Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan jual beli kuota haji khusus kepada sesama biro perjalanan haji dapat terjadi karena ketiadaan sertifikat penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK).
"Ada biro perjalanan haji ini mendapatkan kuota haji khusus dari biro perjalanan yang lain karena beberapa belum punya izin untuk menyelenggarakan ibadah haji khusus. Ada juga yang seperti itu," ujar Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu.
Oleh sebab itu, Budi mengatakan KPK mendalami proses penjualan kuota haji tersebut untuk penyidikan kasus dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023–2024.
Selain itu, dia mengatakan KPK saat ini masih mendalami jemaah haji khusus yang dapat berangkat di tahun pembayaran.
"Nah itu juga kami dalami kaitannya seperti apa, sehingga kemudian membuat para calon-calon jemaah yang baru ini tanpa perlu mengantre atau T0, bisa langsung berangkat haji," katanya.
Sebelumnya, KPK mengumumkan memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023–2024, yakni pada 9 Agustus 2025.
Pengumuman dilakukan KPK setelah meminta keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam penyelidikan kasus tersebut pada 7 Agustus 2025.
Pada saat itu, KPK juga menyampaikan sedang berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus kuota haji tersebut.
Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp1 triliun lebih, dan mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri, salah satunya adalah mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Selain ditangani KPK, Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menyatakan pihaknya telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.
Poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.
Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler.