TRIBUNJATENG.COM, KUDUS - Industri Hasil Tembakau (IHT) atau biasa dikenal dengan istilah industri kretek menjadi salah satu penopang ekonomi rakyat Indonesia.
IHT hadir memberdayakan masyarakat dari kalangan terendah untuk terlibat langsung dalam sejarah perjalanan kretek dari masa ke masa.
Satu sisi menarik kretek mampu menghidupkan semangat juang kaum perempuan dalam berkarya dan berpenghasilan.
Mencukupi kebutuhan ekonomi diri, juga membantu kebutuhan ekonomi keluarga. Ya lewat tangan terampil perempuan, kretek tumbuh ditopang daya juang rakyat, meski tak sedikit dari mereka terbatas pendidikan.
Industri kretek dimulai sebelum Indonesia Merdeka, mampu berdiri kokoh melewati gonjang-ganjing perekonomian nasional.
Tokoh kretek termashur Nitisemito misalnya, dikenal sebagai seorang pengusaha rokok yang merintis bisnis rokok kecil-kecilan dengan nama Tjap Bal Tiga pada tahun 1910 hingga mengalami masa kejayaan sekitar 1922 hingga 1940.
Pada 1934, Nitisemito mampu memperkerjakan sekitar 10 ribu pekerja, hingga industri rokok Tjap Bal Tiga mengalami perkembangan cukup pesat dan bisa memproduksi rata-rata sekitar 8 juta batang per hari.
Sosok Nitisemito pun mendapatkan julukan dari Ratu Belanda Wilhemina sebagai De Kretek Konning (Raja Kretek).
Kemajuan dunia industri kretek bukan tidak lain berkat peran srikandi kretek yang terus berjuang membumikan kretek di Nusantara.
Industri kretek hadir memberikan wadah jutaan perempuan berdaya, menyulap diri menjadi penopang kretek tetap berjaya di masa kini.
Satu di antara srikandi kretek asal Desa Bulungcangkring, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus adalah Ngatini.
Di usianya memasuki 48 tahun, kretek menjadi bagian dari hidupnya. Separo lebih dari usianya digunakan untuk mendukung perkembangan industri kretek.
Menjadi satu dari jutaan perempuan yang mampu hidup dari industri kretek, serta memberikan kehidupan bagi sekitarnya.
Ngatini merupakan sosok perempuan tangguh yang hidup dengan berbagai perjuangan sejak kecil.
Lahir pada 1997, dia tumbuh menjadi perempuan yang kuat, mandiri, dan berdikari.
Sejak kecil dia diajarkan memiliki pribadi yang pantang menyerah hidup bersama neneknya.
Sedangkan ibunya merantau ke kota semata untuk menghidupi keperluan Ngatini.
Pada usia 16 tahun, dia melabuhkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk terjun ke industri kretek.
Usia yang masih sangat muda untuk bekerja dan berpenghasilan. Namun, kondisi memaksanya untuk lebih cepat berpikir dewasa agar bisa merubah peta kehidupannya di masa depan yang lebih cerah.
"Ya sekitar usia 16 tahun lah kira-kira mulai bekerja di perusahaan rokok, sampai sekarang," terangnya, Senin (20/10/2025).
Ngatini pertama kali terjun ke dunia industri kretek atau IHT pada tahun 1993.
Kala itu, dia bergabung dengan salah satu perusahaan IHT milik PT Djarum yang berada di daerah perkotaan.
Untuk bisa menjangkau tempat bekerja, dia harus mengayuh sepeda dari rumah tinggal menuju jalan raya.
Setelah itu, angkutan umum menjadi jalan ninjanya agar bisa cepat sampai ke wilayah perkotaan.
Berangkat setelah Subuh dan pulang waktu Maghrib, dilakukannya setiap hari kerja.
"Waktu itu masih belum banyak perusahaan rokok. Kebetulan diterima di wilayah perkotaan. Kalau berangkat naik sepeda dulu, terus dilanjutkan naik angkot (angkutan umum)," tuturnya.
Penghasilannya sebagai buruh rokok pada tahun pertama bekerja diperkirakan Rp 450 per hari dengan sistem borongan.
Penghasilan tersebut belum dipotong ongkos angkutan umum Rp 150 pulang pergi. Sisanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan diri, keluarga, dan ditabung.
Hasil tabungannya digunakan untuk menambah kiriman ibunya di perantauan untuk memperbaiki rumah tinggal yang hanya terbuat dari gedek menjadi bangunan yang lebih kokoh dan layak.
Hidupnya bersama industri kretek terus berlanjut hingga menikah pada usia 20 tahun.
Penghasilan sebagai buruh rokok kala itu justru menjadi penopang ekonomi keluarga di awal pernikahannya.
Berkat ketekunan dan kesabarannya sebagai buruh rokok, ekonomi keluarga Ngatini berangsur membaik.
Dari mulanya dibayar Rp 450 per hari, kini sudah menerima lebih dari Rp 100.000 per hari.
Industri kretek juga menuntunnya untuk mewujudkan beberapa cita-citanya yang tertunda.
Meski tak bisa menjangkau pendidikan di perguruan tinggi, berkat perjuangannya di IHT selama 33 tahun, Ngatini mampu menghantarkan dua putrinya menyandang gelar sarjana.
Ekonomi keluarga stabil, rumah direnovasi, dan kini masih aktif sebagai buruh industri kretek guna menuntun putra bungsunya mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Selain itu, dengan menjadi buruh industri kretek, semua keluarga Ngatini terlindungi BPJS Kesehatan yang ditanggung oleh perusahaan.
Putrinya juga pernah merasakan beasiswa pendidikan dari perusahaan IHT semasa SMP.
Biaya persalinan secara otomatis ditanggung BPJS Kesehatan, setiap libur dapat tunjangan, juga mendapatkan tambahan gaji ketika lembur.
Di usianya 48 tahun, Ngatini masih setia mengabdikan diri untuk kemajuan industri hasil tembakau (IHT) hingga masa purna tiba.
"Jalani yang ada dan syukuri apa yang kita dapat," ucapnya.
Selain Ngatini, masih ada jutaan srikandi kretek tersebar di seluruh penjuru Indonesia, khususnya di Kabupaten Kudus sang Kota Kretek.
Mereka memiliki cerita dan kisah-kisah menarik tentang perjalanan industri kretek yang merubah jalan hidup.
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Kudus mencatat, lebih dari 100 industri hasil tembakau (IHT) beroperasi di Kabupaten Kudus.
Sementara Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi dan UKM Kudus mencatat pekerja di sektor industri rokok di Kabupaten Kudus saat ini mencapai lebih dari 70 ribu orang. Mayoritas adalah pekerja perempuan yang diberdayakan di sektor produksi kretek. (Sam).