TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Di tengah isu miring soal penggunaan etanol pada bahan bakar minyak (BBM), pemerintah bersiap menerapkan mandatori etanol 10 persen (E10).
Diketahui, Pertamina memiliki produk BBM yang dikembangkan dengan pencampuran etanol, dengan yang terbaru yakni Pertamax Green, setelah sebelumnya hal serupa dilakukan pada produk Bio Solar.
Menanggapi hal itu, Kepala Inovasi dan Hilirisasi LPPM Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang, Prof Kusmiyati mengatakan, penerapan mandatori E10 dalam BBM dinilai sebagai bagian dari upaya transisi energi menuju bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025.
Menurut dia, etanol dapat diproduksi dari bahan nabati seperti molases tebu, singkong, atau limbah lignoselulosa.
Hal itu menjadi solusi strategis untuk mengurangi ketergantungan pada impor bensin, dan menurunkan emisi karbon sektor transportasi.
"Etanol memiliki nilai kalor sekitar 66 persen dari bensin, sehingga konsumsi bahan bakar kendaraan bisa sedikit meningkat sekitar 2-4 persen," katanya, baru-baru ini.
Namun, karena angka oktan lebih tinggi, Prof Kusmiyati menuturkan, proses pembakaran menjadi lebih sempurna dan efisien.
Sehingga, perbedaan konsumsi pada campuran etanol relatif kecil bagi kendaraan modern dengan sistem injeksi.
Ia menyebut, sebagian besar kendaraan bensin modern di Indonesia kompatibel dengan E10 tanpa modifikasi.
Sementara untuk kendaraan lama dengan sistem karburator atau material lama perlu pemeriksaan lebih cermat.
"Pabrikan global umumnya telah menyesuaikan standar material bahan bakar agar tahan etanol hingga 10 persen," ujarnya.
Prof Kusmiyati mengakui, etanol bersifat higroskopis atau menyerap air dan sedikit korosif, terutama pada sistem pembakaran kendaraan tua.
Namun, ia berujar, risiko itu dapat diminimalkan dengan penggunaan BBM berkualitas dan distribusi yang terstandar, servis rutin filter dan tangki BBM, serta menghindi penyimpanan BBM terlalu lama.
Dengan angka oktan tinggi yakni RON 108-109, dia menambahkan, etanol meningkatkan resistensi terhadap knocking dan memperhalus pembakaran.
Mesin yang optimal untuk oktan tinggi justru dapat menunjukkan respons akselerasi lebih baik, meskipun tenaga puncak sedikit berkurang jika tidak ada penyesuaian rasio kompresi.
Prof Kusmiyati menyatakan, E10 akan lebih ramah lingkungan, menurunkan emisi CO, HC, dan partikulat, serta mengurangi intensitas karbon 5-7 persen dibandingkan dengan bensin murni.
"Dampak positif akan lebih besar jika bahan baku etanol berasal dari limbah pertanian atau biomassa terbarukan," jelasnya.
Ia menyebut, beberapa negara telah menggunakan etanol pada BBM. Misalnya, Brazil sudah lebih dari 40 tahun menggunakan E20-E100 secara nasional dengan kendaraan flex-fuel. Kemudian, AS menerapkan E10 secara luas, dan E85 untuk kendaraan khusus.
"Keduanya menunjukkan bahwa keberhasilan mandatori etanol bergantung pada standar mutu, kesiapan logistik, dan sosialisasi teknis kendaraan," bebernya.
Prof Kusmiyati menyebut, Indonesia telah memiliki industri bioetanol berbasis molases dari sektor gula. Indonesia juga telah memiliki regulasi biofuel yakni Perpres No. 5/2006 dan Permen ESDM No. 12/2015.
Saat ini, dia menambahkan, tahap implementasi telah dimulai dengan E5 atau etanol 5 persen. Evaluasi performa dan logistik perlu dilakukan sebelum menuju mandatori E10.
"Perkuat SNI mutu bioetanol dan bahan bakar campuran. Riset bioetanol lignoselulosa dan uji mesin nasional diperlukan. Serta, perlu sosialisasi mengenai keamanan, manfaat lingkungan, dan perawatan kendaraan," terangnya. (Eka Yulianti Fajlin)