Ringkasan Berita:
- Pemilu 2024 mengejutkan, pemilih datang ke TPS karena uang, bukan karena kesadaran politik.
- Kemiskinan jadi alasan pemilih memilih, bukan visi atau gagasan politik.
- Pemilu 2024 diwarnai transaksi suara, bukan partisipasi yang berdaya.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyampaikan kekhawatiran terhadap kualitas partisipasi pemilih dalam Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Dalam forum peluncuran Indeks Prestasi Pilkada (IPP) 2024 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, Sabtu (18/10/2025), Dirjen Polpum Kemendagri Bahtiar Baharuddin menyoroti dominasi politik uang dalam perilaku pemilih.
“Lebih dari 70 persen, bahkan ada yang menyebut 80 persen. Politik uang itu luar biasa. Artinya, orang datang ke TPS bukan karena kesadaran politik, tetapi karena politik uang,” ujar Bahtiar.
Pernyataan ini disampaikan dalam forum resmi yang dihadiri oleh penyelenggara pemilu, pengawas, dan pemangku kepentingan demokrasi.
Menurut Bahtiar, fenomena ini tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Ia mengutip data World Bank yang menyebut 194,7 juta penduduk Indonesia masih berada dalam kategori miskin.
“Jadi Anda bisa berharap apa kepada warga yang menurut World Bank masih miskin?” katanya.
KPU RI merilis IPP 2024 sebagai alat ukur kualitas partisipasi pemilih.
Komisioner KPU RI August Mellaz menjelaskan bahwa pemilih dibagi dalam tiga kategori: involvement, engagement, dan participatory.
Empat provinsi tercatat paling partisipatif: Jawa Timur (80,87), Jawa Tengah (79,10), Sulawesi Utara (79,05), dan Sulawesi Selatan (78,27).
Sebanyak 31 provinsi berada dalam kategori engagement, sementara sisanya masih di level involvement.
“IPP ini menjadi media dokumentasi pembelajaran dalam pendidikan pemilih berkelanjutan,” ujar Mellaz.
Ketua DKPP RI Heddy Lugito menyebut politik uang sebagai “penyakit laten” demokrasi Indonesia.
Ia mengutip survei LSI yang menunjukkan 22,7 persen responden pernah ditawari uang atau barang untuk memilih calon kepala daerah.
“Sebagian masyarakat bahkan tidak lagi menganggap politik uang sebagai hal tabu,” ujarnya dalam webinar Universitas Airlangga.
Peneliti Perludem Haykal Kamil juga menyoroti lemahnya pengawasan dan pendidikan politik.
“Praktik politik uang masih marak karena pengawasan tidak ketat dan pendidikan pemilih belum menyentuh akar persoalan,” katanya dalam dialog pasca PSU Pilkada 2024.
Kemendagri berharap IPP dapat menjadi dasar evaluasi menyeluruh terhadap kualitas demokrasi lokal.
KPU menegaskan komitmennya untuk meningkatkan partisipasi substantif melalui edukasi pemilih dan inovasi kampanye.
Jika partisipasi pemilih masih digerakkan oleh uang, maka pekerjaan rumah demokrasi Indonesia belum selesai.
Demokrasi bukan hanya soal hadir di TPS, tetapi soal kesadaran, integritas, dan keberdayaan warga dalam menentukan masa depan politiknya.