KPAI Dorong Peran Sekolah dan Orang Tua Cegah Anak Akhiri Hidup
kumparanNEWS October 31, 2025 01:20 AM
Komisioner KPAI Diyah Puspitarini menyebut lemahnya ketahanan mental (resiliensi) dan kurangnya kelekatan emosional dengan orang tua menjadi salah satu penyebab anak memilih mengakhiri hidup.
Hal ini disampaikannya menyusul kasus bunuh diri siswa di Sukabumi, Jawa Barat dan dua siswa di Sawahlunto, Sumatera Barat.
“Dalam kasus anak mengakhiri hidup, salah satu penyebab utama pada akhirnya anak memilih melakukan mengakhiri hidup karena kurang kuatnya rasa resiliensi anak, dan ini ditambah dengan kurangnya kelekatan anak dengan orang tua,” ujar Diyah saat dihubungi kumparan, Kamis (30/10).
Ia menjelaskan, hubungan emosional yang renggang antara anak dan orang tua sering kali dipengaruhi oleh situasi keluarga.
“Terkadang hubungan anak dengan orang tua secara emosional jadi agak kurang, karena bisa jadi kondisi orang tua tidak bisa bersama, atau pengasuhan yang kurang optimal,” kata Diyah.
Selain keluarga, sekolah juga memegang peran penting dalam mencegah kasus serupa.
“Selain itu sekolah juga berperan dalam memberikan edukasi, pencegahan hingga upaya konseling jika ada anak yang membutuhkan bantuan,” tutur Diyah.
Perbesar
Komisioner KPAI Diyah Puspitarini. Foto: ANTARA/Anita Permata Dewi
“Bukan hanya anak bermasalah, namun juga perubahan yang terjadi pada anak dengan secara mendadak,” lanjutnya.
Menurutnya, sekolah tak cukup hanya melakukan sosialisasi, tetapi harus membangun budaya anti-bullying secara menyeluruh di lingkungan pendidikan.
“Yang tidak kalah penting adalah pencegahan bullying dengan lebih masih di lingkungan sekolah. Tidak hanya sosialisasi, namun harus masuk dalam pembiasaan hingga pemahaman setiap anak tentang bullying sama,” tegas Diyah.
“Bahwa bullying adalah bentuk kejahatan, sehingga siapa pun yang melakukan ada konsekuensinya, yang melihat jika tidak melapor atau mencegah berarti sama dengan membiarkan bullying terjadi,” pungkasnya.
Kasus Bunuh Diri Siswi di Sukabumi
Ajeng (14 tahun), siswi MTs Negeri (setara SMP) di Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, ditemukan tewas dalam kondisi leher tergantung menggunakan sarung, di rumahnya, pada Selasa (28/10).
Bersamaan dengan itu, ditemukan juga wasiat berbahasa Sunda yang ditulis tangan Ajeng, di sebuah buku tulis.
Pertama-tama, Ajeng menuliskan bahwa ia meminta maaf ibu dan bapaknya, kemudian ke guru-gurunya.
Sedangkan untuk teman-temannya, Ajeng hanya bisa bilang maaf ke empat teman yang tidak pernah menyakitinya.
Lalu Ajeng mulai menyinggung soal teman-temannya yang membuatnya bunuh diri. Dalam wasiat tersebut, Ajeng menyatakan bahwa ia sudah berusaha memaafkan, tapi teman-temannya sering bikin sakit hati, entah dari perkataan atau perilaku.
“Seperti kejadian tadi, bilang ‘Mati saja kamu’,” demikian tercantum dalam surat wasiat berbahasa Sunda itu.
Dua Siswa SMP di Sawahlunto Bunuh Diri pada Oktober Ini
Perbesar
SMPN 7 Sawahlunto dipasangi garis polisi terkait kasus siswa bunuh diri di kelas. Foto: Dok. Polsek Berangin
Kepala Dinas Pendidikan Kota Sawahlunto, Asril, mengatakan telah ada dua kasus pelajar SMP bunuh diri di sekolah pada Oktober 2025.
Peristiwa pertama terjadi pada 6 Oktober 2025. Korban adalah siswa kelas IX SMPN 2 Kota Sawahlunto berinisial ANJ (15 tahun).
“Yang pertama ini kejadiannya malam hari pukul 21.00 WIB di ruangan OSIS sekolah. Ruangan ini terkunci, anak ini masuk dari belakang,” kata Asril, Rabu (29/10).
Peristiwa kedua terjadi pada Selasa, 28 Oktober 2025. Korban adalah siswa kelas IX SMPN 7 Kota Sawahlunto berinisial BE (15 tahun). BE diduga bunuh diri di ruangan kelasnya dengan kondisi leher terikat dasi di jendela.
Kasus di dua kota ini menambah panjang daftar anak yang mengakhiri hidupnya di Indonesia, sebagian besar karena tekanan psikologis dan dugaan perundungan di sekolah.