Cinta yang Belum Sembuh: Ketika Orang Baru Jadi Obat Luka Lama
Imaniar Dwi Retno Pangesti November 06, 2025 04:00 PM
Ada yang bilang cara tercepat untuk melupakan seseorang adalah dengan mulai mencintai orang lain. Tapi benarkah demikian? Di balik nasihat populer itu, tersimpan satu fenomena emosional yang rumit—rebound relationship, atau hubungan pelampiasan.
Saya sering melihat, bahkan mungkin ikut menjalaninya: saat hati baru saja patah, ada sosok baru yang tiba-tiba terasa “menyelamatkan”. Tapi dalam diam, kita tahu — mungkin bukan cinta yang tumbuh, melainkan luka yang mencari tempat bersembunyi.
1. Saat Orang Baru Jadi Penenang Sementara
Menurut Psychology Today (Tanasugarn, 2025), rebound relationship adalah “hubungan sementara yang digunakan sebagai penyangga untuk melupakan hubungan sebelumnya.”
Saya merasa definisi ini tepat sekaligus menyedihkan. Di zaman yang serba cepat seperti sekarang, kita tidak hanya ingin sembuh, tapi ingin sembuh dengan segera. Kita ingin luka hati terasa seperti notifikasi yang bisa kita “hapus” dengan satu sentuhan. Dan sayangnya, orang baru sering menjadi cara termudah untuk menekan tombol itu.
Tapi cinta bukan tombol “skip”. Banyak orang tidak sadar bahwa hubungan baru yang terasa hangat di awal bisa berubah jadi dingin begitu rasa sakit lama muncul lagi ke permukaan. Saya melihat banyak teman yang mengatakan, “Aku udah move on kok,” padahal yang mereka lakukan hanyalah mengalihkan rasa kehilangan ke sosok lain. Rebound membuat kita merasa dicintai, tapi bukan berarti sudah siap mencintai kembali.
2. Kenapa Kita Butuh ‘Pengganti’ dengan Cepat?
photo by : penulis
zoom-in-whitePerbesar
photo by : penulis
Riset dari Verywell Mind (Rossi, 2021) menyebutkan bahwa banyak orang masuk ke hubungan rebound karena ingin menghindari rasa kehilangan, penolakan, dan kesepian.
Saya sepenuhnya setuju. Kesepian adalah salah satu perasaan paling sulit diterima manusia modern. Kita terbiasa punya seseorang untuk mengirim pesan setiap pagi, seseorang yang jadi alasan untuk pulang cepat, atau sekadar seseorang yang menanyakan “how's your day?”. Saat itu hilang, muncul kekosongan yang sepi tapi juga menakutkan. Maka kita mencari pengganti — bukan karena kita sudah siap, tapi karena kita tak mau merasa sendirian.
Ironisnya, dalam proses itu, kita sering memindahkan luka, bukan menyembuhkannya. Kita membuat orang baru bertanggung jawab atas rasa sakit yang disebabkan bukan karena mereka. Padahal, luka batin tidak akan sembuh dengan cinta baru; ia hanya akan tenang sementara, lalu muncul lagi di momen yang tak terduga.
Bagi saya pribadi, hubungan pelampiasan ini seperti minum kopi pahit setelah menangis semalaman: hangat di lidah, tapi tetap menyisakan rasa getir yang sama di hati.
3. Sisi Gelap yang Sering Terlupakan
Menurut riset Shimek & Bello (2014) di ResearchGate, hubungan pelampiasan rentan dengan ketidakseimbangan emosi dan perasaan tidak adil. Satu pihak sering kali tidak tahu bahwa dirinya hanyalah “pengganti sementara”.
Inilah bagian yang sering luput dibicarakan. Kita terlalu fokus pada “orang yang patah hati”, tapi lupa bahwa di sisi lain ada “orang yang menjadi pelampiasan”. Bayangkan menjadi seseorang yang tulus mencintai, tapi kemudian sadar bahwa kehadiranmu hanya digunakan untuk menutupi bayangan orang lain. Itu bukan hanya menyakitkan — tapi juga merusak kepercayaan diri seseorang terhadap cinta. Sebagai penulis, saya percaya bahwa setiap hubungan seharusnya dibangun atas kesadaran dan kejujuran emosional. Kalau kita tahu diri kita belum sembuh, tidak apa-apa untuk berkata, “Aku belum sepenuhnya siap, tapi aku mau mencoba dengan perlahan.”
Kejujuran seperti ini mungkin membuat hubungan berjalan lebih lambat, tapi setidaknya tidak akan menciptakan luka baru bagi orang lain.
4. Refleksi: Sudah Sembuh, atau Hanya Menutupi Luka?
Kadang yang paling sulit bukan melupakan orang lain, tapi mengakui bahwa kita masih terluka. Banyak dari kita menganggap “sendirian” sebagai tanda kegagalan, padahal di situlah justru proses pemulihan terjadi.
Kalau jawabannya condong ke rasa takut, itu artinya kita masih berada di fase pelampiasan. Dan tak apa. Kesembuhan tidak bisa dipaksa. Bagi saya, berani menolak hubungan baru saat hati belum siap adalah bentuk cinta tertinggi pada diri sendiri.
Fenomena “orang baru jadi obat luka lama” adalah cermin betapa manusia takut menghadapi kekosongan. Kita ingin dicintai, bahkan sebelum belajar mencintai diri sendiri lagi. Tapi cinta yang lahir dari luka tanpa kesadaran hanya akan melahirkan luka yang baru. Saya percaya, mencintai setelah patah hati itu mungkin — tapi hanya jika cinta itu lahir bukan dari kebutuhan untuk diisi, melainkan dari keberanian untuk memberi.
Cinta baru seharusnya bukan tempat bersembunyi dari masa lalu, tapi ruang untuk tumbuh bersama — dengan luka yang diakui, bukan disembunyikan. Jadi sebelum membuka hati lagi, beri waktu untuk berdamai dengan diri sendiri. Karena ketika hati sudah benar-benar sembuh, cinta baru tidak akan terasa seperti pelarian—melainkan permulaan.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.