Mulut yang Mengetik, Internet yang Merangkul,  Menuju Ruang Maya Ramah Anak Berkebutuhan Khusus
Sri Juliati October 16, 2025 01:31 AM

TRIBUNNEWS.COM - Bayangkan harus menulis tanpa tangan, atau bahkan tanpa kaki. Di SLB D YPAC Surakarta, ini bukan sekadar imajinasi, melainkan kenyataan sehari-hari bagi siswa-siswanya. 

Ada yang mengoperasikan tablet dengan mulut dan lidahnya, ada pula yang bergantung pada suara untuk memerintahkan perangkat menuliskan kata-kata di layar. 

Di ruang kelas yang dipenuhi keterbatasan fisik, internet dan teknologi justru menjadi "anggota tubuh" baru, pemulih kemandirian, pembuka jendela dunia yang selama ini tertutup rapat.

Kepala Sekolah SLB D YPAC Surakarta, Jaludin Khawarizmi, tersenyum saat menggambarkan para siswanya yang beragam: ada yang mampu didik, mampu latih, hingga mampu rawat. 

"Kalau nulis mau nyuruh ganti tangan, kaki juga tidak ada, dia penggunaan alat geraknya, menggunakan mulut dan lidah," ceritanya ditemui pada Jumat (10/10/2025). 

Fleksibilitas adalah kunci di sini. Berbeda dengan sekolah lain yang mungkin melarang tablet, di YPAC, perangkat itu justru diizinkan, asal untuk pembelajaran. Pascapandemi, sekolah ini melangkah maju dengan kelas hybrid via Google Meet atau Zoom, memastikan siswa yang sulit datang tetap ikut pelajaran tanpa tertinggal.

Lebih dari itu, YPAC membuka "Kelas 13", program pasca-lulusan unik yang tak dimiliki SLB lain di Jawa Tengah. Di sini, lulusan kelas 12 mendalami Teknologi Informasi, dari jadi influencer hingga pemasaran digital. 

"Jadi intinya kalau mereka masih mau belajar, kami tampung," ujar Jaludin. Semua didukung infrastruktur solid: internet 200-400 Mbps dari dua provider, Wi-Fi merata, proyektor portabel, dan Smart TV. 

Guru-guru pun dilatih teknologi Artificial intelligence (AI), seperti menghidupkan gambar dua dimensi anak jadi animasi interaktif. "Fungsinya guru harus lebih tahu dulu," tambahnya.

Kisah transformasi siswa seperti Rian (bukan nama sebenarnya) merupakan anak autis yang dulu isolasi, jadi inspirasi utama di sekolah itu. 

Dengan Google Read&Write, ia "baca" teks via suara, partisipasi kelas naik 50 persen. Pascapandemi, hybrid learning via WhatsApp Video sudah bisa dipastikan tak ada yang tertinggal. "Mereka mandiri sekarang," katanya. 

Jaludin Kembali berkisah, dulu ada siswa takut belajar online, namun sekarang tablet yang digunakan menjadi seperti teman. “Aku bisa 'bicara' lewat suara," ungkapnya menirukan suara.

Luka Tak Terlihat

Dari cerita harapan di YPAC, sisi gelap ruang digital dapat tersiar melalui lensa seorang ahli yang sering berhadapan langsung dengan korban-korbannya. 

Adalah dr. Siti Wahyuni, Sp.KJ, dokter spesialis kedokteran jiwa yang sehari-hari praktik di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

dr. Siti menjelaskan bahwa ruang digital punya dua wajah bagi psikis anak. Di sisi positif, penggunaan moderat bisa mempercepat pembelajaran, stimulasi kognitif, analitik, dan kreativitas. 

Media sosial memfasilitasi interaksi, memperluas pertemanan, dan menguatkan ekspresi emosi dalam konteks sehat. 

Anak terhubung daring dapatkan dukungan sosial, akses info pendidikan, dan kompetensi digital esensial. 

"Ini seperti jembatan sosial bagi anak yang sulit berinteraksi tatap muka," katanya pada Rabu (8/10/2025).

Namun, sisi negatifnya lebih mengkhawatirkan, terutama bagi ABK yang rentan. 

Paparan berlebih media sosial hubungkan dengan depresi, kecemasan, turunnya harga diri, dan gangguan tidur. Tanpa pendampingan, risiko cyberbullying, isolasi, agresi, rasa tidak aman, hingga kecanduan layar melonjak. 

Banyak waktu di depan layar kurangi aktivitas fisik dan interaksi nyata, pengaruh keseimbangan psikis, turunkan empati, dan komunikasi tatap muka. 

Data survei kesehatan mental remaja Indonesia 2022 tunjukkan 34,9 persen remaja alami masalah, dan tren 2025 serupa: sekitar 20 persen anak korban dampak digital, seperti kecanduan yang picu tantrum atau isolasi. WHO memperkirakan, 1 dari 7 anak usia 10-19 tahun berjuang dengan ini.

Di praktik sehari-hari, dr. Siti menjumpai kasus nyata yang pilu. 

Di poli RSUD Dr. Moewardi, hampir setiap hari ada anak datang dengan keluhan perubahan perilaku, bukan adiksi internet langsung, tapi faktor layar berlebih yang bisa ditelusuri kemudian. 

"Banyak yang belum terdiagnosis, tapi ganggu aktivitas harian," ujarnya. 

Ia mencontohkan, seorang gadis 9 tahun di RS Y, korban video call tak senonoh dari teman online, didiagnosis gangguan stres akut. 

Ia menyendiri, tolak sekolah, merasa "kotor" dan minta maaf berulang ke orang tua, sembuh setelah dua minggu terapi, tapi trauma abadi. 

Di RS Z, banyak anak menunjukkan perubahan akibat penggunaan HP berlebih, sering tak disadari orang tua yang kasih gadget untuk "alihkan perhatian" saat sibuk sendiri.

Perbedaan penanganan SLB vs. sekolah reguler menurutnya mencolok, tambah dr. Siti. 

Di SLB, anak ABK menghadapi tantangan akses teknologi lebih besar, penanganan menekankanadaptasi konten interaktif, dukungan personal, modifikasi tools seperti app visual/audio ramah autis atau disabilitas intelektual. Kemudian juga melibatkan multidisipliner: guru spesialis, terapis, psikolog – agar manfaat maksimal.

Di sekolah reguler, siswa lebih mudah beradaptasi tanpa modifikasi besar; fokus literasi digital, pantau screen time, cegah kecanduan atau gangguan psikososial. "SLB butuh pendekatan intensif, tapi hasilnya lebih holistik," tegasnya, berdasarkan pengalaman pasien dari berbagai sekolah.

Tools digital bisa menyehatkan mental jika bijak, lanjut dr. Siti. Aplikasi kesehatan mental, platform konseling online, program edukasi virtual efektif turunkan kecemasan, depresi, tingkatkan regulasi emosi dan kemampuan sosial. 

Tapi menurutnya, risiko itu ada, penggunaan berlebih bisa memicukecanduan, gangguan tidur, isolasi; paparan cyberbullying, info overload, ekspektasi sosial picu stres, turunkan percaya diri.

Di tengah meningkatnya penggunaan gawai oleh anak-anak, dr. Siti memberikan sejumlah rekomendasi konkret bagi orang tua dan guru untuk menciptakan ruang digital yang aman dan sehat bagi anak. 

Ia menekankan pentingnya membatasi waktu layar sesuai usia: anak di bawah 18 bulan sebaiknya tidak terpapar layar sama sekali kecuali untuk video call dengan keluarga; anak usia 18–24 bulan maksimal 1 jam per hari dengan pendampingan; usia 2–5 tahun diperbolehkan 1 jam untuk konten non-edukatif; usia 6–12 tahun dibatasi 1–2 jam di luar waktu belajar; dan usia 13–18 tahun sebaiknya tidak lebih dari 3 jam untuk konten non-edukatif. 

Orang tua juga dianjurkan membuat "family media plan" yang mengatur waktu, durasi, dan kondisi penggunaan gawai, seperti tidak menggunakan gawai saat makan dan menyediakan waktu bebas layar satu jam sebelum tidur. 

Konten edukatif seperti PBS Kids dan Khan Academy Kids lebih diprioritaskan, dengan pendampingan diskusi reflektif tentang nilai-nilai positif. 

Selain itu, orang tua perlu memantau pola tidur anak (idealnya 8–10 jam per malam) dan aktivitas fisik (minimal 1 jam per hari), serta menjadi teladan dengan tidak terus-menerus memegang HP di depan anak.

Untuk para guru, dr. Siti menyarankan agar teknologi digunakan secara aktif dan kreatif, bukan pasif. 

Ia mendorong guru untuk mengajak anak membuat proyek digital, bukan sekadar mengonsumsi konten seperti TikTok. 

Literasi dan etika digital juga perlu diajarkan, termasuk komunikasi yang sopan, menghormati privasi, dan menghindari perundungan online. 

Kegiatan luar ruang atau "green time" penting untuk menyeimbangkan waktu layar. Kolaborasi antara guru, konselor, dan orang tua melalui sesi edukasi tentang digital well-being, keamanan siber, dan kebersihan layar (screen hygiene) menjadi langkah strategis dalam membangun ruang digital yang sehat. 

“Mulai dari sekarang, biar anak tak jadi korban besok,” pesan dr. Siti.

Cerita dr. Siti selaras dengan data nasional yang menunjukkan betapa mendesaknya perlindungan anak di ruang digital. 

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sebanyak 39,71 persen anak usia dini sudah memegang ponsel, dan 35,57 persen telah mengakses internet. 

Paparan teknologi sejak usia sangat muda ini sering terjadi tanpa pendampingan, sehingga anak-anak rentan terhadap konten kekerasan, pornografi, hoaks, cyberbullying, dan pelecehan. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 41 kasus anak menjadi korban pornografi dan kejahatan siber sepanjang 2024, yang mencakup 2 persen dari total pengaduan dalam Klaster Perlindungan Khusus. Cyberbullying bahkan menempati peringkat ketiga dalam jenis pelanggaran yang paling banyak dilaporkan.

Kondisi ini juga dirasakan langsung oleh para guru. Seorang guru di sekolah reguler mengungkapkan bahwa murid-muridnya sering melakukan scroll tanpa batas, namun sekolah tidak memiliki alat atau sistem untuk mengawasi aktivitas digital mereka. 

“Akhirnya, yang marah justru mereka sendiri saat konten tak sesuai usia,” keluhnya. Ketimpangan akses juga dialami oleh anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Menurut data UNICEF dan Kemendikbud, hanya 30–40 persen ABK yang terhubung ke internet, dibandingkan dengan 50 persen anak non-difabel. 

Hal ini menciptakan isolasi digital yang berdampak pada pembelajaran daring dan akses hiburan.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, Telkom meluncurkan program AND (Application, Network, Device) pada September 2025 yang menjangkau 71 Sekolah Luar Biasa (SLB). Program ini menghadirkan Pijar Sekolah, sebuah LMS interaktif yang selaras dengan Kurikulum Merdeka, jaringan Wi-Fi yang stabil, dan perangkat komputer adaptif. 

Pijar Sekolah membantu mengurangi penggunaan kertas, menyesuaikan materi untuk ABK, dan menyediakan analisis pembelajaran secara real-time, memperkuat model hybrid seperti yang diterapkan di YPAC.

Dari sisi regulasi, pemerintah juga bergerak cepat. Peraturan Pemerintah TUNAS yang diresmikan oleh Presiden Prabowo pada 28 Maret 2025 mewajibkan platform digital untuk mengklasifikasikan risiko konten berbahaya, menetapkan akun dengan usia yang jelas, dan memperkuat pengawasan orang tua. Regulasi ini diberi masa transisi dua tahun dan disertai sanksi tegas bagi pelanggar. 

“Teknologi menjanjikan kemajuan, tapi tanpa pengawasan, bisa merusak akhlak anak,” tegas Prabowo. 

Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menambahkan bahwa ruang digital harus mendukung tumbuh kembang anak, bukan menjadi sumber bahaya.

Upaya perlindungan juga datang dari sektor swasta. Dalam rangka memperingati Hari Keamanan Berinternet 2025, Google bersama Kementerian Komunikasi dan Digital meluncurkan berbagai fitur keamanan. 

Di antaranya, AI aman sebagai pengaturan default, Play Protect yang berhasil memblokir 13 juta aplikasi berbahaya sepanjang 2024, dan Enhanced Fraud yang melindungi 10 juta perangkat dari penipuan digital. 

Fitur Family Link membantu orang tua mengatur waktu layar anak, sementara SafeSearch diaktifkan secara otomatis untuk pengguna di bawah 18 tahun. Putri Alam, Direktur Google Indonesia, menyatakan, “Keamanan butuh upaya bersama – pemerintah, industri, dan komunitas.”

Untuk anak dan keluarga, Google perkuat perlindungan usia-spesifik: SafeSearch aktif otomatis untuk pengguna di bawah 18 tahun, blokir konten dewasa di pencarian, batasi video terbatas usia di YouTube dan Google Play, serta fitur kesejahteraan remaja. Tahun ini, Google uji model estimasi usia berbasis AI di AS untuk proteksi tepat – akan diperluas ke Indonesia. Google Play Protect yang memindai 200 miliar aplikasi per hari berhasil identifikasi 13 juta aplikasi berbahaya sepanjang 2024; Enhanced Fraud Protection blokir 36 juta instalasi berisiko dan lindungi 10 juta perangkat – kini hadir di Indonesia bersama Komdigi.

Inisiatif lain seperti #KeluargaCerdasBerinternet, dirayakan saat Hari Keluarga Nasional, mengajak keluarga menetapkan batasan teknologi bersama pakar seperti Saskhya Aulia Prima dari @tigagenerasi. 

(*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.