Ringkasan Berita:
- Ketua Fraksi PAN menilai kehadiran perempuan di pimpinan AKD DPR sebagai penguatan representasi politik.
- PAN telah menempatkan sejumlah kader perempuan di posisi strategis, termasuk Desy Ratnasari dan Farah Puteri Nahlia.
- Putusan MK mewajibkan setiap fraksi menugaskan minimal 30 persen perempuan di AKD, tak hanya di komisi sosial.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) di DPR RI, Putri Zulkifli Hasan, menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan pentingnya keterwakilan perempuan dalam pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR RI.
AKD DPR adalah singkatan dari Alat Kelengkapan Dewan di DPR RI. Ini merujuk pada struktur internal DPR yang berfungsi menjalankan tugas-tugas legislatif, pengawasan, anggaran, dan diplomasi parlemen.
Putri Zulhas menilai keputusan ini merupakan langkah afirmatif yang penting untuk memastikan suara perempuan benar-benar hadir dalam proses pengambilan keputusan politik di parlemen.
“Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD," ujar Putri kepada wartawan, Senin (3/11/2025).
Putri menambahkan, Fraksi PAN sejak awal berkomitmen memberikan ruang bagi kader perempuan untuk menempati posisi strategis di parlemen.
“Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin. Saat ini ada beberapa srikandi PAN yang dipercaya di posisi penting di DPR” kata dia.
Beberapa di antaranya adalah Desy Ratnasari sebagai Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), Farah Puteri Nahlia sebagai Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PAN di Komisi I, Dewi Coryati sebagai Kapoksi PAN di Komisi X, dan Putri Zulkifli Hasan sendiri yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi XII DPR RI.
Lebih lanjut, Putri menegaskan bahwa Fraksi PAN akan mengikuti mekanisme di DPR untuk menyesuaikan aturan agar sejalan dengan putusan MK tersebut.
“Kehadiran perempuan di pimpinan AKD akan memperkaya perspektif parlemen, membuat kerja DPR lebih peka terhadap isu-isu yang berkaitan langsung dengan masyarakat seperti perlindungan sosial, kesehatan, pendidikan, dan penguatan keluarga” pungkasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan ihwal keterwakilan perempuan yang proporsional dalam Alat Kelengkapan Dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam pembacaan putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Melalui pertimbangannnya, MK melihat bahwa selama ini keterwakilan perempuan di AKD masih timpang.
Perempuan seringkali terkonsentrasi di komisi-komisi yang berurusan dengan isu sosial, anak, dan pemberdayaan perempuan.
Padahal, semangat kesetaraan gender dalam politik menuntut pemerataan di semua bidang kebijakan.
“Agar posisi AKD memuat keterwakilan perempuan secara berimbang, menurut mahkamah, perlu dibuat mekanisme dan langkah konkret baik secara kelembagaan maupun politik,” kata hakim Saldi Isra.
DPR, lanjut Saldi, dapat menerapkan aturan internal yang tegas seperti Tata Tertib DPR agar setiap fraksi menugaskan anggota perempuan dalam setiap AKD sesuai dengan kapasitasnya.
Apabila suatu fraksi memiliki lebih dari satu perwakilan di suatu AKD maka minimal 30% di antaranya adalah perempuan.
“Kedua, fraksi juga mengatur rotasi dan distribusi yang adil, sehingga anggota perempuan tidak hanya ditempatkan di komisi sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan,” ujar Saldi.
“Tetapi juga bidang ekonomi, hukum, energi, pertahanan, dan bidang-bidang lainnya. jumlah anggota perempuan di tiap komisi,” tegasnya.
Adapun, berdasarkan putusan ini, keterwakilan perempuan harus ada di setiap AKD mulai dari Komisi, Badan Musyawarah (Bamus), Panitia Khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan setiap pimpinan AKD.
Diketahui, permohonan ini diregistrasi dengan nomor 169/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Koalisi Perempuan, Perludem, Kalyanamitra, dan Titi Anggraini.
Mereka menguji konstitusionalitas norma Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2) dan Pasal 157 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.