Ringkasan Berita:1.Psikolog Klinis Ayu Mas Yoca Hapsari, M.Psi., Psikolog mengungkap, lamanya durasi pacaran justru bisa menjadi jebakan yang membuat seseorang bertahan dalam hubungan yang sebenarnya tidak sehat.2.Rasa nyaman dan kebiasaan bersama yang terbentuk selama bertahun-tahun sering kali menimbulkan ilusi kedekatan emosional.3.Hubungan jangka panjang yang tidak disertai dengan komunikasi dan penyelesaian konflik yang baik berisiko menjadi rapuh di kemudian hari.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Pacaran dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menjamin akan berujung di pelaminan.
Pacaran adalah periode perkenalan antara dua individu sebelum perkawinan atau hubungan romantis de facto.
Pacaran secara tradisional dapat dimulai setelah pertunangan dan dapat berakhir dengan perkawinan.
Pacaran mungkin hal informal dan privat antara 2 orang atau mungkin hal publik, atau berupa perjodohan dengan persetujuan keluarga.
Dulu, waktu pertunangan formal, peran pria adalah untuk "merayu" seorang wanita dan mengajak dia untuk memahami prianya dan pertimbangan dia terhadap lamaran perkawinan.
Terkadang justru ada yang menikah dengan orang lain pada akhirnya.
Itu juga tak menjamin bahwa pasangan telah saling mengenal dan cocok satu sama lain.
Psikolog Klinis Ayu Mas Yoca Hapsari, M.Psi., Psikolog mengungkap, lamanya durasi pacaran justru bisa menjadi jebakan yang membuat seseorang bertahan dalam hubungan yang sebenarnya tidak sehat.
“Hubungan yang lama bertahan itu bisa jadi bukan karena saling kenal secara mendalam, tapi karena sudah terbiasa dan enggan memulai lagi dari awal,” jelas Ayu saat diwawancarai Kompas.com, Selasa (4/11/2025).
Rasa nyaman dan kebiasaan bersama yang terbentuk selama bertahun-tahun sering kali menimbulkan ilusi kedekatan emosional.
Padahal, menurut Ayu, hal tersebut belum tentu menandakan hubungan yang benar-benar kuat atau sehat.
“Rasa nyaman di dalam hubungan yang sudah familiar seringkali disalahartikan sebagai kecocokan. Hubungan yang seperti ini, ketika masuk ke pernikahan bisa goyah,” katanya.
Kurang kedekatan emosional dan pola konflik yang tidak sehat
Psikolog yang berpraktik di Bali ini menjelaskan, hubungan jangka panjang yang tidak disertai dengan komunikasi dan penyelesaian konflik yang baik berisiko menjadi rapuh di kemudian hari.
“Sebab, tidak ditopang dengan kedekatan yang cukup baik, penyelesaian konflik belum cukup matang. Ini berpotensi untuk memicu konflik ke depannya,” ujar Ayu.
Menurutnya, banyak pasangan yang sudah lama pacaran merasa tidak perlu lagi memperbaiki cara berkomunikasi karena menganggap sudah saling mengenal.
Padahal, justru di titik inilah hubungan bisa stagnan dan kehilangan kedalaman emosional.
Tanpa adanya kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara sehat, pasangan cenderung menghindar dari konflik atau menumpuk masalah hingga akhirnya meledak di kemudian hari.
Ilusi hubungan ideal dan reality shock
Ayu juga menyoroti, dalam hubungan jangka panjang, pasangan sering kali membangun citra ideal satu sama lain.
Hal ini dapat menciptakan ekspektasi yang tidak realistis terhadap pasangan dan hubungan.
“Dalam hubungan jangka panjang, seringkali pasangan membangun citra yang ideal. Tapi setelah menikah, muncul sisi manusiawi yang berbeda, hal ini memunculkan reality shock pada pasangan,” ungkapnya.
Reality shock atau kejutan realitas ini terjadi ketika seseorang dihadapkan pada sisi-sisi pasangan yang selama ini tidak terlihat.
Misalnya kebiasaan, cara berpikir, atau perilaku sehari-hari yang ternyata berbeda dengan ekspektasi yang dibangun selama pacaran.
Kondisi ini bisa menimbulkan perasaan kecewa dan membuat hubungan sulit dipertahankan karena fondasi yang dibangun sebelumnya tidak cukup kuat.
Durasi pacaran yang lama belum tentu bisa saling memahami
Meski pacaran lama bisa membuat seseorang terbiasa dengan kehadiran pasangannya, Ayu mengingatkan bahwa hal itu belum tentu berarti keduanya benar-benar saling memahami.
“Pacaran lama memang bisa berarti sudah saling terbiasa, sudah saling tahu pasangan seperti apa. Tapi belum tentu kita bisa tahu dan bisa saling memahami secara lebih dalam,” ungkap dia.
Pemahaman yang dimaksud di sini bukan sekadar mengenal kebiasaan, tetapi juga memahami nilai, tujuan hidup, serta cara berpikir pasangan.
Tanpa pemahaman tersebut, hubungan yang terlihat stabil bisa saja menyimpan ketidaksesuaian mendasar.
Cara sehat merespons perbedaan
Lebih jauh, Ayu menyatakan, perbedaan dalam hubungan adalah hal yang tidak bisa dihindari.
Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana pasangan merespons perbedaan tersebut.
“Memang tidak bisa dipungkiri, perbedaan itu akan selalu ada, tapi bagaimana kita merespos perbedaan itulah yang menjadi kuncinya,” kata Ayu.
Pasangan yang mampu berkomunikasi secara terbuka dan saling menghargai perbedaan akan lebih mudah menjaga hubungan tetap sehat, meski sudah berjalan lama.
Sebaliknya, jika hubungan hanya dipertahankan karena kebiasaan atau rasa takut untuk memulai dari awal, maka durasi pacaran yang panjang justru bisa menjadi jebakan yang menunda seseorang menemukan kebahagiaan yang lebih sehat.
Lamanya waktu bersama bukan tolok ukur utama kesehatan sebuah hubungan. Ia menegaskan, kualitas hubungan diukur dari kedalaman komunikasi, pemahaman, dan kemampuan beradaptasi terhadap perbedaan.
Tanpa hal itu, rasa nyaman dalam hubungan yang panjang bisa berubah menjadi jebakan yang membuat seseorang sulit keluar dari hubungan yang tidak sehat.