Kehadiran Komisi Konstitusi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan rakyat kepada negara dan pemerintah.
Jakarta (ANTARA) - Dari segi teori konstitusi, amandemen konstitusi memang bukanlah hal yang tabu. Adanya mekanisme perubahan tersebut tidak lepas dari fakta, bahwa tidak ada konstitusi yang sempurna.
Dalam konteks Indonesia, mekanisme perubahan konstitusi itu terdapat dalam Pasal 37 UUD 1945. Dari ketentuan perubahan yang ada pada pasal tersebut, hanya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dapat diubah.
Itu sebabnya selalu terbuka peluang untuk dilakukan perubahan, terlebih apabila melihat fakta, hasil empat kali perubahan UUD 1945 menyisakan sejumlah masalah.
Sejumlah masalah tersebut sejak awal sudah disadari oleh MPR, dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya Tap MPR Nomor I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi yang salah satu isinya menugaskan Komisi Konstitusi untuk mengkaji hasil perubahan UUD 1945.
Lembaga semacam Komisi Konstitusi kini patut dihidupkan kembali, mengingat proses amandemen di awal era reformasi, pada kenyataannya beralih fungsi menjadi penggantian UUD 1945 asli, produk pemikiran para pendiri bangsa.
Dampaknya adalah terjadi krisis multidimensi, salah satunya ditandai dengan berlakunya demokrasi liberal, yang mengabaikan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Momentum bagi seluruh komponen bangsa sudah tiba, untuk segera kembali kepada naskah asli UUD 1945, dalam semangat memperkuat demokrasi Pancasila.
Partisipasi Publik
Komisi Konstitusi adalah lembaga untuk mengevaluasi praktik demokrasi liberal, yang selama ini memperoleh ruang dengan berlakunya UUD 1945 hasil amandemen.
Komisi Konstitusi juga menjadi katalis untuk berlakunya kembali UUD 1945, hasil rumusan PPKI dulu.
Amandemen sebanyak empat kali terhadap UUD 1945 kurun waktu tahun 1999-2002, sejatinya telah menjadi pintu masuk bagi berjalannya proses demokrasi liberal di Indonesia.
Amandemen itu secara jelas mengarah ke demokrasi liberal, seperti yang pernah terjadi pada kurun waktu 1951-1959, ketika kabinet silih berganti, sehingga memaksa Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945.
Sudah benar tindakan Sukarno, yang itu juga bisa dimaknai bahwa Sukarno mendorong untuk kembali ke jati diri bangsa.
Proses amandemen UUD 1945 tidak terlepas dari peran pakar hukum (tata negara), ilmu politik, ilmu sosial, dan pakar keilmuan lainnya, dalam memberikan kontribusi sebagai upaya penyempurnaan konstitusi di Indonesia.
Empat kali amandemen dalam kurun waktu tahun 2000 – 2002, juga berkat masukan dari para pakar yang tergabung dalam Komisi Konstitusi Indonesia, yang dibentuk oleh MPR melalui Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2002.
Konstitusi menjadi concern berbagai elemen atau kelompok masyarakat, bukan sebatas politisi, elite atau para ahli, melainkan seluruh rakyat.
Karena itu, masyarakat harus mengetahui apa yang terjadi. Proses pembuatan konstitusi haruslah dikembalikan pada rakyat.
Saat ini usaha ke arah pencarian cara mengubah UUD 1945, terkesan masih terpaku pada apa yang secara teoritis disebut kuasa mengubah konstitusi (pouvoir constitué) dan bukan mendasarkan diri pada kuasa konstituen (pouvoir constituant).
Artinya, secara konseptual perubahan UUD 1945 yang telah dan akan dilakukan tidak pernah melibatkan rakyat dalam keputusan untuk mengubah maupun proses perubahannya.
Kuasa mengubah sepenuhnya merupakan wewenang MPR. Perlu dibuka wacana agar kita merujuk pada pembentukan konstituante dulu. Rakyat memilih secara langsung orang-orang yang akan duduk dalam Komisi Konstitusi.
Apakah UUD kemudian akan diganti atau diamandemen, harus dimintakan persetujuan pada rakyat. Dengan adanya pemilihan komisi ini, yang bisa dilakukan berbarengan dengan pemilu, tidak perlu ada referendum.
Partisipasi masyarakat luas menjadi penting untuk memastikan konstitusi yang bisa menjadi katalis kesejahteraan rakyat, mengingat konstitusi adalah kontrak sosial antara masyarakat dengan negara.
Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat luas dalam amandemen konstitusi merupakan suatu keharusan, bahkan masyarakat adalah pihak yang akan diberikan hak lebih untuk mengatur kepentingannya sendiri dalam UUD tersebut.
Keterlibatan masyarakat diharapkan secara aktif untuk memberikan masukan, gagasan, dan visinya dalam amandemen konstitusi.
Keberadaan Komisi Konstitusi adalah juga untuk mendorong partisipasi publik secara menyeluruh, agar proses pelaksanaan dan hasil yang didapatkan memuaskan seluruh masyarakat.
Kehadiran Komisi Konstitusi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan rakyat kepada negara dan pemerintah.
Sebagaimana yang pernah disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie, bahwa Mahkamah Konstitusi sangat berkepentingan dengan hasil kerja Komisi Konstitusi yang dibentuk Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.
Meski kewenangan dari Komisi Konstitusi sangat terbatas, namun Jimly mengajak masyarakat untuk berpikir positif bahwa Komisi Konstitusi memang harus lahir sesuai tuntutan zaman.
“Meskipun kewenangannya terbatas tidak seperti yang diharapkan oleh masyarakat, kalau nanti Komisi Konstitusi menjalankan fungsinya dengan baik maka bisa sekali dia merekomendasikan perubahan dalam rangka kesempurnaan," kata Jimly.
Untuk lebih memastikan kualitas keterlibatan publik, penulis memiliki gagasan untuk mengundang tokoh-tokoh adat dari berbagai daerah masuk dalam Komisi Konstitusi, yang sudah memperoleh persetujuan dari masyarakat adat yang diwakilinya.
Melibatkan tokoh masyarakat adat sebagai bentuk implementasi dari realitas keberagaman di negara ini.
Elemen masyarakat lain yang perlu diundang adalah tokoh pemuda (terutama tokoh pemuda daerah), tokoh perempuan, kaum marjinal dan masyarakat minoritas, masing-masing satu perwakilan yang dipilih berdasarkan asas musyawarah mufakat.
Mengundang keterlibatan berbagai elemen masyarakat berdasarkan nilai musyawarah mufakat adalah manifestasi dari praktik sila keempat Pancasila.
Belajar dari Badan Konstituante
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sejak kemerdekaan sampai saat ini, terjadi dinamika dalam konstitusi, ditandai dengan keberadaan Badan Konstituante pada dekade 1950-an, sebagai lembaga yang diharapkan menyusun UUD untuk menyempurnakan UUD 1945.
Sebagaimana membaca dari sejarah, Badan Konstituante telah dianggap gagal, namun tetap menjadi inspirasi atas pembentukan Komisi Konstitusi.
Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan suatu keputusan penting untuk mengatasi krisis konstitusional yang terjadi di Indonesia pada waktu itu.
Keputusan itu dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menandai berakhirnya berlakunya UUD Sementara (UUDS) 1950 dan kembalinya Indonesia ke UUD 1945.
Pada prinsipnya, keputusan ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yakni (1) Konstituante bersama-sama pemerintah gagal menyusun dan menetapkan suatu UUD yang baru sebagaimana dimandatkan Pasal 134 UUDS 1950; (2) situasi politik tak stabil karena banyaknya partai politik dan terjadinya tarik-menarik ideologi yang menyebabkan jalannya pemerintahan jadi tidak stabil. Selain itu, (3) munculnya desakan dari berbagai pihak, termasuk TNI dan rakyat, agar Indonesia kembali memberlakukan UUD 1945.
Sebagaimana diketahui, Pasal 134 UUDS 1950 menyatakan: ”Konstituante (sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini.”
Dengan demikian, Konstituante merupakan badan perwakilan rakyat yang dibentuk khusus untuk menyusun UUD baru.
Tugas utamanya merumuskan UUD (konstitusi) yang lebih permanen, untuk menggantikan UUDS 1950 yang sesuai dengan namanya bersifat sementara.
Pasal 134 UUDS 1950 secara tegas mengamanatkan bahwa Konstituante, bersama dengan pemerintah, harus segera menyusun UUD baru.
Perubahan dan penggantian UUD 1945 dengan UUD baru merupakan kebutuhan bagi Indonesia untuk membangun negara konstitusional (constitutional state) yang kokoh dan menjamin sustainable democracy.
Keberadaan Komisi Konstitusi dimungkinkan atas kehendak MPR, karena mekanisme perubahan tidak diatur dalam UUD 1945, jadi seperti halnya MPR menugaskan PAH I BP MPR untuk menyiapkan naskah perubahan atau naskah baru UUD.
Sementara tugas dan kewenangan Komisi Konstitusi terbatas untuk melakukan kajian secara komprehensif terhadap UUD 1945, bukan mengubahnya.
Kewenangan mengubah UUD 1945 adalah kewenangan yang harus diusulkan sepertiga anggota MPR. Harus diakui masih ada perbedaan persepsi yang diterjemahkan oleh Komisi Konstitusi.
Mungkin saja selama ini Komisi Konstitusi menyamakan kedudukannya seperti Komisi Konstitusi yang ada di Thailand maupun di Filipina.
Di Thailand dan Filipina, komisi tersebut diberi kewenangan untuk merevisi UUD. Pakar hukum tata negara Satya Arinanto pernah mengusulkan agar Komisi Konstitusi tidak hanya merancang UUD, melainkan juga sekaligus mengesahkan UUD tersebut.
Satya merujuk pada Konstitusi Filipina. Di sana komisi konstitusi tidak hanya membuat, melainkan juga mengesahkan konstitusi. Komisi itu dibuat dalam masa transisi dari rezim Marcos.
Menurut Satya, Komisi Konstitusi dibuat pada situasi transisi. Karena itu, tidak perlu badan di MPR, melainkan bisa mengesahkan sendiri. Memang perdebatan perlu tidaknya Komisi Konstitusi, seperti juga perdebatan antara amandemen atau mengubah UUD, masih akan terus bergulir.
Melalui praktik musyawarah mufakat untuk mengisi keanggotaan Komisi Konstitusi yang akan mengamandemen ataupun membentuk UUD 1945, penulis menaruh harapan agar bisa menghasilkan komisi yang kompeten.
Penulis membayangkan, komisi tersebut bekerja semata-mata untuk kesejahteraan rakyat, tidak ada kepentingan lain, dan tanpa ada tekanan dari pihak mana pun.
Komisi Konstitusi adalah ruang atau kesempatan bagi masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam penyempurnaan (amandemen) UUD 1945.
*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.