Jadi produsen harus memberitahukan efek atau bahaya dari suatu barang, suatu obat yang diedarkan. Jika dia sudah beritahu, pabrik sudah selesai dan lepas dari pertanggungjawaban pidana
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej meminta aturan mengenai persoalan industri hasil tembakau agar disusun dengan ekstra hati-hati, duduk bersama, dan berembuk dengan baik, termasuk salah satunya dalam penyusunan peraturan pelaksana mengenai pengamanan zat adiktif.
"Dari sisi negara, salah satu penyumbang terbesar perpajakan berasal dari industri hasil tembakau, makanya itu kan untuk kontrol, karena kalau mau kami hilangkan juga tidak mungkin soal tembakau ini karena ada berapa tenaga kerja, petani, dan sebagainya. Ini memang hal yang sangat kompleks," kata pria yang akrab disapa Eddy tersebut dalam seminar nasional di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, penyusunan aturan secara ekstra hati-hati dilakukan dengan kekuatan mutlak berdasarkan keberlakuan secara materiil, yakni kekuatan filosofis, kekuatan yuridis, dan kekuatan sosiologis.
Dengan demikian, Wamenkum menilai pihak yang diatur bisa menaati aturan dengan senang hati dan prinsip-prinsip dalam penyusunan peraturan yang baik tidak terlewatkan.
Dia tak menampik dalam menyusun peraturan mengenai industri hasil tembakau akan terdapat potensi perselisihan hingga tarik-menarik pembahasan, tetapi pencarian win-win solution atau pendekatan dalam negosiasi atau penyelesaian konflik yang bertujuan mencari kesepakatan yang menguntungkan semua pihak yang terlibat, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan atau kalah, harus bisa diutamakan.
Ia mencontohkan pembahasan yang akan diperdebatkan mengenai peredaran hasil tembakau hingga kemasan yang perlu distandardisasi atau dibuat tidak menarik.
Menurut Eddy, apabila kemasan hasil tembakau atau rokok dibuat menjadi standar, maka terdapat potensi pelanggaran terhadap UU tentang Merek.
Sementara apabila kemasan dibuat tidak menarik agar tidak membuat anak di bawah umur mencoba mengonsumsi rokok dengan mempertimbangkan kesehatan, kata dia, maka tidak menjamin pula.
Wamenkum menuturkan apabila dalam kemasan sudah terdapat imbauan atau larangan untuk merokok dari pabrik yang memproduksinya, maka produsen sudah bertanggung jawab dan tidak perlu mengubah kemasannya.
Ketentuan tersebut, lanjut dia, sudah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya dalam bab tentang kejahatan obat, barang, dan makanan.
"Jadi produsen harus memberitahukan efek atau bahaya dari suatu barang, suatu obat yang diedarkan. Jika dia sudah beritahu, pabrik sudah selesai dan lepas dari pertanggungjawaban pidana," tuturnya.
Pusat Pengembangan Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya menilai terdapat kebutuhan hukum untuk segera menyusun peraturan pelaksana atas Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan, khususnya peraturan menteri terkait dengan pengamanan zat adiktif, dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam pengimplementasinya.
PP Kesehatan mengamanatkan supaya beberapa peraturan menteri yang merupakan peraturan delegasi dari PP Kesehatan dibuat terlebih dahulu sebelum tanggal 26 Juli 2024, namun demikian, hingga kini belum satu pun dari beberapa peraturan menteri yang harus dibuat tersebut diterbitkan.
Selain tujuannya untuk segera memperoleh kepastian hukum penyelenggaraannya, tujuan lain penyusunan peraturan menteri terkait dengan pengamanan zat adiktif dinilai diperlukan supaya para pelaku usaha mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan perubahan kebijakan pengamanan zat adiktif serta mitigasi dampaknya, termasuk dampak terhadap ketenagakerjaan.







