Sekitar 15 persen pasien yang sakit parah melaporkan pernah mengalami pengalaman mendekati kematian atau near-death experience (NDE). Pada kondisi ini, mungkin orang tersebut mengalami sensasi luar biasa, seperti keluar dari tubuh, pertemuan dengan orang terkasih yang telah meninggal, penglihatan cahaya terang, tinjauan singkat tentang tonggak-tonggak kehidupan mereka, atau rasa damai yang mendalam.
Untuk mengetahui bagaimana orang menghadapi NDE, para peneliti di University of Virginia mensurvei 167 orang yang mengaku pernah mengalaminya. Satu mekanisme koping utama menonjol di antara yang lain, hampir 70 persen melaporkan perubahan keyakinan dan spiritual mereka dan ketakutan mereka akan kematian setelah mengalami NDE.
"NDE saya cukup besar. Saya tahu, saya tidak akan pernah menjadi orang yang sama lagi, jadi refleksi dan kerja batin yang berkelanjutan dibutuhkan setiap hari," tulis salah satu peserta, dikutip dari .
Peserta lainnya memanfaatkan kejadian NDE untuk mengevaluasi kembali hubungan pribadi mereka. Lebih dari 20 persen melaporkan perceraian atau putus cinta, dan bahkan lebih banyak lagi yang menghadapi tantangan atau keretakan hubungan.
Keterasingan dan kesepian juga merupakan hal yang berulang terjadi pada orang yang pernah mengalami NDE.
Seorang peserta survei menyebut NDE mereka sebagai 'pedang bermata dua'. Itu adalah pengalaman yang sangat transformatif yang mereka simpan sendiri karena takut dihakimi.
Para peneliti mengatakan 64 persen peserta menghubungi profesional kesehatan mental, penasihat spiritual, atau komunitas daring. Sekitar 78 persen orang yang mengalami NDE merasa dukungan-dukungan tersebut sangat bermanfaat.
"Semakin intens NDE, maka semakin besar kemungkinan pasien mencari bantuan," tulis para ahli.
Masalahnya adalah banyak yang kesulitan menemukan dukungan yang sesuai. Sebuah gereja mengatakan banyak orang yang mendiskusikan pengalaman mereka saat mendapatkan bantuan.
"Setelah beberapa kali mencoba, sejujurnya saya tidak ada yang cukup mampu untuk mengatasinya. Semua tanggapannya standar dan tidak menginspirasi, sangat mengecewakan," tulis seorang peserta.
"Pengalaman saya menunjukkan bahwa orang-orang di sekitar saya tidak memahami betapa beratnya apa yang saya alami. Jadi, saya pikir orang lain juga tidak akan peduli," tulis peserta lainnya.
Lewat penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Psychology of Consciousness: Theory, Research, and Practice, para peneliti UVA berharap ini dapat membuka jalan bagi perawatan yang lebih baik bagi orang yang mengalami NDE.
"Penelitian tentang cara mendukung pasien-pasien ini dan kebutuhan spesifik mereka masih terbatas," kata Marieta Pehlivanova dari Departemen Psikiatri dan Ilmu Neurobehavioral UVA Health.
"Kami berharap dapat mulai mengatasi kesenjangan ini dan menginspirasi peneliti lain, terutama para klinisi, untuk mendedikasikan waktu dan perhatian dalam meneliti pertanyaan-pertanyaan ini," pungkasnya.