyerahkan bukti dan saksinya secara lengkap," tuturnya.
Di sisi lain, ia menyayangkan sikap Kapolres Magelang Kota AKBP Anita yang menutup mata terhadap kasus tersebut.
Ia meminta selepas kasus ini terbukti benar agar Kapolres tersebut diberi sanski etik.
"Kami juga meminta dia mundur dari jabatannya sebagai Kapolres," bebernya.
Sementara Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jawa Tengah Komisaris Besar (Kombes) Pol Artanto membenarkan pemeriksaan tersebut.
Pihaknya melakukan pemeriksaan terhadap korban dan ibunya untuk menentukan kasus itu naik ke tahapan berikutnya.
"Ya penyidik melakukan pemeriksaan untuk menentukan kasus naik ke tahap penyelidikan atau sebaliknya," katanya kepada Tribun.
Selain pemeriksaan ke korban, melalui Bidang Profesi dan Keamanan (Bidpropam) Polda Jateng juga bakal melakukan pemeriksaan kepada polisi yang menjadi terlapor.
Artanto tidak menyebut detail nama polisi tersebut.
Namun, pemeriksaan etik itu bagian dari menindaklanjuti laporan dari korban.
"Polda akan transparan dan profesional menangani kasus ini," klaimnya.
Panggil Pelapor
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimsus) Polda Jateng Kombes Pol Dwi Subagio menyebut bakal melakukan pemanggilan terhadap pelapor kasus dugaan penganiayaan terhadap seorang anak berinisial DRP.
Korban diduga mendapatkan penganiayaan dari anggota Polres Magelang Kota karena dituduh melakukan aksi demonstrasi. Korban juga mengalami doksing yakni difitnah sebagai pelaku demo yang melakukan pengerusakan.
"Iya, kami panggil pelapor pekan depan untuk pemeriksaan," kata Dwi di Mapolda Jateng, Jumat (19/9/2025).
Kasus itu masih dalam tahap aduan. Menurut Dwi, pihaknya masih akan memastikan aduan tersebut benar-benar terjadi atau sebaliknya. "Ya tentu akan kami proses secara transparan," bebernya.
Di sisi lain, akibat kasus ini, keluarga korban DRP mendapatkan Intimidasi diduga dari anggota Polres Magelang kota. Namun, Polda Jateng membantahnya. "Kami persilakan yang mengetahui kejadian itu untuk melaporkan ke polisi," katanya.
Keluarga DRP (15) korban kekerasan dan doksing akibat dituding sebagai peserta aksi demonstrasi mendapatkan intimidasi dari sejumlah orang diduga kuat dari anggota Polres Magelang Kota.
Mereka mendatangi rumah keluarga DRP untuk menanyakan alasan melaporkan kasus itu ke Polda Jawa Tengah pada Selasa (16/9/2025).
Selain itu, mereka juga meminta damai dan kasus hukum bisa dihentikan.
"Iya, kemarin siang (Rabu, 17 September) orangtua korban di datangi oleh beberapa polisi diduga anggota Polres Magelang kota yang meminta damai, dan proses hukum dihentikan," kata Kuasa Hukum Orang Tua DRP dari LBH Yogyakarta, Royan Juliazka Chandrajaya kepada Tribun.
Menurut pria yang biasa disapa Chandra itu kedatangan sejumlah orang yang diduga kuat sebagai polisi itu berdampak terhadap keluarga korban yang merasa was-was dan terintimidasi.
Terlebih mereka menawarkan sesuatu agar permintaan mereka dipenuhi.
"Nah, kami belum tahu apa yang ditawarkan, tapi ketika mereka datang tidak sempat diberikan. Sebab, keluarga juga menolak untuk berdamai dalam kasus ini," paparnya.
Selepas kedatangan para polisi tersebut, pada malam harinya datang kembali tiga polisi yang mengaku dari Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda Jateng.
Chandra menyebut, kedatangan mereka untuk meminta keterangan korban sebagai tindak lanjut dari laporan mereka soal kasus dugaan penganiayaan dan doksing.
"Mereka juga menjanjikan Ditreskrimum (Direktorat Reserse Kriminal Umum) akan segera turun menangani kasus ini," paparnya.
Melihat keluarga korban yang sudah merasa terintimidasi, Chandra akhirnya melakukan aduan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Kami sudah melakukan aduan ke LPSK karena kasusnya sudah mulai mendapatkan atensi, kami harap keluarga bisa mendapatkan perlindungan resmi dari negara," bebernya.
Sebagaimana diberitakan, DRP (15) remaja asal Magelang diduga mendapatkan kekerasan dan penyebaran data pribadi atau doksing selepas menjadi korban salah tangkap dari anggota Polres Magelang Kota.
Pelajar SMA itu mendapatkan tindakan kekerasan tersebut pada Jumat, 29 Agustus lalu, dengan tudingan terlibat aksi demonstrasi yang berujung pengerusakan pos polisi di Polres tersebut.
Selepas disiksa DRP didoksing yang berujung pihak sekolah ingin mengeluarkan DRP dari sekolah karena dituding terlibat demonstrasi.
DRP juga mendapatkan bullying dari teman-temannya akibat penyebaran data pribadi itu. (iwn)