Bayangan di Atas Batu Nubuat: Memikirkan Kembali Seabad Peradaban Papua
Immanuel Sirakais Bosawer October 29, 2025 05:00 PM
Bukit Aitumeri tahun 1925 bukan sekadar koordinat geografis; ia adalah altar tempat sebuah peradaban dinubuatkan. I.S. Kijne, seorang Zending Belanda, bukan datang sebagai penakluk, melainkan sebagai seorang visioner yang berdiri di tengah ketercerai-beraian eksistensial orang asli Papua. Ia menyaksikan sebuah bangsa yang terperangkap dalam bayang-bayang primitivisme dan marjinalitas; lalu dengan tekad yang terpahat, ia menggagas emansipasi.
Gagasan itu bercita-cita membebaskan manusia Papua dari belenggu ketidaktahuan, menjadikannya mandiri melalui tradisi pencerahan yaitu Gereja, pendidikan, dan kesehatan manusia. Visi ini bukanlah ilusi semata karena pada pertengahan abad ke-20 ia berbuah menjadi peningkatan mutu pendidikan yang pesat. Kini, genap satu abad sejak batu peradaban diletakkan, evolusi telah terjadi di atas Tanah Papua.
Namun, terdapat pertanyaan yang menggumpal di benak kita: Apakah perubahan yang kita saksikan hari ini adalah penggenapan nubuat Kijne, atau hanya pantulan semu dari sebuah cita-cita yang tak searah?
Pendidikan sebagai Sebuah Proyek Memanusiakan Manusia Papua
Perbesar
Siswa SD Negeri Inpres Kemiri, Jayapura, Papua. Foto: Darin Atiandina/kumparan
Terhampar di antara Samudra Pasifik dan Laut Arafuru, Tanah Papua bagai sebuah peti harta karun kosmik, menyimpan misteri hayati dan non-hayati yang memikat para penambal sulam peradaban. Berbeda dengan mereka yang datang untuk mengeksploitasi, Kijne tiba dengan misi yang mulia, yaitu memanusiakan manusia.
Melihat fenomena keterbelakangan yang mencekik, pada 1925 ia memindahkan episentrum pendidikan dari Mansinam ke Miei Wondama. Ini bukan sekadar relokasi geografis, melainkan deklarasi perang melawan ketertinggalan. Pusat-pusat pencerahan kemudian bermekaran dari Kwawi hingga Hollandia, sehingga hal tersebut mengubah manusia primitif menjadi manusia modern.
Hasilnya terukir dalam sejarah, tepatnya pada 26 Oktober 1956. Sebuah Gereja Kristen Injili lahir, sebuah gereja mandiri yang menjadi monumen ketangguhan, disusul Yayasan Pendidikan Kristen pada 18 Januari 1962 sebagai motor pembebasan dari belenggu ketidaktahuan.
Perbesar
Sekelompok anak Papua di Teluk Wondama. Sumber: Priadi Saptono/shutterstock.com
Tanah dan Manusia Papua sebagai Mesin Produksi
Rupanya, puncak pencerahan itu adalah sebuah fajar yang singkat. Kepergian Belanda dan masuknya Indonesia menjadi titik balik tragis di mana misi Zending yang memanusiakan manusia digantikan oleh logika negara yang memfungsikan sumber daya. Dalam tiga dekade awal, orientasi pembangunan bergeser secara
fundamental, yakni dari pengembangan manusia menuju eksploitasi sumber daya alam.
Kontrak karya Freeport pada tahun 1965 dan program transmigrasi pada 1966 bukanlah kebijakan ekonomi biasa. Ini adalah instrumen yang mengukuhkan sebuah gagasan pahit di mana Papua hanyalah mesin produksi bagi Republik. Negara hadir bukan untuk membangun kehidupan, melainkan untuk mengekstraksi kekayaan. Di era Orde Baru, pemusatan pembangunan di wilayah Indonesia Barat menciptakan kesenjangan yang menganga, menjadikan tanah yang berlimpah susu dan madu ini sebagai kubangan dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang tak kunjung usai.
Sejak Pepera 1969 hingga kini, realitas Papua dibayangi "moncong senjata". Pelanggaran HAM yang marak adalah luka kolektif yang tak kunjung menemukan keadilan. Ironisnya, respons negara justru memperdalam luka itu dengan pendekatan keamanan yang militeristik. Kebijakan Otonomi Khusus tahun 2001 dan revisinya pada 2021—yang semestinya menjadi desentralisasi asimetris yang membebaskan—justru menjadi bukti kegagalan.
Perbesar
Sejumlah masyarakat adat berdiri untuk bersiap melakukan Tari Alen, tarian khas untuk menyambut para tamu yang datang ke Kampung Malasigi, Sorong, Papua Barat Daya. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua—yang terpuruk di setiap tahun dan menjadi anomalinya karena pemekaran terus terjadi di tengah ketertinggalan pendidikan—menjadi kesaksian yang tak terbantahkan. Kondisi ini menyiratkan pesan pilu bahwa dalam perspektif negara, manusia Papua bukanlah subjek pembangunan, melainkan objek yang dimanfaatkan untuk meraup kekayaan alam guna memuaskan nafsu ekonomi Indonesia.
Mencari Penebusan di Balik Bayangan
Peristiwa peletakan peradaban oleh Kijne merupakan sebuah proyek suci agar orang Papua berdaulat atas dirinya sendiri. Namun, kini nubuat itu diselimuti oleh berbagai kepentingan yang mereduksinya menjadi sekadar mesin produksi. Hal itu bukanlah takdir, melainkan pengkhianatan terhadap nubuat di Bukit Aitumeri. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, ketika negara gagal menjadi penjaga martabat, Gereja dipanggil untuk berdiri sebagai benteng terakhir.
Hanya melalui suara-suara kenabiannya, tanah dan manusia Papua dapat dijaga dari kepunahan dan cita-cita peradaban yang diletakkan di atas batu itu dapat dicari kembali dari bawah bayang-bayang yang menutupinya.