Dalam beberapa tahun terakhir, produk yang ramah lingkungan mulai muncul di pasar. Terdapat sabun organik, tas belanja berbahan kain, hingga mobil listrik yang dianggap sebagai masa depan transportasi. Semua ini hadir dengan satu tujuan yang mulia, yaitu untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat pola konsumsi manusia yang boros dan serba instan.
Namun, kenyataannya tidak semua produk "hijau" mendapatkan sambutan yang positif dari masyarakat. Di balik kampanye peduli bumi dan jargon ramah lingkungan, muncul pertanyaan yang cukup menarik: Apakah konsumen benar-benar loyal terhadap produk hijau, atau hanya mengikuti tren?
Dalam teori ekonomi mikro, perilaku konsumen merupakan salah satu aspek yang menarik untuk diteliti. Keputusan individu untuk membeli suatu produk bukan hanya dipengaruhi oleh kebutuhan, melainkan juga oleh tingkat kepuasan yang diharapkan dari produk tersebut. Konsep ini dikenal sebagai utilitas. Dengan kata lain, seseorang cenderung membeli barang yang dianggapnya paling memberikan manfaat dengan uang yang dimilikinya.
Dalam konteks produk ramah lingkungan, konsumen tentunya ingin berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan. Namun, ketika harga produk ramah lingkungan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk konvensional, mereka mulai mempertimbangkan kembali. Rasionalitas ekonomi sering kali lebih dominan dibandingkan dengan idealisme.
Selain harga, terdapat faktor lain yang menyebabkan produk ramah lingkungan belum sepenuhnya diterima. Beberapa konsumen masih meragukan kualitasnya. Mereka beranggapan bahwa deterjen organik tidak seefektif deterjen konvensional, atau lampu hemat energi tidak secerah lampu biasa. Ketika kepuasan tidak tercapai, loyalitas pun menurun.
Perbesar
Ilustrasi gaya hidup ramah lingkungan. Foto: Shutter Stock
Akhirnya, konsumen kembali pada kebiasaan lama: membeli produk yang lebih murah, praktis, dan mudah diakses, meskipun tidak ramah lingkungan. Di sinilah muncul kesenjangan antara niat dan tindakan. Banyak orang yang peduli lingkungan dalam ucapan, tetapi belum tentu dalam pilihan belanja.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara berkembang, produk hijau sering kali dipandang sebagai barang mewah. Kesadaran masyarakat memang meningkat, tetapi belum diimbangi dengan daya beli yang memadai. Orang ingin berkontribusi untuk bumi, tetapi tidak ingin mengorbankan kenyamanan atau mengeluarkan lebih banyak uang. Ini mencerminkan dilema klasik dalam perilaku konsumen: antara moralitas dan efisiensi ekonomi.
Dalam teori mikro, kondisi semacam ini adalah hal yang wajar. Konsumen cenderung memilih kombinasi produk yang menawarkan keseimbangan antara manfaat dan biaya. Jika manfaat lingkungan dianggap terlalu abstrak atau bersifat jangka panjang—sementara biaya terasa nyata di dompet—produk hijau akan sulit untuk bersaing.
Meskipun demikian, tidak semua narasi mengenai produk ramah lingkungan berakhir dengan kesedihan. Terdapat pula merek-merek yang berhasil membangun kepercayaan dan kesetiaan dari konsumen. Mereka tidak hanya menawarkan produk, tetapi juga nilai-nilai. Mereka menceritakan bagaimana setiap pembelian berkontribusi pada kesejahteraan petani lokal, mengurangi limbah plastik, atau melestarikan hutan.
Ketika konsumen merasa terlibat dalam misi yang lebih besar tersebut, terbentuklah ikatan emosional yang lebih mendalam daripada sekadar transaksi ekonomi. Kesetiaan pun berkembang bukan karena harga yang rendah, melainkan karena rasa bangga dan identitas. Pada titik ini, perilaku konsumen tidak lagi bersifat rasional semata, tetapi juga mencakup aspek moral dan emosional.
Perbesar
Belanja dengan tas ramah lingkungan. Foto: Dok. Freepik
Namun, di Indonesia, kesetiaan terhadap produk ramah lingkungan masih menghadapi berbagai tantangan. Harga yang lebih tinggi, ketersediaan yang terbatas, dan kurangnya edukasi bagi konsumen menjadi hambatan utama. Banyak orang belum sepenuhnya memahami perbedaan antara produk yang benar-benar ramah lingkungan dan yang hanya tampak hijau. Akibatnya, sering kali mereka merasa kecewa ketika produk yang dibeli ternyata tidak seefektif yang dijanjikan.
Kekecewaan ini semakin memperburuk tingkat kepercayaan dan membuat mereka enggan untuk melakukan pembelian ulang. Padahal, kesetiaan sangat bergantung pada rasa percaya. Tanpa adanya kepercayaan, kesadaran lingkungan saja tidak cukup untuk menjaga konsumen agar tetap setia.
Produsen juga harus menyadari bahwa menjual produk ramah lingkungan tidak hanya sekadar menempelkan label "eco-friendly" pada kemasan. Diperlukan kejujuran, inovasi, dan konsistensi. Konsumen saat ini semakin cerdas; mereka dapat membedakan produk yang benar-benar ramah lingkungan dari yang hanya memanfaatkan tren.
Ketika sebuah merek dapat menunjukkan dampak yang nyata—seperti menggunakan bahan daur ulang, mengurangi emisi karbon, atau mendukung komunitas lokal—kepercayaan konsumen akan tumbuh secara alami. Pada saat itulah loyalitas terbentuk; bukan karena kampanye iklan, melainkan karena keyakinan bahwa uang mereka digunakan untuk sesuatu yang benar.
Pada dasarnya, kesetiaan terhadap produk yang ramah lingkungan mencerminkan tingkat kedewasaan ekonomi masyarakat. Di negara-negara dengan kesadaran dan pendidikan lingkungan yang tinggi, seperti Jepang atau Jerman, konsumen bersedia membayar lebih untuk mendukung keberlanjutan. Mereka tidak hanya mempertimbangkan manfaat pribadi, tetapi juga manfaat sosial dan ekologis.
Sementara itu, di negara-negara yang masih berkembang, pertimbangan ekonomi jangka pendek sering kali lebih mendominasi. Namun, seiring berjalannya waktu, jika pendidikan dan transparansi meningkat, peluang bagi produk hijau untuk berkembang juga akan semakin besar.
Fenomena "hijau tidak selalu laku" bukanlah indikasi bahwa masyarakat tidak peduli terhadap lingkungan, melainkan bahwa perubahan perilaku memerlukan waktu dan kepercayaan. Kesetiaan tidak muncul dari slogan, tetapi dari pengalaman nyata yang memuaskan.
Jika produsen dapat menciptakan produk hijau yang berkualitas, terjangkau, dan benar-benar bermanfaat, konsumen akan lebih mudah untuk tetap setia. Dalam jangka panjang, kesetiaan ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menjadi investasi moral untuk keberlanjutan bumi.
Mungkin benar bahwa produk hijau belum sepenuhnya laku saat ini. Namun, itu bukanlah akhir dari cerita. Kesadaran sedang berkembang; perlahan, tapi pasti. Generasi muda mulai lebih selektif dalam berbelanja dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dari setiap pilihan yang diambil. Dan ketika kesadaran ini menjadi bagian dari budaya, bukan hanya sekadar tren, loyalitas terhadap produk hijau akan menemukan tempatnya; bukan karena tuntutan pasar, tetapi karena kebutuhan hati nurani.