Ilusi Negara Hukum
Lalu Aria Nata Kusuma October 27, 2025 12:20 PM
Setelah berakhirnya era otoritarian Orde Baru pada 1998, Indonesia memasuki era Reformasi dengan harapan terwujudnya pemerintahan demokratis dan berlandaskan hukum. Tercermin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menandai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
Namun, kondisi saat ini sepertinya menunjukkan bahwa penerapan konsep negara hukum tampaknya belum tercapai. Sehingga, muncul pertanyaan apakah Indonesia terjebak dalam ilusi sebagai negara hukum?
Memahami Negara Hukum
Pada dasarnya, negara hukum dapat dipahami sebagai negara yang diselenggarakan berdasarkan hukum. Meskipun pemaknaan tentang negara hukum bervariasi, terdapat dua fungsi esensial yang diterima secara umum: pertama, membatasi tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Kedua, negara hukum berfungsi melindungi keselamatan dan hak asasi warga negara (Bedner, 2012).
Pembahasan negara hukum juga tidak dapat dipisahkan dari esensi negara itu sendiri. Hukum hanyalah alat yang digunakan untuk menjalankan negara. Sebagai alat, ia tetap harus kembali ke kaedah fungsional mengapa alat itu diciptakan.
Dalam konteks Indonesia, tujuan negara tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945, yaitu melindungi bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Negara sebagai institusi pelayanan memiliki otoritas untuk menggunakan hukum dalam mengejar tujuan tersebut, sehingga setiap aturan dan tindakan pemerintah harus jelas tujuannya. Apabila hukum digunakan di luar koridor kemanfaatan rakyat (public virtue), maka hukum tersebut telah mengalami proses pembusukan (decaying).
Tetapi ada anggapan yang mencoba mentolerir sesuatu yang busuk itu. Bukankah seburuk-buruknya hukum juga tetaplah hukum? ia tetap eksis karena negara diberikan kewenangan dan legalitas terletak pada instrumen kekuasaan. Siapakah yang dapat bertanggungjawab atau setidak-tidaknya dapat disalahkan atas situasi ini?
Hegemoni Pendekatan Positivisme Hukum
Seringkali ketika terdapat diskusi atau perdebatan tentang isi dari sebuah peraturan yang oleh beberapa pihak dianggap salah dan menyengsarakan masyarakat, dapat ditemukan komentar anti-tesis yang berbunyi: “itukan hukumnya, maka kita harus patuh”, “kamu tau apa tentang peraturannya, cukup ikuti saja,” “bukan kamu yang menentukan hukum, jangan-jangan kamu tidak cinta negara,” dan komentar lain yang sekiranya bernada sama.
Hukum seringkali dinilai sebagai sebuah produk yang sempurna dan karena dibentuk oleh mereka yang terdidik dan memiliki otoritas, maka bisa jadi kita yang salah mengartikan isi dari hukum tersebut. Cara pandang formalistik (melihat hukum sebagai teks formal) seperti ini mengindikasikan betapa paradigma positivisme hukum sudah mengakar begitu kuat dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hukum menjadi sebuah dogma.
Dalam pandangan positivisme hukum, norma dinilai sebagai perintah dari penguasa yang berdaulat (command of the sovereign ruller). Validitas dan keberlakuan suatu norma diletakkan kepada pembentuk peraturan. Asalkan peraturan tersebut dibentuk lembaga yang berwenang dan dengan metode tertentu, maka peraturan itu dianggap sah.
Namun, hukum bukan lahir dari ruang hampa. Meletakkan validitas norma karena ia adalah negara (pemerintah) tidaklah tepat. Artinya, norma yang burukpun tetap merupakan norma hukum selagi norma itu dibentuk oleh penguasa yang berwenang.
Banal-nya cara pandang positivisme hukum dapat kita lihat melalui cerita Adolf Eichmann yang diadili pada tahun 1961. Ia merupakan anggota SS Nazi selama Perang Dunia II dan bertanggungjawab atas pembantaian jutaan orang yahudi di berbagai kamp-kamp konsentrasi (Widodo Dwi Putro, 2023).
Dalam peradilan, Eichmann dinyatakan terbukti melakukan kejahatan atas kemanusiaan. Tetapi, Eichmann justru membela diri menggunakan logika formalistik dengan mengatakan: “bagaimana bisa saya dianggap melakukan sebuah kejahatan, selagi pada waktu itu hukum yang berlaku (hukum positif) mewajibkan saya untuk melakukan semua itu?”
Konvergensi Negara Hukum dan Republikanisme
Dalam sebuah negara hukum, tidak boleh ada hegemoni paradigma yang berlebihan, karena bagaimanapun ia akan disalahgunakan. Pendekatan legal formalistik yang digunakan secara mutlak oleh pemerintah dalam menjalankan negara telah menciptakan gap (lacuna) antara ‘hukum yang seharusnya’ (law as it ought to be), dengan ‘hukum yang senyatanya’ (law as it is).
Pertanyaan yang harus diajukan kepada pemerintah adalah, tujuan negara dalam rangka kemanfaatan rakyat yang mana yang sedang coba diwujudkan oleh pemerintah melalui berbagai penggunaan instrumen hukum yang disediakan? Jangan sampai daulat yang diberikan oleh rakyat hanya digunakan sebagai tameng untuk melegitimasi kepentingan tertentu dengan tetap berlindung dibalik tembok “atas nama hukum.”
Seringnya yang terjadi ialah pemerintah langsung melompat ke Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”, tanpa terlebih dahulu memahami esensi “republik” pada Pasal 1 ayat (1). Nilai negara hukum sejatinya terletak pada bunyi republik. Tanpa republikanisme (ajaran tentang republik), negara hukum hanyalah teks yang sebaiknya jadi puisi saja. Disinilah konvergensi terjadi antara negara hukum dan republikanisme.
Dalam republikanisme, pemerintahan dibentuk sedemikian rupa sebagai pelayan yang mampu mengakomodir prinsip-prinsip dan kepentingan bersama. Cicero bahkan menyatakan rakyat sebagai tujuan akhirnya, bahwa republik adalah urusan rakyat (people’s affair). Sehingga otoritas pemerintah bersumber dari rakyat sekaligus rakyat sebagai titik centralnya (Robet, 2021).
Oleh karena itu, apabila kita menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, tetapi praktik berhukumnya tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi rakyat, maka sebenarnya saat ini Indonesia telah bertransformasi menjadi negara hukum tanpa republik.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, jika bukan rakyat yang sedang dilayani oleh hukum, maka sebenarnya siapa yang sedang menjadi “tuan” dari hukum?
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.