Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah meminta kepada pemerintah agar substansi revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM betul-betul memperkuat keberadaan lembaganya.

“Komnas HAM mendesak pemerintah agar substansi rancangan revisi UU 39/1999, khususnya terkait kelembagaan dan fungsi Komnas HAM untuk tidak memperlemah, tetapi memperkuat sebagai upaya mengoptimalkan sistem perlindungan HAM di Indonesia,” kata Anis dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Berdasarkan rancangan revisi UU HAM yang disusun oleh Kementerian HAM, Komnas HAM menyoroti setidaknya 21 pasal krusial, yakni Pasal 1, Pasal 10, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 83–85, Pasal 87, Pasal 100, Pasal 102–104, Pasal 109, dan Pasal 127.

Secara garis besar, Anis mengatakan, “Rancangan ini dinilai berpotensi melemahkan kewenangan Komnas HAM di tengah semakin besarnya kewenangan Kementerian HAM.”

Dalam UU 39/1999, Komnas HAM memiliki empat tugas dan kewenangan utama yang meliputi pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, serta mediasi. Namun, kata Anis, dalam rancangan revisi UU tersebut, kewenangan Komnas HAM dikurangi.

“Sebagaimana diatur pada Pasal 109 (rancangan revisi UU HAM), Komnas HAM tidak lagi berwenang menerima dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM, melakukan mediasi, pendidikan dan penyuluhan, serta pengkajian HAM, kecuali dalam hal regulasi dan instrumen internasional,” katanya.

Penanganan dugaan pelanggaran HAM diberikan kepada Kementerian HAM. Namun, menurut Anis, hal ini tidak dapat dibenarkan karena kementerian merupakan bagian dari pemerintah sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) HAM.

Pengaturan norma yang demikian dikhawatirkan oleh Komnas HAM akan menimbulkan konflik kepentingan. Dalam hal ini, Komnas HAM memandang, penanganan dugaan pelanggaran HAM semestinya tetap dilakukan oleh lembaga independen.

“Kementerian HAM sebagai duty bearer atau pengampu kewajiban tidak seharusnya sekaligus berperan menjadi penilai atau ‘wasit’,” ucap Ketua Komnas HAM.

Di samping itu, Anis mengatakan hilangnya kewenangan Komnas HAM dalam bidang pendidikan dan penyuluhan dikhawatirkan akan menghambat fungsi pencegahan pelanggaran HAM di masyarakat.

Demikian pula, sambung dia, dengan dihapusnya kewenangan pengkajian peraturan perundang-undangan dari Komnas HAM akan menghilangkan fungsi korektif terhadap kebijakan yang berpotensi melanggar HAM.

“Selain itu, pembatasan kewenangan kerja sama pengkajian dengan organisasi nasional, regional, dan internasional akan menutup ruang bagi Komnas HAM untuk berkolaborasi dengan lembaga HAM di negara lain dalam merespons berbagai peristiwa yang diduga mengandung pelanggaran HAM lintas yurisdiksi,” ia menambahkan.

Lebih lanjut Anis juga mengutarakan potensi ancaman independensi Komnas HAM. Dia menyebut dalam Pasal 100 ayat (2) huruf b rancangan revisi UU HAM, panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan oleh presiden.

Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam UU 39/1999 bahwa panitia seleksi ditetapkan oleh sidang paripurna Komnas HAM. “Hal ini bertentangan dengan prinsip independensi dalam
proses seleksi anggota Komnas HAM sebagaimana diatur dalam Prinsip Paris,” tuturnya.

Kendati demikian, Anis mengakui ihwal penguatan terhadap Komnas HAM dalam rancangan UU dimaksud memang diatur melalui Pasal 112, yakni menjadikan rekomendasi Komnas HAM memiliki kekuatan mengikat.

“Namun, apa artinya penguatan tersebut jika tugas dan wewenang Komnas HAM dikurangi, bahkan lebih dari setengah dari fungsi yang ada,” kata Anis.