Tetapi pada intinya pemberian amnesti pada Hasto dan narapidana lainnya serta abolisi kepada Tom Lembong bertujuan untuk mencapai rekonsiliasi nasional
Jakarta (ANTARA) - "Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM)," begitu bunyi poin pertama dalam delapan misi Astacita Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dilihat dari penempatannya sebagai poin pertama dari delapan misi Astacita, pengutamaan HAM dalam segala aspek, termasuk pada penegakan hukum, menjadi prioritas utama pemerintahan mereka.
Sepanjang tahun pertama masa pemerintahan Prabowo-Gibran, komitmen untuk menjunjung tinggi HAM dalam penegakan hukum mulai diwujudkan melalui sejumlah kebijakan signifikan.
Salah satu langkah yang paling menonjol terjadi sebulan setelah pelantikan, yaitu rencana pemindahan terpidana mati kasus narkotika, Mary Jane Veloso, ke negara asalnya, Filipina, melalui kebijakan pemindahan narapidana (transfer of prisoner).
Kebijakan ini sempat menuai pro dan kontra karena Indonesia belum memiliki kerangka hukum yang komprehensif mengenai mekanisme pemindahan napi.
Meskipun demikian, pemindahan Mary Jane tetap dilaksanakan dengan mengutamakan aspek kemanusiaan, di mana keputusan tersebut memungkinkan terpidana itu lebih sering bertemu keluarga dan mempermudah proses penyelesaian kasus dugaan perdagangan orang (TPPO) yang dialaminya di Filipina.
Pemulangan itu, yang dinilai oleh aktivis HAM sebagai korban TPPO, pun mendapat sorotan positif dari komunitas internasional, yang memang telah lama mendorong adanya pemindahan Mary Jane dari Indonesia.
Tak berhenti sampai Mary Jane, langkah pemindahan narapidana pun dilanjutkan untuk kasus lain, termasuk pada kasus Serge Areski Atlaoui yang telah dipindahkan ke Prancis dan lima anggota Bali Nine yang dikembalikan ke Australia.
Pemindahan Atlaoui mempertimbangkan penyakit kanker yang dideritanya, sedangkan pemindahan lima anggota Bali Nine berdasarkan asas kemanusiaan atas beratnya hukuman yang diterima.
Namun, pemindahan para napi warga negara asing (WNA) tersebut bukan tanpa syarat. Sebagai bagian dari kesepakatan pemindahan, terdapat poin penangkalan bagi narapidana kasus narkotika untuk kembali masuk ke Indonesia seumur hidup.
Di sisi lain meski mengutamakan HAM, guna memberikan landasan hukum yang kuat dan memastikan kepastian hukum, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat agar RUU tersebut masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas untuk dibahas pada tahun 2026.
Penghapusan hukuman mati
Mengingat narapidana WNA yang dipindahkan pemerintah RI belakangan mayoritas merupakan terpidana mati, kebijakan transfer of prisoner diinterpretasikan sebagai langkah awal Pemerintahan untuk secara bertahap menghapus hukuman mati.
Pandangan ini selaras dengan pernyataan Presiden Prabowo saat diwawancara oleh jurnalis senior pada awal April 2025, yang menegaskan ketidaksetujuannya terhadap hukuman mati karena tidak memberikan ruang koreksi atas kemungkinan kesalahan dalam proses hukum.
"Hukuman mati itu final dan kita tidak bisa hidupkan dia kembali. Meski kita yakin dia 99,9 persen bersalah, mungkin saja ada satu masalah ternyata dia korban atau di-frame," kata Prabowo.
Secara global, hukuman mati dianggap sebagai hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan melanggar martabat manusia, sehingga penghapusannya selaras dengan prinsip-prinsip HAM internasional.
Sejak tahun 1971, penghapusan hukuman mati telah menjadi tujuan yang diupayakan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan menghapus hukuman mati, suatu negara dapat menunjukkan komitmennya terhadap tujuan global tersebut.
Saat ini, Indonesia masih memberlakukan pidana mati, berbeda dengan banyak negara lain. Indonesia berargumen bahwa pidana mati dipertahankan untuk melindungi keamanan dan kepentingan publik, serta untuk menghormati hak asasi dan keadilan bagi korban tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Amnesty International Indonesia mencatat pada tahun 2024, setidaknya sebanyak 85 orang divonis hukuman mati dari 75 kasus, yang mayoritas terkait narkotika (64 terdakwa) dan sisanya kasus pembunuhan (21 terdakwa).
Meskipun demikian, Indonesia telah menahan diri untuk tidak melakukan eksekusi sejak tahun 2016. Eksekusi mati terakhir dilakukan terhadap empat terpidana kasus pengedaran narkotika, Freddy Budiman, Michael Titus Igweh dan Humprey Ejike (Nigeria), serta Gajetan Acena Seck Osmane (Afrika Selatan).
Selain itu, langkah nyata menuju penghapusan parsial pidana mati tercermin dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, yang akan diterapkan pada 2 Januari 2026.
KUHP baru tersebut menetapkan hukuman mati sebagai pidana alternatif, yang dapat diubah menjadi hukuman seumur hidup setelah terpidana menunjukkan perilaku baik selama masa percobaan 10 tahun dan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Pengampunan
Aspek penegakan HAM dalam satu tahun pemerintahan Prabowo juga terlihat dari kebijakan pengampunan, baik melalui amnesti maupun abolisi. Pada awal tahun 2025, Pemerintah merencanakan pemberian amnesti terhadap 44 ribu narapidana yang memenuhi syarat, khususnya dari kategori pidana, yang mengutamakan aspek HAM.
Amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada seseorang atau kelompok yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Pengampunan yang diberikan presiden itu dapat digunakan sebagai alat untuk mengakhiri konflik dan membangun perdamaian, yang pada akhirnya melindungi hak untuk hidup dan kebebasan.
Dalam kasus tahanan politik yang diproses melalui peradilan tidak adil, amnesti berfungsi untuk memulihkan hak mereka yang dilanggar. Setelah beberapa kali tahapan verifikasi dilakukan, ditetapkan terdapat 1.178 napi yang mendapat amnesti dari Prabowo.
Yang mengejutkan publik, nama Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hasto Kristiyanto rupanya menjadi salah satu yang termasuk di dalamnya. Hasto divonis penjara selama 3 tahun dan 6 bulan serta denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan setelah terbukti memberikan suap dalam kasus dugaan perintangan penyidikan perkara korupsi tersangka Harun Masiku dan pemberian suap.
Tak hanya pemberian amnesti, abolisi pun turut diberikan Presiden kepada Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Tom Lembong setelah divonis pidana 4 tahun dan 6 bulan penjara serta denda sebesar Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Lembong terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp194,72 miliar.
Adapun abolisi merupakan hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan tuntutan pidana dan menghentikan proses hukum jika telah dijalankan. Hak abolisi diberikan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Abolisi dapat digunakan untuk menghentikan proses hukum yang berpotensi melanggar HAM, misalnya kasus yang bermotif politik atau ditujukan untuk menyingkirkan lawan politik.
Dalam pertimbangan Presiden, disebutkan pemberian amnesti pada Hasto memperhatikan agar penegakan hukum bebas dari motif politik, sementara abolisi kepada Lembong merupakan langkah koreksi Presiden terhadap proses penegakan hukum yang sedang berjalan. Apalagi dalam kasus Lembong, unsur kesalahan tidak terpenuhi dan tidak ada niat jahat (mens rea).
Tetapi pada intinya pemberian amnesti pada Hasto dan narapidana lainnya serta abolisi kepada Tom Lembong bertujuan untuk mencapai rekonsiliasi nasional.
Demonstrasi
Terbaru, Polda Metro Jaya menetapkan empat aktivis sebagai tersangka setelah aksi unjuk rasa yang berujung ricuh di Jakarta pada Agustus 2025. Mereka adalah Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, staf Lokataru Muzaffar Salim, admin Gejayan Memanggil Syahdan Husein, dan admin Aliansi Mahasiswa Penggugat Khariq Anhar.
Keempatnya dituding terlibat dalam dugaan penghasutan aksi anarkis selama unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR pada 25 Agustus 2025. Para aktivis ini diduga menggunakan media sosial (medsos) untuk menyebarkan ajakan demonstrasi yang berpotensi menimbulkan kerusuhan.
Meskipun demikian, pemerintah tidak tinggal diam menyikapi status hukum keempat aktivis tersebut. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra bahkan menjenguk mereka di tahanan.
Kunjungan ini bertujuan memastikan hak asasi para tahanan, mulai dari kebutuhan dasar hingga pendampingan kuasa hukum, tetap terpenuhi, sehingga mendapat afirmasi positif dari berbagai pihak.
Pemerintah juga menegaskan tidak akan ada intervensi terhadap proses hukum keempatnya di pengadilan, termasuk dalam proses praperadilan yang sedang berjalan. Oleh karena itu, Delpedro dan tersangka lainnya diminta untuk fokus pada substansi gugatan praperadilan, yang merupakan salah satu bagian dari hak asasi mereka sebagai tersangka.
Dalam gugatan praperadilan, Delpedro dan rekan-rekan meminta agar penetapan tersangka terhadap mereka dinyatakan tidak sah dan tidak beralasan menurut hukum.
Sementara itu terkait dengan demonstrasi yang berujung rusuh pada Agustus lalu, Presiden menyambut baik inisiatif enam Lembaga Negara (LN) yang bergerak di bidang HAM untuk membentuk tim penyelidik non-yudisial independen.
Adapun enam LN HAM yang membentuk tim tersebut, yakni Komisi Nasional (Komnas) HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Disabilitas (KND), Ombudsman, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Tim yang dibentuk oleh enam LN HAM tersebut dinilai memiliki kedudukan dan independensi yang lebih kuat dibandingkan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) dan pada akhirnya bertanggung jawab kepada presiden.
Pasalnya melalui tim independen, penyelidikan terhadap demonstrasi berujung ricuh tersebut akan lebih netral dan tidak memikirkan kepentingan pihak tertentu saja, melainkan kepentingan masyarakat.
Adapun Komnas HAM bersama LN HAM lainnya menargetkan penyelidikan kasus kerusuhan yang terjadi pada demonstrasi itu dapat rampung pada awal Desember mendatang.
Secara keseluruhan, dalam satu tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, komitmen untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam penegakan hukum telah diwujudkan melalui berbagai kebijakan yang humanis dan progresif.
Dari kebijakan pemindahan narapidana yang mengutamakan aspek kemanusiaan, langkah menuju penghapusan hukuman mati, hingga perlindungan hak-hak tersangka demonstran, pemerintahan menunjukkan upaya nyata untuk memperkokoh prinsip HAM sebagai pondasi penegakan hukum di Indonesia.
Meski masih menghadapi tantangan dan kritik, arah kebijakan ini membuka peluang bagi sistem hukum yang lebih adil dan berkeadaban sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan demokrasi.