Ringkasan Utama
KPK membongkar skema korupsi kuota haji 2024 yang melibatkan jaringan bertingkat dari biro perjalanan hingga oknum Kemenag. Aliran dana haram dipicu oleh pembagian kuota yang diduga melanggar aturan dan bermuara ke satu pengepul utama. Potensi kerugian negara ditaksir lebih dari Rp1 triliun.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap skema korupsi dalam pemanfaatan kuota haji tahun 2024 yang disebut sangat terorganisir dan melibatkan banyak pihak. Aliran dana haram itu mengalir secara bertingkat, dari biro perjalanan haji hingga oknum di internal Kementerian Agama (Kemenag), dan akhirnya bermuara ke satu pengepul utama.
“Ya pasti ujungnya pada satu orang, pada pengumpul utama,” tegas Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam keterangannya, Senin (29/9/2025).
Menurut KPK, skema ini melibatkan “juru simpan” di setiap level. Biro-biro perjalanan haji disebut harus menyetor uang dalam jumlah besar untuk mendapatkan kursi dari kuota haji khusus. Biaya yang dikenakan berkisar antara USD 2.600 hingga USD 7.000 per jemaah, atau sekitar Rp42 juta hingga Rp115 juta.
Dana tersebut dikumpulkan secara berjenjang: dari biro ke asosiasi haji, lalu diteruskan ke oknum-oknum di Kemenag.
“Di Kemenag juga oknumnya bertingkat, ada pelaksana, ada Dirjen, bahkan ada yang lebih tinggi lagi,” jelas Asep.
Yang lebih mencengangkan, uang tersebut tidak langsung diserahkan kepada pimpinan tertinggi di Kemenag. KPK menduga dana disalurkan melalui perantara seperti kerabat atau staf ahli untuk menyamarkan jejak transaksi.
Pengusutan kasus ini bermula dari terbitnya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 tentang pembagian kuota haji tambahan tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi.
SK tersebut ditandatangani oleh Yaqut Cholil Qoumas saat menjabat sebagai Menteri Agama dan kini menjadi salah satu alat bukti utama yang diamankan penyidik.
Dalam SK itu, sebanyak 20.000 kuota tambahan dari Pemerintah Arab Saudi dibagi rata: 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus. Padahal, menurut Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pembagian seharusnya adalah 92 persen untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus.
Artinya, hanya sekitar 1.600 kuota yang sah untuk haji khusus, bukan 10.000.
Kebijakan ini diduga membuka celah praktik suap dan pungutan liar. Tambahan kuota yang membeludak membuat biro perjalanan berlomba membeli kursi haji khusus, memicu transaksi ilegal dan jual beli kuota antar biro.
KPK telah menyita barang bukti berupa uang tunai
Rp26,3 miliar, empat mobil, lima bidang tanah dan bangunan, serta dua rumah mewah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar.
Kerugian negara akibat skandal ini ditaksir lebih dari Rp1 triliun. KPK juga membuka peluang penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jika ditemukan bukti bahwa uang hasil korupsi telah dialihkan menjadi aset lain.
KPK mulai menyelidiki kasus ini sejak 7 Agustus 2025 dan menaikkan ke tahap penyidikan pada 9 Agustus 2025. Hingga kini, belum ada tersangka yang diumumkan karena penyidikan masih berlandaskan sprindik umum.
Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah diperiksa dua kali oleh KPK. Ia juga dikenai larangan bepergian ke luar negeri selama enam bulan bersama dua pihak lainnya.
Salah satu saksi yang telah diperiksa adalah Ustaz Khalid Basalamah, pemilik biro perjalanan Uhud Tour.
Ia mengaku terpaksa membayar biaya tambahan USD1.000 per jemaah untuk 37 orang karena ancaman proses visa akan dihentikan.
Setelah ibadah haji selesai, sebagian dana dikembalikan, dan ia menyerahkan uang ke KPK sebagai bentuk kooperatif.
Kasus ini memicu kemarahan publik karena menyangkut hak jemaah haji dan transparansi pengelolaan kuota oleh negara. Banyak calon jemaah merasa dirugikan secara moral dan finansial, karena kuota yang seharusnya diberikan secara adil justru menjadi komoditas transaksi.
KPK menyatakan akan terus mendalami seluruh aspek kebijakan dan potensi tindak pidana yang terkait, termasuk siapa yang merancang SK dan apakah keputusan itu berasal dari bawah (bottom-up) atau atas (top-down).