Gelombang suhu tinggi dikabarkan melanda beberapa wilayah di Indonesia. Tak hanya gerah, suhu panas juga bisa memicu emosi masyarakat.
Menurut laporan BMKG, suhu tertinggi tercatat sebesar 36,8°C di Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Kupang (NTT), dan Majalengka (Jawa Barat) pada 12 Oktober 2025. Kemudian, suhu menurun menjadi 36,6°C di Sabu Barat (NTT) pada 13 Oktober 2025.
Di Kota Surabaya, suhu tercatat mencapai 37°C. Kondisi ini dianggap bisa meningkatkan stres serta menurunkan produktivitas.
Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Marini, S Psi, M Psi, menjelaskan jika suhu udara yang tinggi memiliki korelasi dengan peningkatan stres dan agresivitas.
"Banyak penelitian menunjukkan bahwa ketika suhu udara naik, tingkat agresivitas manusia ikut meningkat. Di jalan raya orang lebih cepat membunyikan klakson, di rumah percakapan kecil bisa berubah jadi perdebatan, dan di tempat kerja suasana cepat memanas bukan karena masalah besar, tapi karena tubuh dan pikiran sedang lelah menghadapi tekanan cuaca yang tak terlihat," jelas Marini dalam laman UM Surabaya, Kamis (16/10/2025).
Menurutnya, panas ekstrem dapat membuat energi manusia terbagi dua: sebagian untuk berpikir dan sebagian lagi untuk bertahan dari suhu tinggi. Akibatnya, produktivitas menurun, kesabaran menipis, dan toleransi berkurang.
"Otak bekerja lebih lambat karena sibuk mengatur suhu tubuh, bukan mengolah emosi. Maka jangan heran kalau pada hari-hari panas, banyak orang merasa 'tidak seperti dirinya sendiri'," imbuhnya.
Kualitas Tidur Berkurang
Marini juga menyoroti dampak cuaca panas pada kualitas tidur malam hari. Tidur yang seharusnya menjadi waktu pemulihan justru terganggu karena tubuh berkeringat dan otak tetap aktif.
"Tidur yang dangkal membuat seseorang lebih mudah marah, cemas, dan kehilangan motivasi keesokan harinya," ujarnya.
Sarankan Masyarakat untuk Menenangkan Diri
Dalam perspektif psikologi, kemampuan seseorang untuk beradaptasi terhadap tekanan lingkungan dikenal dengan istilah coping. Marini menekankan jika coping dalam situasi panas ekstrem bukan hanya kemampuan teknis, tetapi juga latihan kesadaran diri.
"Kita tidak bisa mengendalikan suhu udara, tetapi kita bisa mengendalikan cara kita meresponsnya," katanya.
Ia menyarankan masyarakat untuk menenangkan diri dengan langkah-langkah sederhana seperti memperbanyak istirahat, membatasi paparan panas, menjaga pola makan, dan memberi waktu untuk diam.
"Kadang, diam sebentar di bawah kipas sambil menarik napas panjang jauh lebih menyembuhkan daripada terus berlari di tengah panas dunia yang riuh," tutur Marini.