Kita tidak kekurangan uang, yang kita kekurangan adalah keberanian menyalurkannya dengan cara yang sehat. Kalau dana ini hanya berhenti di deposito atau reverse repo, efeknya minimal.

Jakarta (ANTARA) - Direktur Insight Kadin Indonesia Institute Fakhrul Fulvian menilai, penempatan dana sebesar Rp200 triliun oleh Kementerian Keuangan ke sektor perbankan hanya akan memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi, jika diarahkan melalui mekanisme pembiayaan produktif dan berbasis pengambilan risiko yang tepat.

Menurutnya, uang negara itu seharusnya berperan sebagai “pemantik keberanian” bagi lembaga keuangan untuk menyalurkan dana ke sektor riil, bukan sekadar mempertebal likuiditas pada sistem perbankan tanpa arah produktif.

“Kita tidak kekurangan uang, yang kita kekurangan adalah keberanian menyalurkannya dengan cara yang sehat. Kalau dana ini hanya berhenti di deposito atau reverse repo, efeknya minimal,” ujar Fakhrul, di Jakarta, Selasa (7/10).

Ia menilai, agar dampak penempatan dana tersebut optimal, dibutuhkan kolaborasi dengan lembaga keuangan non-bank yang siap mengambil risiko secara terukur. Karena itu, pendekatan stimulus fiskal perlu diperluas menjadi kolaborasi berbagi risiko (risk-sharing ecosystem) antara pemerintah, perbankan, lembaga penjamin, dan industri modal ventura.

Selama ini ekosistem pembiayaan di Indonesia masih didominasi lembaga perbankan yang cenderung berhati-hati, sementara lembaga pembiayaan berbasis ekuitas seperti modal ventura belum diberdayakan secara sistemik.

“Modal ventura bisa menjadi lapisan keberanian di sistem keuangan kita. Bank menjaga likuiditas, pemerintah menanggung sebagian risiko, dan venture capital menyalurkan dana ke sektor inovatif. Itu sebabnya industri modal ventura perlu dilihat bukan sebagai sektor kecil, tapi sebagai missing middle antara kebijakan fiskal dan dunia usaha,” ujarnya.

Fakhrul menilai, peran modal ventura akan sangat penting bagi sektor-sektor dengan potensi pertumbuhan tinggi tetapi belum sepenuhnya bankable, seperti agrikultur modern, industri hijau, logistik, dan pengolahan daerah.

Jika sebagian kecil dari dana Rp200 triliun diarahkan ke skema kolaboratif dengan modal ventura, maka efek penggandanya akan jauh lebih besar dibanding penyaluran kredit konvensional.

Selain itu, Fakhrul menyoroti perlunya reformasi regulasi, agar industri modal ventura bisa menjadi kanal resmi pembangunan.

Ia mengusulkan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuka model tiered licensing, yang memungkinkan terbentuknya micro venture fund dengan modal minimum Rp5 miliar-Rp10 miliar sehingga modal ventura dapat berkembang di berbagai daerah di Indonesia.

“Regulasi kita masih memperlakukan modal ventura seperti lembaga keuangan biasa. Padahal venture capital itu sejatinya mesin keberanian. Kalau lisensinya dibuat bertingkat dan fleksibel, ekosistemnya akan tumbuh dari bawah,” ujar dia pula.

Fakhrul juga menilai, pertumbuhan industri modal ventura yang sehat dapat menarik kembali dana Indonesia yang saat ini banyak tersimpan di luar negeri.

“Kalau ekosistem risikonya jelas, dana diaspora dan investor domestik akan berani kembali ke rumah,” ujarnya.

Sebagai pembanding, Fakhrul mencontohkan beberapa negara yang berhasil memanfaatkan instrumen modal ventura sebagai perpanjangan tangan kebijakan fiskal.

Singapura, misalnya, membentuk Heliconia Capital di bawah Temasek Holdings untuk membiayai ekspansi perusahaan menengah nasional. Korea Selatan memiliki Growth Ladder Fund, dana pemerintah yang diputar melalui venture capital swasta untuk mendanai startup dan UKM teknologi. Sementara Prancis menjalankan model Bpifrance, yang menyalurkan dana publik melalui mekanisme co-investment dengan sektor swasta dan bank pembangunan regional.

“Semua negara maju menggabungkan dana negara dengan keberanian pasar. Itulah yang belum kita lakukan,” kata Fakhrul.

“Indonesia bisa menciptakan versi kita sendiri, dana Rp200 triliun ini bisa jadi langkah awal membangun arsitektur venture-based development. Di sini peran pengusaha pada umumnya dan Kadin pada khususnya akan muncul, untuk bersama-sama menciptakan lingkungan pembiayaan dan bisnis yang kuat,” ujarnya lagi.

Menutup pandangannya, Fakhrul menegaskan bahwa kebijakan fiskal yang efektif bukan hanya soal percepatan penyerapan dana, melainkan juga tentang kemampuan menyalurkan keberanian ke dalam sistem ekonomi.

“Ketika ini tercapai, pengusaha akan kembali terbuka pikiran akan prospek yang ada dan keberanian untuk memulai akan muncul. Kebijakan fiskal tidak cukup hanya memindahkan dana. Ia harus membentuk penyaluran keberanian untuk memutar perekonomian. Venture capital adalah instrumen keberanian yang bisa diukur, dan di sinilah uang negara bisa benar-benar bekerja,” katanya pula.