Main Game Online, Pelajar SMP Kulon Progo Terjerat Judol hingga Terlilit Utang Pinjol
Glery Lazuardi October 25, 2025 11:32 AM
Ringkasan Berita:Pelajar SMP Kulon Progo terjerat judi online berawal dari game.
 
Terlilit utang pinjol hingga Rp4 juta demi terus bermain.
 
Pinjam uang teman untuk bayar utang, nyaris putus sekolah.

TRIBUNNEWS.COM - Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, Kulon Progu, Nur Hadiyanto, mengungkap temuan pelajar SMP di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terjerat judi online hingga terlilit utang di pinjaman online (pinjol).

Gegara ketagihan judi online, menurut dia, pelajar itu nekat berutang menggunakan pinjol lalu membayar cicilan pinjaman dengan cara berutang kepada teman.

“Baru kali ini ada pelajar di Kulon Progo terjerat judo dan pinjol,” kata dia.

Pelajar di Kulon Progo terjerat judi online berawal dari bermain game online biasa yang kemudian mengarah ke platform perjudian digital.

Game online adalah permainan digital yang dimainkan melalui jaringan internet, memungkinkan interaksi antara pemain dan sistem atau antar pemain secara langsung.

Game online bisa menjadi sarana hiburan, edukasi, bahkan kompetisi profesional (e-sports).

Namun, tanpa pengawasan, game online juga bisa menjadi pintu masuk ke perilaku adiktif atau aktivitas berisiko seperti judi online.

Pelajar SMP di Kulon Progo awalnya bermain game online sebagai hiburan ringan.

Dari game tersebut, ia mulai mengenal fitur-fitur yang menyerupai taruhan atau hadiah virtual yang bisa ditukar dengan uang.

Tanpa disadari, game tersebut menjadi pintu masuk ke situs atau aplikasi judi online. Pelajar tersebut mulai kecanduan dan merasa terdorong untuk terus bermain demi mendapatkan “keuntungan instan”.

Untuk membiayai aktivitas judol, pelajar ini mulai meminjam uang dari teman-temannya. Total utang yang dikumpulkan mencapai sekitar Rp 4 juta, digunakan untuk membayar pinjol yang sebelumnya ia ambil demi melanjutkan permainan.

Kasus Terungkap Setelah Sekolah Melapor

Kasus ini terungkap setelah pihak sekolah melapor. 

Disdikpora pun bergerak cepat, berkoordinasi dengan Dinsos-PPPA dan Dinkes. 

Sebab ini bukan sekadar soal utang, tapi soal luka psikis yang tak terlihat. 

Pendekatan psikologis pun disiapkan. 

Pendidikan anak itu tetap harus berjalan, entah tetap di sekolah semula atau melalui Kejar Paket B.

Tapi Nur Hadi tahu, ini bukan satu-satunya. Ia menyebutnya fenomena gunung es. Yang tampak hanya puncaknya. 

Di bawahnya, mungkin ada banyak anak lain yang tengah tenggelam dalam dunia maya yang tak ramah.

Siti Sholikhah dari Dinsos-PPPA pun angkat bicara.

Ia mengakui, ini kasus pertama anak yang terjerat judol dan pinjol di Kulon Progo. 

Biasanya, laporan anak berkisar pada pernikahan dini, pekerja anak, atau kekerasan. Tapi kini, ancaman datang dari gawai di genggaman.

“Semua pihak harus bisa menciptakan situasi yang aman dan nyaman bagi anak,” tegas Siti, yang akan mengirim psikolog klinis untuk mendampingi anak tersebut langsung di rumahnya.

Peristiwa ini adalah cermin. Bahwa anak-anak kita, di era digital ini, tak hanya butuh kuota dan gawai.

Mereka butuh pelindung, pendamping, dan ruang aman. Edukasi pun harus lebih dari sekadar larangan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.