Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut bahwa persebaran manusia dimulai dari Nusantara. Arkeolog Prof Harry Truman Simanjuntak menyebut itu sebagai mimpi di siang bolong.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Dalam pembukaan konferensi internasional Persatuan Ilmuwan Prasejarah dan Protosejarah (UISPP) Inter-Regional Conference 2025 di Universitas Kristen Satwa Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, Menteri Kebudayaan Fadli Zon kembali mengajukan gagasannya tentang teori penyebaran manusia. Dia mengajukan teori Out of Nusantara untuk menandingi teori Out Of Afrika.
Dalam Out of Nusantara Fadli ingin mengatakan bahwa persebaran manusia di seluruh penjuru dunia bukan berawal dari Afrika tapi dari Nusantara.
“Manusia purba Nusantara bisa berekspansi melalui jalur laut, tak hanya berjalan menyusuri benua seperti yang selama ini didiskusikan dalam teori out of Africa. Gagasan out of Nusantara menjadi semakin kuat dengan adanya bukti-bukti ini, bahwa persebaran manusia purba tidak hanya bersifat satu arah dari Afrika, melainkan dapat bermula justru dari wilayah Nusantara, atau out of Nusantara,“ kata Fadli Zon, sebagaimana siaran pers yang dia bagikan, Selasa (28/10).
Konferensi internasional tersebut dihadiri peneliti dan pemangku kebijakan dari 40 negara, berlangsung di Museum Manusia Purba Sangiran dan Museum Ullen Sentalu Yogyakarta dari 27 Oktober hingga 6 November 2025.
Untuk mendukung gagasannya itu, Fadli Zon menyodorkan beberapa temuan yang diklaim bisa membuktikan teorinya itu. Salah satunya adalah kehidupan Homo erectus di sekitar Bengawan Solo.
Bukti lain, menurut Fadli, adalah temuan situs peradaban purba di berbagai kawasan di Indonesia. "Indonesia memiliki lukisan naratif tertua di dunia, berusia sekitar 51.200 tahun yang ditemukan di gua Leang Karampuang, Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan. Lukisan ini menggambarkan hewan, figur manusia, interaksi antar-tokoh bahkan gambar perahu-perahu yang menunjukkan kemampuan bercerita visual lebih dari 51 milenium lalu,” tuturnya lagi.
Masih ada lagi. Jejak awal Homo sapiens lebih dari 60.000 tahun lalu di Gua Lida Ajer, Sumatra Barat, kata Fadli, juga merupakan salah satu bukti tertua di dunia bahwa manusia modern mampu hidup dan beradaptasi di ekosistem hutan hujan tertutup, bukan hanya sabana terbuka. Sementara Gua Harimau di Sumatra Selatan juga memperlihatkan kesinambungan budaya dari sekitar 22.000 tahun lalu dengan temuan tembikar, alat tulang, logam tembaga, perunggu dan besi awal dari sekitar abad ke-4 SM hingga abad ke-1 M.
Bahkan, tambahnya, ditemukan juga jejak penyakit anemia dan malaria pada manusia purba di Gua Harimau Sumatera Selatan itu.
Bentang karst Sangkulirang–Mangkalihat di Kalimantan Timur yang menyimpan ribuan gambar purba yang bercerita tentang perburuan, tari, hingga ritual kolektif juga disodoran Fadli untuk memperkuat gagasannya. Situs ini tengah diarahkan Indonesia menuju pengakuan Warisan Dunia UNESCO sebagai lanskap budaya–alam bernilai universal.
Salah satu bukti paling kuat, menurut Fadli Zon, terdapat di gua Liang Kobori di kawasan karst Muna, Sulawesi Tenggara yang merekam perahu, perburuan kolektif di perairan, dan penggembalaan hewan. “Ini menunjukkan bahwa manusia awal di Nusantara sudah dapat mengarungi lautan dan sudah memiliki tradisi maritim. Lukisan-lukisan purba ini menunjukkan memori visual dunia maritim Austronesia yang nantinya turut membentuk identitas kepulauan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik,” jelas Fadli.
Manusia purba di kawasan yang kini disebut sebagai Indonesia ini adalah manusia yang disebutnya sudah bembentuk peradaban, mampu bercerita, mampu melakukan pemakaman dengan hormat, punya teknologi logam, memetakan ruang sakral, dan mengarungi lautan.
“Beremigrasi dan merantau ke berbagai penjuru dunia. Inilah mengapa kami menyebut Indonesia sebagai salah satu arsip peradaban tertua umat manusia,” kata Fadli Zon.
Tanggapan arkeolog
Lalu bagaiman bagaimana tanggapan arkeolog terkait pernyataan Fadli Zon? Arkeolog dari Pusat Arkeologi Nasional Prof. Harry Truman Simanjutak memberi komentarnya terkait pernyataan lulusan Sastra Rusia Universitas Indonesia itu.
“Mimpi di siang bolong,” kata Prof. Truman dalam pesan pendeknya ketika dihubungi oleh Intisari Online. Prof. Truman sendiri merupakan salah satu pendukung teori out of Taiwan yang menyebut bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Taiwan.
Teori Out of Taiwan menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Taiwan atau Kepulauan Formosa. Para pendatang yang berbicara dengan tutur Austronesia ini telah menjelajahi Madagaskar di bagian barat, Pulau Paskah di bagian timur, Taiwan dan Mikronesia di utara, hingga sampai ke selatan di Selandia Baru.
Mereka diperkirakan datang dari Taiwan melalui Filipina sekitar tahun 4.500-3.000 SM. Kemudian sekitar tahun 3.500-2.000 SM, mereka melakukan migrasi ke Indonesia melalui Sulawesi dan menyebar ke berbagai pelosok nusantara.
Dari Sulawesi, alur persebaran terpecah menjadi dua alur. Alur barat, yaitu ke Kalimantan terus ke Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur. Sedangkan alur timur bermula dari Sulawesi ke Indonesia bagian timur.
Para ahli sejarah mengatakan bahasa nenek moyang bangsa Indonesia Melayu berasal dari Taiwan yang disebut Austronesia. Ketika bermigrasi, para penutur Austronesia memperkenalkan kebudayaan kepada masyarakat setempat.
Oleh karena itu, interaksi budaya dan dalam beberapa hal silang genetika pun tidak dapat dihindari. Salah satu kebudayaan mereka yang paling berpengaruh adalah budaya maritim.
Para penutur bahasa Austronesia merupakan bangsa pelaut yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di lautan dan bermigrasi dari satu pulau ke pulau lainnya. Budaya ini kemudian menjadi sebuah ciri khas tersendiri di Indonesia, yang merupakan negara kepulauan.
Selain budaya maritim, kebudayaan lain yang dibawa di antaranya:
- Bercocok tanam (padi, jewawut, tebu, ubi, dan keladi raksasa)
- Domestikasi ternak (babi, anjing, dan ayam)
- Teknologi perkapalan
- Pembuatan gerabah
- Perhiasan dari kerang
- Tenun
- Kebiasaan makan sirih
Selain itu ditemukan pula adanya kesamaan linguistik di antara masyarakat di kepulauan Asia Tenggara. Seperti contohnya kata burung, yang dalam bahasa Jawa disebut manuk, sedangkan dalam bahasa Tagalog disebut manok.
Hal tersebut menginsikasikan bahwa masyarakatnya berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu penutur bahasa Austronesia.
Penanda identitas penutur bahasa Austronesia yang paling terlihat di Indonesia adalah pemujaan terhadap leluhur. Pemujaan terhadap leluhur ini tercermin dengan penggunaan bangunan megalitik sebagai sarana peribadatan.
Selain itu, para penutur bahasa Austronesia juga memiliki budaya bercerita melalui lukisan dinding gua. Lukisan dinding gua merupakan salah satu ciri khas penutur bahasa Austronesia dalam mengekspresikan kisah perjalanan, keseharian mereka seperti berburu hewan, bercocok tanam, dan juga ritual penguburan.
Proses migrasi yang terjadi seakan menjadi titik balik peradaban manusia di Asia Tenggara, khususnya Indonesia karena budaya yang mereka bawa dengan cepat tersebar dan bertahan hingga kini.
Sementara teori Out of Africa yang coba ditandingi oleh Fadli Zon menyebutkan bahwa persebaran manusia modern dimulai dari Afrika. Mereka menyebar ke berbagai wilayah termasuk ke Eropa, Asia, hingga Indonesia.