TRIBUNJATENG.COM, PHNOM PENH — 106 Warga Negara Indonesia (WNI) ditangkap otoritas Kambjoa, dalam penggerebekan jaringan penipuan dalam jaringan (daring) atau online scam skala internasional. Penggerebekan tersebut dilakukan oleh Satuan Tugas Gabungan Kamboja yang digelar di Ibu Kota Phnom Penh, Jumat (31/10).
Selain 106 WNI, terdapat sejumlah orang lain yang turut ditangkap, karena diduga terlibat dalam aktivitas penipuan daring lintas negara. Laporan dari petugas gabungan menyatakan, total ada 111 tersangka yang diamankan, terdiri dari 106 WNI—36 di antaranya perempuan—serta lima pria berkewarganegaraan Kamboja.
Dikutip dari Khmer Times, Satuan Tugas Gabungan Komando Terpadu dengan dukungan Wakil Jaksa Penuntut melakukan penggerebekan di sebuah gedung sewaan di kawasan Khan Tuol Kork, Phnom Penh. Gedung tersebut diduga menjadi markas operasi penipuan.
Dalam penggerebekan itu, polisi menyita sejumlah barang bukti, antara lain perangkat komunikasi dan dua mobil Hyundai Staria berpelat Phnom Penh. Seluruh tersangka dan barang bukti kini telah diserahkan ke Komisariat Kepolisian Kota Phnom Penh untuk proses hukum lebih lanjut.
Masih pada hari yang sama, tim penegak hukum lain bersama Komite Pemberantasan Kejahatan Teknologi (CCTC) juga memeriksa gedung mencurigakan di Menara IOS, Sangkat Boeung Keng Kang III. Pemeriksaan dilakukan atas perintah Gubernur Phnom Penh dan di bawah arahan Letnan Jenderal Sar Thean.
Kedua operasi itu merupakan bagian dari kampanye nasional pemerintah Kamboja untuk memberantas jaringan kejahatan siber yang semakin meluas. “Pemerintah Kamboja menegaskan akan menindak tegas seluruh pihak yang terlibat dalam penipuan daring, tanpa kecuali,” tulis pernyataan resmi otoritas setempat.
Ribuan WNI jadi korban
Kementerian Luar Negeri RI mencatat, sejak 2020 hingga kini, lebih dari 10.000 WNI menjadi korban jaringan penipuan daring di sepuluh negara. Dari jumlah itu, sekitar 1.500 orang dikategorikan sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Duta Besar RI untuk Kamboja, Santo Darmosumarto, menjelaskan bahwa WNI yang terjerat dalam jaringan ini umumnya terbagi menjadi tiga kelompok. “Pertama, mereka yang sama sekali tidak tahu bahwa pekerjaan yang ditawarkan terkait dengan kejahatan," katanya, Selasa (4/11).
"Kedua, mereka yang hanya ingin mencoba-coba. Dan ketiga, yang paling memprihatinkan, mereka yang sadar namun tetap melakukannya karena tergiur gaji besar,” sambung Santo.
Menurut Santo, pihaknya menghadapi tantangan besar dalam menangani apa yang disebut 'korban kambuhan', yaitu WNI yang sudah pernah menjadi korban, tetapi kembali bekerja di jaringan penipuan daring.
“Mereka masuk kategori person of interest sehingga mendapat perhatian khusus,” jelasnya. Istilah person of interest merujuk pada seseorang yang mungkin terlibat dalam kasus, namun belum didakwa secara hukum.
KBRI Phnom Penh mencatat lonjakan signifikan kasus WNI bermasalah di Kamboja. Sepanjang Januari–September 2025, tercatat 4.030 kasus yang ditangani, meningkat 73 persen dibanding periode yang sama tahun 2024. Dari jumlah itu, 3.323 kasus terkait sindikat penipuan daring.
Meski demikian, Kamboja juga menjadi tujuan banyak pekerja resmi asal Indonesia. KBRI mencatat 167.000 kedatangan WNI ke negara itu, dengan 131.000 orang di antaranya mengurus visa tinggal selama tiga bulan. Sebagian besar bekerja di sektor restoran, hotel, kasino, dan kasino daring.
Pemerintah diminta beri perlindungan
Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina meminta pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan perwakilan RI di Kamboja segera menindaklanjuti penangkapan 106 WNI oleh otoritas Kamboja.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menilai, kasus ini menunjukkan lemahnya sistem perlindungan dan pengawasan terhadap mobilitas pekerja migran Indonesia, terutama di negara yang belum memiliki kerja sama resmi dengan Indonesia soal penempatan tenaga kerja.
“Pemerintah harus memastikan perlindungan pekerja migran dimulai sejak pra-penempatan, dengan pengawasan ketat terhadap perekrutan ilegal,” tegas Arzeti.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi publik agar masyarakat tidak mudah tergiur tawaran kerja ke luar negeri yang tidak resmi. “Edukasi publik perlu digencarkan supaya masyarakat lebih waspada terhadap tawaran kerja yang tidak jelas asal-usulnya,” pungkasnya. (Kompas.com)