Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menekankan pentingnya memperkuat penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau nonyudisial sebagai bagian dari pembangunan hukum nasional yang berkeadilan dan berakar pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Saat membuka kegiatan Indonesian Arbitration Week and Indonesia Mediation Summit 2025 di Denpasar, Bali, Rabu (5/11), dia menegaskan bangsa Indonesia memiliki tradisi panjang dalam menyelesaikan konflik melalui musyawarah, mufakat, dan jalan damai, yang sejalan dengan filosofi hukum Islam maupun adat istiadat Nusantara.
"Dalam filsafat hukum, kita sedang menyaksikan pergeseran paradigma besar. Dari yang semula konfrontatif menuju pola penyelesaian yang damai, mencari titik temu, dan mengedepankan keadilan yang bermartabat,” ujar Yusril, seperti dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Ia menuturkan perdamaian bukan sekadar kesepakatan, melainkan ikrar mulia yang memiliki kekuatan hukum.
Menko pun mengutip nilai maslahat dalam khasanah hukum Islam yang berarti mencari kebaikan bersama antara pihak yang bersengketa.
Semangat itu, menurut dia, yang seharusnya menjadi dasar bagi sistem hukum nasional dalam mengembangkan penyelesaian sengketa nonyudisial, seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Lebih jauh, Yusril menyoroti tiga tantangan utama dalam penguatan sistem penyelesaian sengketa di Indonesia. Pertama, tantangan kultural, yaitu masih kuatnya pandangan masyarakat bahwa pengadilan merupakan satu-satunya jalan mencari keadilan.
Kedua, tantangan regulasi, yang menuntut pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa agar lebih adaptif terhadap perkembangan era digital.
Selanjutnya, kata Yusril, tantangan ketiga, yakni sumber daya manusia (SDM) yang menuntut peningkatan kapasitas mediator, konsiliator, dan arbiter, yang tidak hanya memahami aspek hukum, tetapi juga teknologi, keuangan, dan industri kreatif.
Untuk itu, dia berpendapat kesadaran baru perlu dibangun bahwa mediasi dan arbitrase bukan tanda kelemahan, melainkan kematangan berpikir dalam menyelesaikan persoalan secara adil.
"Hukum tidak harus selalu rigid, yang utama adalah spirit keadilan dan semangat kebangsaan,” tuturnya.
Selain itu, ia turut mengingatkan pentingnya keberanian bangsa dalam menggunakan sistem hukum sendiri dalam kontrak dan penyelesaian sengketa internasional.
Contohnya, sambung dia, seperti beberapa kasus arbitrase luar negeri yang justru merugikan Indonesia karena tidak menggunakan hukum nasional sebagai dasar penyelesaian.
Dengan demikian, dia menegaskan sudah saatnya Indonesia menegaskan kedaulatan hukum sendiri. Jika bisa dimediasi dan diselesaikan di dalam negeri, maka penyelesaian bisa dilakukan di Tanah Air dengan hukum Indonesia.
Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa penyelesaian sengketa nonyudisial merupakan refleksi dari keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
“Kalau suatu masalah bisa diselesaikan dengan damai, jangan dipaksakan ke jalur peradilan. Perdamaian yang lahir dari hati jauh lebih adil dan manusiawi daripada keputusan yang hanya bersandar pada teks hukum,” ucap Menko.
Sementara itu, Presiden Dewan Sengketa Indonesia (DSI) Prof. Sabele Gayo dalam laporannya menyampaikan sejak 2022 hingga 2025, DSI telah melatih dan mensertifikasi lebih dari 5.500 mediator nonhakim di seluruh Indonesia, dengan 75 persen di antaranya telah aktif di pengadilan negeri dan pengadilan agama.
Selain itu, DSI memiliki 144 konsiliator, 180 ajudikator, 850 arbiter, dan 125 praktisi dewan sengketa khusus sektor jasa konstruksi.
Sebagai lembaga yang telah terakreditasi Mahkamah Agung (MA), DSI juga menjalin kerja sama dengan berbagai mitra internasional seperti ASEAN International Alternative Dispute Resolution (AIDRA) untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme praktisi penyelesaian sengketa.
"Kami berharap kegiatan ini menjadi ruang untuk saling berbagi pengalaman dan memperkuat sinergi antarpraktisi. Dengan begitu, layanan penyelesaian sengketa di Indonesia akan semakin kuat, cepat, dan efisien,” ujar Prof. Sabele.
Dalam kesempatan itu, DSI juga memberikan penghargaan kepada mediator dan arbiter berprestasi sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi mereka dalam menjaga integritas dan profesionalisme di bidang penyelesaian sengketa.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh DSI tersebut, pula jajaran pimpinan Kemenko Kumham Imipas, Presiden AIDRA Abraham Kuadat, serta para praktisi hukum dan mediator dari dalam dan luar negeri.







