Karakter, Cara dan Hasil
Hari Widodo October 20, 2025 07:31 AM

Oleh: Mujiburrahman Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID- MINGGU lalu, paling tidak ada dua kasus penting di dunia pendidikan. Pertama, kepala sekolah SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, menegur siswanya yang merokok. Si siswa tidak mengaku sehingga kepala sekolah marah dan memukulnya. Tak terima anaknya dipukul, orangtua si siswa melaporkan kasus ini ke polisi. Setelah itu, siswa-siswa lain kompak mogok tak masuk sekolah selama dua hari. Pemda Banten memutuskan untuk menonaktifkan sang kepala sekolah. Namun, setelah ramai protes masyarakat di media sosial, semua pihak berdamai, dan kepala sekolah kembali diaktifkan.

Kasus kedua adalah tayangan Xpose di saluran televisi Trans7, tentang hubungan kiai dan santri. Tayangan itu dinilai banyak pihak, terutama oleh alumni Pesantren Lirboyo, sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap kiai dan tradisi pesantren. Narasi tayangan itu menyebutkan bahwa kiai memperbudak santrinya dan memperkaya diri dengan menerima pemberian dari santri-santrinya. Narasi itu diucapkan dengan nada sinis, mengiringi rekaman video santri-santri berjongkok menerima segelas susu, bekerja bakti, hingga kiai menerima amplop dan keluar dari mobil mewah.

Tugas utama pendidikan adalah membekali peserta didik dengan ilmu, keterampilan, dan karakter. Dua kasus di atas jelas menyangkut karakter. Yang menarik adalah, dalam kasus pertama, para siswa justru kompak melawan gurunya, bahkan wali siswa melaporkan gurunya ke polisi. Sedangkan dalam kasus kedua, yang ribut protes adalah orang luar, bukan para santri, bukan pula para orangtua santri. Kasus pertama selesai dengan damai setelah warganet ramai-ramai membela sang kepala sekolah. Kasus kedua masih dalam proses antara pihak Trans7, alumni Pesantren Lirboyo, dan PBNU.

Dalam pendidikan karakter, akhlak atau budi pekerti, yang perlu kita renungkan adalah tujuan dan cara. Apa tujuan yang ingin dicapai? Tujuan ini harus dipahami dan dihayati oleh pendidik dan peserta didik. Untuk itu, perlu pengetahuan tentang apa yang baik dan buruk, dan mengapa. Pengetahuan ini akan membangkitkan kesadaran. Kesadaran menjadi dasar bagi tindakan. Tindakan yang berulang-ulang akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan akan membentuk budi pekerti atau karakter kita. Jika kita sudah terbiasa jujur, maka kita akan menjadi orang yang jujur.

Barangkali, dalam dua kasus di atas, perbedaan tidak muncul mengenai tujuan, tetapi cara. Tujuan guru yang menegur dan kemudian memukul, adalah mendidik agar tidak bohong dan tidak merokok. Saya kira, guru, siswa dan orangtua sepakat soal tujuan ini. Yang ditolak si orangtua dan siswa adalah cara guru mendidik dengan memukul. Dalam kasus kedua, orangtua dan santri dapat menerima tujuan dan cara yang diterapkan pesantren perihal adab pada guru. Namun, pihak luar yang membuat dan/atau melihat tayangan itu justru menolak cara pesantren tersebut.

Secara teoritis, tidak ada cara, metode, atau jalan, yang bersifat mutlak atau absolut. Kita dapat memilih satu atau lebih cara jika terbukti efektif dan paling berhasil untuk mencapai tujuan. Karena itu, cara dapat berubah-ubah, tergantung kondisi di lapangan, dan perubahan sosial budaya masyarakat. Ada masa ketika pukul-memukul oleh guru dapat diterima dengan lapang dada oleh siswa dan orangtua sebagai cara mendidik yang efektif dan wajar. Ada juga masa ketika hal itu sudah dianggap tidak wajar, bahkan dinilai sebagai tindak kekerasan dan melanggar HAM.

Adapun dalam kasus pesantren di atas, masalahnya serupa tapi tak sama. Pendidikan pesantren, terutama yang tradisional dan sangat tua, memiliki tradisi pendidikan yang khas dan dipertahankan dari generasi ke generasi. Berbeda dengan sekolah, pesantren memiliki ‘subkultur’ sendiri yang berbeda dengan budaya di luar lingkungannya. Karena itu, santri yang masuk pesantren dan orangtuanya harus siap mental menerima tujuan dan cara yang diterapkan di sana. Sebaliknya, orang luar yang tak pernah mengalaminya, bisa saja melihatnya secara lain bahkan menolaknya.

Dengan demikian, dua kasus di dunia pendidikan tadi dapat menjadi bahan evaluasi, apakah kita sudah sepakat tentang tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan akhlak atau karakter ini? Jika sudah, maka kita pun harus pula memikirkan cara apa saja yang dianggap efektif dan wajar dalam tata pergaulan manusia masa kini? Salah satu cara evaluasi terbaik adalah dengan melihat hasilnya. Mana yang lebih berhasil, dengan cara dipukul atau ditegur saja? Dengan adab hirarkis kiyai-santri atau gaya berteman setara antara guru dan siswa? Mungkin kita perlu meneliti secara empiris.

Namun, jika kita melihat perilaku bangsa kita saat ini, maka tampak bahwa kita tengah mengalami krisis karakter yang serius. Korupsi merajalela, politik uang sudah biasa, mafia hukum pun berjaya. Belum lagi kasus kekerasan pada anak, perempuan, dan orang kecil. Tipu menipu dan saling sikut, bukan hanya di kalangan atas, tetapi juga di masyarakat bawah. Kesenjangan ekonomi makin lebar antara mayoritas rakyat miskin dan sekelompok kecil orang superkaya. Demokrasi kita cenderung hanya menguntungkan politisi, birokrasi, orang kaya, dan elit masyarakat belaka.

Tentu tak adil rasanya jika kita menuduh semua kerusakan di atas semata-mata akibat kegagalan lembaga-lembaga pendidikan. Di sisi lain, kemana lagi kita menaruh harapan kalau bukan pada dunia pendidikan? Entah sekolah atau pesantren, pendidikan dasar-menengah atau perguruan tinggi, semua harus mengevaluasi diri. Seberapa serius kita mendidik karakter? Apakah cara dan metode yang kita jalankan selama ini sudah efektif ataukah belum? Bagi kita yang berprofesi sebagai guru, dosen, ustadz/ kiai, apakah kita hanya sekadar bekerja atau betul-betul menjadi pendidik?

Ini jelas masalah serius. Orang bijak mengatakan bahwa ketika akhlak sudah rusak, semuanya akan rusak. Akhlakmu adalah nasibmu. Your character is your destiny! (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.