TRIBUNNEWS.COM - SN (5), seorang bocah di Lampung Selatan, Provinsi Lampung dirantai orangtua. Ini dilakukan karena orangtua pergi bekerja.
Upaya itu agar anak tidak keluar rumah saat orangtua beraktivitas di luar. Rantai dipaku kuat ke tiang kayu di dalam rumah, menyebabkan luka dan trauma pada anak.
Orangtua yang melakukan itu adalah Emi (32) ibunya dan Teguh (35) ayah tiri.
SN dirantai di rumah yang berada di Desa Karya Tani Register 45, Kecamatan Mesuji Timur, Lampung Selatan, Lampung.
SN dirantai ke tiang kayu di dalam rumah setiap kali orangtua pergi bekerja sejak pukul 04.00 WIB hingga malam hari.
Mereka membawa anak bungsu yang masih berusia dua tahun ke luar rumah. Sedangkan, SN ditinggalkan seorang diri.
Orangtua itu hanya memberikan segelas kopi tanpa makanan. Hal ini terungkap waktu warga sekitar melakukan penggerebekan. Pada saat ditemukan, kaki SN terikat rantai yang dipaku kuta ke tiang kayu.
Warga yang curiga karena tangisan SN mendobrak pintu rumah dan menemukan SN dalam kondisi mengenaskan. Rantai dilepaskan dengan palu, SN langsung menangis dan dipeluk warga. SN menangis karena lapar dan ketakutan, terdengar oleh warga sekitar.
Lingkungan rumah tidak layak huni, lantai tanah dan dinding kayu lapuk
Warga sekitar beberapa kali mendengar tangisannya, namun tidak menyangka kondisinya seburuk itu.
“Kasihan sekali, hampir tiap hari kami dengar tangisannya dari dalam rumah. Ternyata dia dikurung dan dirantai,” ujar salah seorang warga yang enggan disebut namanya.
Kejadian itu bermula saat tangisan SN yang terus terdengar tanpa henti membuat warga akhirnya curiga.
Beberapa orang kemudian memutuskan untuk mendatangi rumah tersebut. Setelah mengetuk berkali-kali namun tidak ada jawaban, warga akhirnya mendobrak pintu rumah.
Begitu terbuka, mereka dibuat terkejut dan marah menemukan SN duduk di lantai dengan kaki kanan terjerat rantai yang menempel kuat pada tiang kayu.
Bocah itu tampak lemas, ketakutan, dan menangis sesenggukan.
Rantai yang melilit kakinya bahkan meninggalkan bekas luka dan memar di kulit.
“Dia cuma bisa bilang ‘tolong’ pelan-pelan, wajahnya ketakutan sekali,” kata warga lain dengan nada gemetar.
Warga kemudian berusaha menolong SN dengan segala cara. Proses pelepasan rantai tidak mudah karena rantai tersebut dipaku kuat ke tiang kayu. Salah seorang warga mengambil palu dan menghantam paku itu berulang kali hingga akhirnya rantai terlepas.
Saat rantai berhasil dilepaskan, tangis SN pecah. Ia langsung dipeluk warga yang menenangkannya. Tubuhnya tampak lemah, jalannya pincang, dan wajahnya pucat karena lama tidak makan.
Setelah berhasil dievakuasi, SN dibawa keluar rumah dalam kondisi lemas. Warga kemudian memberinya makanan dan air sebelum akhirnya menghubungi pihak berwenang untuk melaporkan kejadian tersebut.
Menurut warga, SN memang sering terlihat sendirian di rumah dalam kondisi kotor dan kurus. Lingkungan rumahnya juga tampak tidak layak huni, dengan lantai tanah dan dinding kayu yang sudah lapuk.
Beberapa warga mengaku sudah lama curiga karena tangisan SN sering terdengar setiap kali kedua orang tuanya pergi bekerja.
Tak lama setelah laporan diterima, pihak kepolisian mendatangi lokasi kejadian.
Petugas langsung mengamankan tempat kejadian perkara (TKP) dan membawa SN ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan medis.
SN kini menjalani pemeriksaan kesehatan dan pendampingan psikologis, sementara Emi dan Teguh diamankan oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangan.
Polisi menduga kasus ini mengandung unsur kekerasan fisik dan penelantaran anak.
Orangtuanya telah diamankan oleh polisi dan diperiksa atas dugaan kekerasan fisik dan penelantaran anak.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena mengandung unsur tragedi, kejanggalan, dan pelanggaran hak anak.
Penelantaran anak adalah tindakan mengabaikan atau tidak memenuhi kebutuhan dasar anak secara wajar, baik secara fisik, emosional, sosial, maupun spiritual, sehingga mengancam tumbuh kembang dan kesejahteraannya.
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa penelantaran anak adalah bentuk pelanggaran terhadap hak anak yang dilindungi oleh negara.
Dalam Pasal 59 UU tersebut, disebutkan bahwa anak yang terlantar berhak mendapatkan perlindungan khusus dari pemerintah dan lembaga negara.
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak juga menegaskan bahwa anak berhak atas perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarga maupun lembaga asuhan.
Orangtua atau wali yang menelantarkan anak dapat dikenai hukuman pidana sesuai dengan ketentuan dalam UU Perlindungan Anak. Penelantaran termasuk dalam kategori kekerasan terhadap anak, terutama jika menyebabkan luka fisik atau gangguan psikologis.