Ibrahim Datuk Tan Malaka yang Dibesarkan dalam Keluarga Islam yang Taat
Moh. Habib Asyhad September 27, 2025 12:34 PM

Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir dari keluarga Minangkabau yang taat beragama. Gugur ditembak oleh tentara bangsa sendiri.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Ada satu ungkapan Ibrahim Datuk Tan Malaka terkait agama yang begitu terkenal. Begini bunyinya:

"Ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia."

Terlepas dari ungkapan legendaris sang Bapak Republik Indonesia itu, Tan Malaka yang jelas dibesarkan di tengah keluarga muslim yang taat. Sebagaimana anak Minangkabau pada umumnya, yang dibesarkan di pantai barat Sumatera, masa kecil Tan Malaka juga dihabiskan untuk mengaji di surau.

Meski begitu, soal tahun kelahirannya, banyak versi. Sebagaimana ditulis Satriono Priyo Utomo dalam jurnal Sejarah Citra Lekha dalam “Langkah ‘Merah’ Pemikiran Pendidikan Tan Malaka, 1919-1921” (2020), tahun kelahiran Tan ada yang “1893, 1894, 1895, 2 Juni 1892, 2 Juni 1897, dan 1899.” Versi paling banyak dipercaya adalah 1897.

Selain memegang teguh adat-istiadat, lingkungan tempat kelahiran Tan Malaka dikenal sebagai penganut Islam yang taat. Pun begitu dengan keluarganya. Disebutkan bahwa Tan Malaka sering melihat ibunya membaca Al-qur’an meskipun dalam kondisi sakit, termasuk surat Yasin yang dipercaya bisa mencegah kehadiran Izrail sang malaikat maut.

Tan Malaka juga sering mendapatkan cerita tentang nabi-nabi dari sang ibu. Bahkan ada sebuah tulisan yang menyebut bahwa ketika beranjak remaja, Tan Malaka sudah mahir berbahasa Arab dan menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an. Karena itu dia pernah dipercaya sebagai guru muda di surau tempatnya mengaji.

Bahkan Islam punya pengaruh besar terhadap pemikiran-pemikiran Tan Malaka. Termasuk dalam soal-soal kemerdekaan. Lewat Dari Penjara ke Penjara, Tan bercerita bagaimana perkenalannya dengan dunia luar: dari Minangkabau dan Islam menuju Revolusi Prancis yang memantik lahirnya ide-ide nasionalisme.

Bagi Tan, kemerdekaan tak sekadar kebebasan sebuah bangsa dari penjajah. Lebih dari itu, kebebasan adalah soal lahirnya alam pikiran yang bebas dari segala bentuk penindasan dan kebodohan – yang kemudian dituangkan dalam karya legendarisnya Madilog.

Bangsa yang merdeka, bagi Tan, adalah bangsa yang mempunyai cara berpikir yang bebas, kritis, yang berlandaskan pada kebenaran alih-alih doktrin yang membelenggu dan menyesatkan, termasuk pada hal-hal yang berbau mistika alias gaib.

Bagi Tan, pola pikir mistika hanya akan menghadirkan kebebalan alih-alih cara berpikir yang kritis dan produktif. Cara pikir mistika juga membuat orang jadi malas berusaha atau mencari jalan keluar.

Tan Malaka menempuh jalan komunisme untuk mencapai tujuannya, Indonesia merdeka. Meski begitu, untuk mewujudkan itu, dia dengan yakinnya untuk menggandeng umat Islam. Baginya, islam adalah representasi dari spirit perjuangan yang revolusioner. Pendek kata, komunisme dan Islam sama-sama berjuang melawan kolonialisme.

Tan Malaka, Bapak Republik yang tragis akhir hayatnya

Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat. Nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Dari nama itu kita tahu, Tan Malaka sejatinya punya darah semi-bangsawan, yang diwarisi dari ibunya, Sinah Simabur.

Ayah Tan Malaka adalah Rasad Caniago, yang bekerja sebagai pegawai pertanian Hindia Belanda. Setelah lulus dari sekolah rendah, Tan Malaka melanjutkan pendidikannya di Inlandsche Kweekschooll voor Orderwijzers (sekolah guru pribumi) di Bukittinggi, pada 1908-1913.

Setelah itu Tan mendapatkan rekomendasi dari gurunya, GH Horensma, untuk sekolah di Belanda. Dia pun berangkat ke negeri penjajahnya itu ketika usianya 17 tahun, meneruskan pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah (Rijkskweekschool).

Di Belanda, Tan Malaka mulai berkenalan dengan ide-ide kiri. Dia pun mulai sadar tentang ketimpangan kelas, kolonialisme, keadilan sosial, dan problem-problem penjajahan lainnya.

Tan Malaka kemudian bergabung dengan Indische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia pada 1913. Ini adalah wadahnya aktivis anti-penjajahan. Di sinilah Tan Malaka mulai mengembangkan ide-idenya tentang nasionalisme dan keadilan.

Tak banyak yang tahu bahwa Tan Malaka punya peran penting dalam Pergerakan Nasional juga kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Bagaimanapun juga, Tan Malaka pernah menjadi Ketua PKI pada 1921 menggantikan Semaoen yang berangkat ke Eropa. Tapi jabatan itu cuma dipegang beberapa bulan karena keburu ditangkap Belanda.

Tak hanya itu, Tan Malaka juga berselisih paham dengan beberapa tokoh PKI lainnya, termasuk dalam ide Pemberontakan PKI 1926, sehingga dia “disingkirkan” dari partai yang lahir dari rahim Sarekat Islam itu.

Setelah itu, Tan Malaka terhitung mendirikan beberapa partai yang bertujuan mengembangkan kader bawah tanah untuk terus melawan penjajah Belanda – dan Jepang pada akhirnya. Aktivitasnya itu membuatnya jadi buronan Belanda. Tan Malaka akhirnya kembali ke Jawa ketika pendudukan Jepang.

Dikenal sebagai Bapak Republik Indonesia, nyatanya tak membuat hidup Tan Malaka bergelimang hormat. Sebaliknya, akhir hayatnya berujung tragis, ditembak tentara bangsa sendiri yang dia perjuangkan mati-matian selama hidupnya.

Tan Malaka sempat ditangkap oleh pemerintah Indonesia pada 1947 karena dituduh berkomplot. Setelah dibebaskan pada 1848, Tan mendirikan Partai Murba. Pada Februari 1949, Tan Malaka ditangkap dan kemudian ditembak mati bersama beberapa orang pengikutnya di Pethok, Kediri.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.