“Perlindungan hukum dalam Pasal 8 harus dimaknai secara aktif dan komprehensif, mencakup perlindungan hukum, fisik, digital, dan psikologis bagi wartawan,”
Jakarta (ANTARA) - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menegaskan urgensi perlindungan wartawan saat dihadirkan sebagai pihak terkait dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Pers di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Umum PWI Akhmad Munir mengatakan pelaksanaan perlindungan wartawan yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers perlu diperkuat. Hal ini agar pasal tersebut tidak sebatas menyentuh tataran normatif.
“Perlindungan hukum dalam Pasal 8 harus dimaknai secara aktif dan komprehensif, mencakup perlindungan hukum, fisik, digital, dan psikologis bagi wartawan,” ucap Munir dalam sidang Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa.
Menurut Munir, perlu koordinasi antara Dewan Pers, aparat penegak hukum, dan organisasi wartawan agar tidak terjadi tumpang tindih atau salah tafsir dalam menangani laporan terkait wartawan.
Perlindungan hukum, imbuh dia, tidak boleh diartikan sebagai kekebalan hukum. Ia memandang, perlindungan hukum bagi wartawan merupakan jaminan agar jurnalis tidak dipidana karena karya jurnalistik yang sah.
Dalam konteks ini, PWI meyakini bahwa Pasal 8 Undang-Undang Pers merupakan bagian integral dari semangat konstitusi untuk menjamin kemerdekaan pers, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.
“Kami berharap MK dapat memberikan tafsir konstitusional yang memperkuat norma ini tanpa mengurangi substansi yang telah berjalan lebih dari dua dekade,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal AJI Bayu Wardhana mengatakan Pasal 8 Undang-Undang Pers sejatinya telah memberikan kepastian hukum tentang perlindungan bagi jurnalis secara lebih luas.
“Penjelasan Pasal 8 sudah tegas menyebut bahwa pemerintah dan masyarakat wajib melindungi jurnalis ketika menjalankan kerja jurnalistik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Bayu dalam kesempatan yang sama.
Dia menilai, permasalahan utama bukan terletak pada norma pasal, melainkan pada implementasinya. Dalam hal ini, AJI menyoroti masih adanya kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam satu tahun terakhir.
“Negara seharusnya hadir memberikan jaminan perlindungan hukum, termasuk bantuan hukum bagi jurnalis korban kekerasan,” ucap Bayu.
Perkara ini dimohonkan oleh Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) yang diwakili oleh Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono, serta seorang wartawan media nasional bernama Rizky Suryarandika.
Para pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 8 Undang-Undang Pers karena dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mereka mendalilkan Pasal 8 UU Pers tidak memberikan kepastian hukum yang jelas bagi wartawan untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas profesinya. Sebab, frasa “perlindungan hukum” dalam pasal tersebut bersifat multitafsir.
Para pemohon menilai pasal tersebut tidak pula menerangkan secara rinci mekanisme atau prosedur perlindungan hukum spesifik apabila insan pers yang sedang menjalankan profesinya berhadapan dengan aparat penegak hukum ataupun menerima gugatan akibat berita yang diterbitkan.
Dalam permohonannya, Iwakum meminta Pasal 8 UU Pers dimaknai menjadi “termasuk tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan kepada wartawan dalam melaksanakan profesinya berdasarkan kode etik pers” atau “termasuk tindakan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers.”