Ilmu, Uang dan Gelar
Hari Widodo September 29, 2025 08:33 AM

Mujiburrahman, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID - “MENGAPA ilmu lebih utama daripada harta?” tanya seorang murid kepada gurunya yang bijak. Guru menjawab, “Karena harta harus kau jaga, sedangkan ilmu, ia yang menjagamu. Harta berkurang jika dibagi, sedangkan ilmu bertambah jika dibagi. Harta bisa dicuri, sedangkan ilmu tidak bisa dicuri. Harta adalah kesenangan Fir’aun dan Qarun, sedangkan ilmu adalah kesenangan para Nabi, wali dan filsuf. Ketika kau mati, harta akan kau tinggalkan, sedangkan ilmu akan tetap bersamamu, bersemayam dalam kesadaranmu yang ruhani, bukan jasmanimu yang akan lebur dalam tanah”.

Kita bisa menderetkan banyak ayat dan hadis perihal keutamaan ilmu. Kita diajarkan bahwa ayat pertama Al-Qur’an yang diterima Nabi Muhammad adalah “Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan!” (QS 96:1). Al-Qur’an juga menegaskan bahwa orang yang benar-benar takut kepada Allah adalah orang yang berilmu (QS 35:28); bahwa orang yang berilmu akan diangkat derajatnya (QS 58:11); bahwa Nabi diperintahkan untuk memohon diberi tambahan ilmu (QS 20: 114). Nabi bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim dan Muslimah,” (Ibnu Majah).

Bagi yang pernah belajar di madrasah atau pesantren, wacana keutamaan ilmu di atas kiranya sudah hafal. Namun, apakah wacana itu sekadar kenangan indah di masa kecil, yang samar-samar kita pahami maksudnya dan sekarang setelah dewasa justru kita lupakan? Hidup orang dewasa memang lebih rumit dan kompleks dibanding anak-anak. Ketika masih kanak-kanak, semua keperluan hidup kita umumnya ditanggung oleh orangtua/wali, yang tentu saja harus bekerja mencari uang alias harta. Kalau begitu, apakah dalam kenyataan hidup, harta lebih mulia dari ilmu?

Pada dasarnya, kita tak bisa hidup tanpa ilmu dan harta. Kita perlu kedua-duanya. Jika kita tak punya salah satu atau kedua-duanya, kita perlu bantuan orang lain yang memilikinya. Urusan makan dan minum yang paling sederhana saja, kita perlu ilmu tentang apa yang aman dimakan dan diminum, dan jika diperlukan, bagaimana cara memasaknya. Jika kita tak punya barang yang dimakan dan diminum itu, kita harus membeli, dan itu berarti kita perlu harta/uang. Seorang anak kecil yang tak punya ilmu dan uang, hanya bisa memenuhi kebutuhannya dengan bantuan orang dewasa.

Keruwetan muncul ketika ilmu hanya dianggap bernilai jika ia dapat mendatangkan harta. Anggapan ini bermula dari pandangan hidup materialistis bahwa yang paling bernilai dalam hidup adalah materi/uang. Program studi akan diminati banyak orang jika alumninya mudah mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi. Lembaga pendidikan akhirnya laksana pabrik, yang memproduksi barang untuk dijual kepada para pembeli di pasar bebas. Barang yang diproduksi adalah ilmu dan keterampilan. Para pembelinya akan diberi tanda tamat berupa ijazah.

Di perguruan tinggi, ijazah itu disertai dengan gelar sarjana. Ada rupa-rupa dan tingkatan sarjana. Ada sarjana tingkat diploma, spesialis, S-1, S-2, dan S-3 dengan gelar masing-masing. Gelar-gelar itu merupakan tanda pengakuan atas ilmu dan keterampilan yang dikuasai seseorang sesuai dengan jenis dan tingkat pendidikannya. Untuk mencapainya, orang harus melalui proses panjang: belajar, berlatih, menghadapi ujian untuk setiap mata kuliah, praktik lapangan, hingga menulis karya ilmiah sebagai tugas akhir seperti skripsi, tesis dan disertasi.

Belajar dan berlatih itu jelas tidak mudah, meskipun jika dijalani dengan tabah, kelak akan terasa indah. Namun, sebagian orang tidak tahan melewati proses itu. Mereka tak sabaran dan ingin serba instan. Kehidupan modern yang serba cepat membuat mereka makin terburu-buru. Adakah jalan pintas untuk meraih gelar sarjana? Bagi yang menghayati makna ilmu dan keterampilan jawabnya jelas: tidak ada! Sayangnya, sebagian orang yang diberi amanah mendidik, mengajar dan mengembangkan ilmu dan keterampilan itu justru menjawab: “Ada dan bisa, asal kau bayar!”

Perlahan-lahan, harta alias uang bagi sebagian orang menjadi penentu utama, termasuk untuk mendapatkan gelar akademik. Sebagian lembaga mau mempermudah proses pendidikan asal orang mau membayar dengan tarif yang tinggi. Ada lagi yang berusaha meraih gelar akademik dengan membayar orang lain untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Begitu pula, sebagian orang diberi gelar “honoris causa” bukan karena mereka benar-benar berkontribusi dalam pengembangan ilmu dan keterampilan, tetapi semata karena transaksi kepentingan pribadi antar pihak berwenang.

Akhirnya, para pekerja di lembaga pendidikan juga melakukan hal serupa untuk diri mereka sendiri. Agar bisa naik pangkat akademik, sebagian mereka mencari-cari jalan pintas. Ada yang menjiplak karya orang lain. Ada yang membayar orang lain untuk membuatkan karya ilmiah untuknya. Ada pula yang membeli saja karya ilmiah yang sudah siap sedia. Yang membeli dan menjual sama-sama berpegang pada prinsip: uang lebih penting daripada kejujuran ilmiah. Naik pangkat berarti naik gaji. Makin tinggi gaji, makin menggoda. Orang pun mau menghalalkan segala cara.

Akibatnya, gelar sarjana atau pangkat akademik lebih penting dibanding kompetensi, yakni keahlian dalam ilmu dan keterampilan. Padahal, gelar adalah tanda atau simbol saja. Gelar tanpa ilmu dan keterampilan sama artinya dengan simbol tanpa makna, kulit tanpa isi alias kosong. Kita telah menipu pemerintah, masyarakat, dan diri sendiri. Karena itu, gelar sarjana atau pangkat akademik takkan berarti apa-apa jika kita mendapatkannya dengan cara membeli. Gelar memang bisa dibeli, tetapi ilmu dan keterampilan harus dipelajari dan dikuasai, tak bisa dibeli.

Demikianlah, harta/uang akhirnya mengalahkan ilmu dan keterampilan, karena kita mengabaikan akhlak, nilai-nilai etika, terutama nilai kejujuran, sebagai penentu yang sangat penting bagi kualitas hidup manusia. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.